Rabu, 24 Mei. Cuaca sudah lumayan bagus hari ini. Beres-beres sedikit di Suryashvara, memasang kembali karpet setelah aku benahi dulu karena beberapa waktu kemarin kadang-kadang air hujan tempias dan atapnya beberapa bocor, jadi karpetnya kadang bisa sama-sama kebasahan. Selain itu jadwalku hari ini agak siang. Menunggu tamu datang mengembalikan bow cadangan set biolaku karena aku memerlukan sesuatu di dalam case nya dan ternyata sama-sama hilang. Akhirnya aktivitasku 'di luar' dimulai pukul 10 siang.
Setelah Kalyani jajan shoulder-rest, bass yang belum kunamai ini juga sama-sama rengek minta jajan. Bulan ini aku boros sekali. Untungnya biaya kosan saung, kuota handphone, bulanan ibu, dan jatah 'kosmetik' sudah selesai. Masih ada sedikit, tapi harus jaga-jaga kalau si adik yang di Bandung 'menyerang'.
Menghabiskan sampai petang membantu Pa Rais untuk kerjaan 'panggung hiburan' terakhir bulan ini. Aku dibawakan kado watercolor paper oleh Firmansjah Imong. Kebetulan sekali aku memang sedang membutuhkan ini untuk pembuatan cover bukunya Jojo.
Bersama Pa Rais, ditutup do'a dan makan bersama untuk kelancaran kegiatan esok hari.
Tapi buatku hari ini belum selesai. Karena harus kembali menggarap latihan monolog dan baca puisi bersama pa Asep. Energi kami sudah mulai pudar, tapi kami harus memanfaatkan waktu yang semakin sempit ini.
22.07, latihan diberhentikan karena teman-teman lain mesti kembali ke asrama. Tapi buat kami yang orang 'luar' masih perlu diskusi naskah monolog yang mesti direvisi sebagian karena terlalu panjang dan riskan lebih dari durasi yang ditentukan ketika dibawakan. Sekitar satu jam barulah kami bubar, aku mengantar pa Asep pulang ke rumahnya.
Diperjalanan pulang, perutku 'kekerebekan', akhirnya tergoda harum bakso di alun-alun Singaparna, aku jarang melewati jalan ini karena terlalu ramai buatku. Tengah malam begini saat jalanan aku baru selesai kegiatan, tapi abang-abang ini baru memulai kehidupan.
-
Kamis, 25 Mei. Rasanya sejak awal bulan aku memang tidak pernah memiliki jadwal tidur yang awalan, lalu bangun kepagian. Tidak bisa ditawar, karena beginilah seorang serabutan hehe. Pukul 7 pagi aku sudah pergi ke SMK As-Sabiq. Padahal aku yakin maen pasti siang. Yah.. Kami perlu set-up dengan segala kemungkinan. Set ansambel pertunjukkan tradisi begini memang perlu persiapan. Apalagi kadang aku diminta untuk bantu-bantu make-up para penari. Sebenernya aku agak 'giung' juga nggarap hal begini karena relatif repetitif. Tapi audiens selalu berbeda. Dan aku selalu senang jika melihat senyum-senyum timbul di wajah mereka.
Setelah semua all-set kami berpose sebelum pertunjukkan dimulai. Kesenian seperti ini, zaman ini, sebenarnya sudah agak kurang esensinya menurutku. Bentuknya banyak berubah. Kalau bicara soal paten tradisi, salah-salah bisa juga sampai menyalahi. Tapi yah.. Waktu terus juga berjalan.. Kesenian mau tidak mau harus ikut dinamis mengikuti arah. Buatku sih paing tidak remaja-remaja ini pernah mengalami dan mengambil peran pelestari. Aku agak muak. Kesenian begini kadang dipandang remeh. Padahal prosesnya tidak bisa seringan ucap celoteh.
Di sekolah ini aku bertemu dengan Ibu Hj. Dadah dan Pa Teteng. Bu Hj. Dadah adalah ibu dari sahabatku semasa SD, juga teman sekelas SMA bapakku dulu. Lalu Pa Teteng ini adalah guruku sewaktu Aliyah. Guru matematik paling kocak nyentrik. Meski yaa kadang rada-rada hehe. Tapi bagaimanapun mereka adalah keluarga cendikia. Semua familinya begitu cerdas dan ramah perangainya.
Ini Cép Faz, putranya bu Hj. Dadah. Sobat sebangku semasa SD dulu. Foto ini diambil tahun 2018 saat kami kebetulan bertemu untuk makan siang saat sama-sama sedang di kota sebrang.
Nah, kegiatan kami di sana selesai hampir setengah dua siang. Aku memillih istirahat sebentar karena masih ada letih sisa begadang. Ditunggu kegiatan selanjutnya, sore hari aku berangkat kembali ke sanggar untuk latihan-latihan.
Tapi sebelum itu aku menyiram dulu tanaman-tanaman. Hari ini terasa panas sekali. Daun-daun di taman Thufailée juga terlihat layu. Bunga-bunga kertas semakin bermekaran berwarna 'koneas'. Aku sangat menyukai mereka saat seperti ini.. Tanaman endemik Amerika Selatan ini sudah banyak ditanam di Asia sejak lama. Bunganya yang tipislah yang menyebabkan ia bernama bunga kertas. Kecantikan yang rapuh. Ia mesti dijaga dengan utuh..
Dari tanahnya berasal, Bougenville memiliki makna kasih sayang. Tapi di adat jawa maknanya berbeda. Konon bunga ini memiliki sifat satrio wirang yang artinya bunga tersebut akan mendatangkan dampak buruk bagi pemilik rumah atau dengan kata lain, akan mendatangkan malu bagi pemilik rumah. Selain itu, jika menanam bunga ini di depan rumah, maka dipercaya bahwa laki-laki yang tinggal di rumah tersebut tidak akan betah di rumah. Sedangkan bagi perempuan yang ada di sana akan sulit untuk mendapatkan jodoh. Benarkah ?, Tidak juga. Aku malah bisa berlama-lama bahkan hanya untuk memandanginya. Yah.. Namanya juga konon katanya.
Kami mengambil jeda latihan menjelang adzan Maghrib. Langit pergantian selalu indah. Berselimut awan, darisini terlihat puncak Galunggung dari kejauhan.
Latihan monolog dan baca puisi dilanjut setelah maghrib. Azka dan Annisa bergiliran. Sampai latihan diistirahatkan sementara pukul 22.00 pm. Persiapan yang agak padat, karenan kami hanya punya 6 hari terisa sampai semua lomba dapat dilihat.
Evaluasi. Wawan Grand Kurniawan dan Rizal Dzikri sebagai alumni sanggar masih sering membantu kami.. Aku dan Pa Asep minggu-minggu ini sangat sibuk. Dan merekalah yang bisa diandalkan. Kami masih banyak kekurangan sampai hari ini.
22.30, Aku pulang karena besok shubuh mesti menjemput Ganjar ke stasiun Tasik. Ganjar temanku dari masa SMA yang sedang libur kuliah doktoral di UIN Malang.
0 comments:
Posting Komentar