Selasa, 28 Januari 2025

Lagu yang Membuatku Berkelana

 

Sebelum debu menggugurkan sunyi di Jalan

-

Berminggu ini, Bapa (begitulah aku memanggil almarhum Yudhistira ANM Massardi) berlaluan dalam ingatanku. Dan itu entah mengapa.. Aku tidak akan menapik bahwa saat ini aku sedang dalam waktu yang memang kurang menyenangkan, tapi kukira alasannya tidak senaif itu. Terhitung dua kali aku juga memimpikan Bapa, aku semakin aneh. Foto Bapa yang ada di meja kamar kosanku kupandangi setiap kali diserang perasaan ‘ingat’ itu. Tentu sembari langsung kudoakan merdu.

Membuka kembali tulisan-tulisan lamaku, membaca buku-buku Bapa, mendengar gubahan laguku dari puisi Bapa, aku semakin larut. Mungkin perasaan seperti ini bisa dikatakan juga sebagai kerinduan..

Berangkat kerja, di tempat kerja, lagu-lagu yang kuputar untuk membersamai gerak-gerik kegiatanku minggu-minggu ini adalah lagu-lagu yang kubuat dari puisi Bapa. Disela-sela suara lagu yang kudengar itu membawaku pada banyak hal. Langkah-langkah yang dipijak bersama, tempat-tempat yang dikunjungi, makanan yang dimakan bersama, orang-orang yang dikenalkan, obrolan-obrolan selama perjalanan bersama Bapa seringkali menghampiri ingatan.

-

16 Januari 2025. Bu Siska (istrinya Bapa) mengabariku sedang dalam progress mengerjakan acara peringatan setahun wafatnya Bapa. Ibu dan Putera-puteri Bapa sedang menyusun Biografi Yudhistira ANM Massardi yang akan diluncurkan pada acara itu. Jika lancar acaranya akan ada di bulan April depan (mohon doa dari semuanya ya..). Ibu memintaku datang di hari itu.. Aku senang mendapat kabar ini dan tentu mau sekali untuk datang.. Aku juga memang joledar, belum sempat lagi ngalongok Bu Siska dan keluarga sejak pengajian 40 hari wafat Bapa. Dan kukira ini akan jadi waktu yang tepat untuk ‘pulang’ ke sana.


Mengikuti update-an akun sosial media Bu Siska, melihat perjalanan-perjalanan ibu beberapa waktu ini. Ibu ketemu lagi dengan Mba Renny Djajoesman, Mba Wita, nonton konser Barasuara, syukuran studio rekaman music barunya A Iga (putra sulung Bapa), lalu yang paling membuatku senang adalah Ibu punya perjalanan bersama dengan semua putra-putrinya A Iga, Mba Taya dan Mas Kafka.

Menyusun Biografi Bapa, Ibu menghimpun ‘kepingan-kepingan’ cerita masa lalu Bapa di Yogya, Solo dan Semarang. Sebagian tempat yang Bapa sempat tinggali untuk hidup-berkarya. Aku ?, yang disebut sebagai bungsu Bapa oleh Pa Noorca kembarannya Bapa ini semakin diserang perasaan rindu. Begitu senang melihat semua keluarga Bapa bersemangat, tapi aku sedikit malu karena tidak bisa banyak berbuat.

-

Sajak Purnama

Hari-hari berlalu. Dari lima lagu yang kubuat dari puisi Bapa, Sajak Purnama kiranya lebih sering kudengarkan. Apalagi jika malam hari saat hendak mengistirahatkan diri. Lagu ini memang sangat melekat padaku dan sangat ‘berjasa’ membukakan ‘pintu’ yang awalnya tertutup rapat bagiku.


19 Januari 2025. Membuka laptop yang kupinjam dari sepupuku sejak dua tahun lalu (bahkan kupinjam sampai sekarang, jadi aku tidak punya laptop sendiri haha), mencari rekaman guide Sajak Purnama yang direkam tahun 2021. Tapi aku tidak menemukannya, setelah teringat, ternyata aku membuatnya pada laptop temanku yang sekarang sudah dijual. Sayang sekali, jadi bahan-bahan rekamannya hilang semua. Akhirnya aku memutuskan untuk merekam kembali musikalisasi Sajak Purnama ini dari awal lagi.


Dengan keadaan Saung (tempat anak-anak berkumpul) yang sekarang sudah sepi. Memanggil para kurawa yang tersisa, teman-teman yang bisa diajak berproses dengan bahagia bukan dengan sabaraha. Perlu delapan hari untuk selesai perekaman dengan formasi awal Rizal Dzikri sebagai gitaris, Firmansjah pada flute dan aku pada vocal dan strings. Aku berniat menyanyi, karena aku ingin menyampaikan kerinduanku ini untuk Bapa lewat Sajak Purnama-dengan suaraku sendiri.

Sewaktu proses itu kami sering nyelang cerita-cerita tentang Bapa dan perjalan-perjalanan lama, karena Rizal sempat ikut bersafari sastra ke empat bersama Bapa. Kalau Firman memang belum pernah ketemu Bapa, tapi dia sering mendengar cerita tentang Bapa dari kami berdua..

Setelah bentuknya terdengar, ternyata kami merasa ada yang kurang. Jangan ngomongi soal vokal-nya hehe. Karena iya, aku sangat sadar aku bukan seorang penyanyi, mau gimanapun suaraku ini memang pas-pasan sekali. Setelah kami bertiga mengobrol, memang kurang sentuhan timbre suara perempuan.. Tibalah kami pada kebingungan, karena Nida Nadzifa yang biasa bernyanyi di saung saat ini sedang mudik ke Bandung, sedangkan perasaanku sedang menggelora, aku tidak bisa menunggu (dan mumpung libur panjang).

Akhirnya aku teringat pada Cuneng Hujan. Cuneng juga pernah ikut bernyanyi untuk Bapa saat safari sastra Bapa ke Tasik, jadi lagu Sajak Purnama ini juga bukan lagu baru untuknya. Syukurlah Cuneng bersedia, dan diizinkan suaminya. Dengan take vocal Cuneng, kami menyelesaikan perekaman di hari ke sembilan sejak hari pertama dan ternyata lagu ini memang lebih pas dinyanyikan berdua dengan perempuan.

Seperti saat pertama lagu ini didengarkan pada ulang tahun Bapa olehku dan Icha Nuralfi Azizah pada tahun 2021, bersamaan bedah buku puisi Bapa yang berjudul “Jangan Lupa Bercinta”. 

Pada akhir-akhir meremake lagu ini, aku menambah tiga layer pada biola dengan tiga suara. Ini bagian yang paling lama, karena aku juga kurang faham tentang pembagian nada. Aku bermain musik dengan saguluyurnya saja.. Tapi hasilnya lumayan, lagu sajak purnama ini jadi terdengar seperti semi orkestra. 

Aku sangat berterimakasih pada teman-teman yang sudah kenan memberikan bantuan padaku supaya lagu ini bisa terdengar lagi..

-

Tafsir telanjang

Tahun 2021 lalu, saat pertama aku menggubah puisi Sajak Purnama ini agak aneh juga. Karena dari sekian banyak puisi dari buku Kumpulan puisi Bapa itu aku seperti ‘terarahkan’ pada puisi ini. Proses penggubahannya pun mengalir begitu saja, minim kesulitan saat mengerjakannya. Aku membentuknya seperti nyanyian pengantar tidur karena mungkin kedekatanku pada musik-musik keltik. Selain itu, lirik puisi yang tidak perlu ditanyakan lagi kualitasnya ini banyak menggunakan diksi-diksi yang jika sekali-selewat membacanya cenderung akan terarah berkenaan pada suasana-malam-pulang-istirahat. Saat itu Bapa bilang menyukai kecocokannya bentuk lagu ini dengan puisinya. Tapi gara-gara terlena perasaan senang ‘diterima’ ini, aku malah luput tidak menanyakan ‘maksud’ sebenarnya dari puisi itu.

Sejujurnya, pemaknaan dan pemahamanku pribadi dalam perpuisian tidak terlalu bagus. Aku memang bukan pembaca yang baik, aku menyukai sastra hanya sebagai penikmat saja. Berkali-kali kudengarkan lagu ini, yang ‘kuterima’ adalah penggubahan puisi pada lagu dengan gaya pengantar tidur yang dapat didengar dengan sederhana, selesai sampai sana saja (atau juga untuk yang pernah mendengarnya). Sampai setelah bapa Wafat, ada yang lain di telingaku saat kudengarkan lagu ini kembali. Tidak hanya soal suara yang berbicara. Di kedalaman, puisi yang ditulis Bapa ini baru ‘bekerja’ setelah aku punya rasa kehilangan yang berbeda.

Sajak Purnama

Purnama memakai busana malam
Sebelum kau tidurkan cahaya
Langit mendengarkan lenguh angin
Sebelum menyanyikan lagu hujan
Kemarau mengeringkan hijau daun
Sebelum debu menggugurkan sunyi di jalan
 
Aku menanti kabarmu di balik bayang-bayang
Kau bangunkan aku jika besok lupa pulang
 
2020

 

“Purnama memakai busana malam”. Aku lebih merasakan bahwa kata purnama ini adalah persona Bapa sendiri, dengan busana malam sebagai segala hal yang Bapa miliki-sudah Bapa lakukan-sudah Bapa berikan, Bapa sudah bersiap. “Sebelum kau tidurkan cahaya”, sebelum waktu sampai, sebelum Tuhan ‘mengistirahatkan’. Cahaya, bagian dari purnama, segala yang ‘hidup’ dari Purnama itu sendiri.


“Langit mendengarkan lenguh angin”, saat tiba keadaan yang mulai resah-khawatir. Tanda-tanda yang redup itu sudah mulai tampak dari penglihatan kita. Keluasan sudah dipenuhi dengan kata-kata, yang paling baik dari itu adalah terbangan do’a-do’a. “Sebelum menyanyikan lagu hujan”, pada akhirnya kita harus memaknai apapun dengan syukur dan Ikhlas, meski dengan air mata yang turun deras.


“Kemarau mengeringkan hijau daun”, waktu adalah mutlak. Kedatangan dan kepergian yang saling memiliki itu akan terus beranjak. Hijau daun yang memberikan warna ‘sebagian dunia’-kita, suatu saat akan sirna. “Sebelum debu menggugurkan sunyi di jalan”, purnama yang ‘menitipkan’ sesuatu, dan merubah bentuknya menjadi suara yang tidak semua bisa mendengarnya. Keadaan hati kita setelah purnama berpulang dengan Bahagia.


“Aku menanti kabarmu di balik bayang-bayang”, purnama yang selalu menunggu apapun-terlebih kebaikan-kebaikan dari kita-dari ‘sebrang’. “Kau bangunkan aku jika besok lupa pulang”, subyek yang berganti pada kita sebagai pembaca, purnama yang mengingatkan kita bahwa masih ada hal-hal yang bisa kita lakukan..


Sastra, terlebih Puisi memang sangat multi-tafsir. Dan dari yang kutulis di atas sangat memungkinkan untuk tidak tepat, apalagi dengan perangkat interpretasiku yang terbatas. Tapi barangkali dalam keadaanku yang sekarang, Sajak Purnama ini lebih menjadi pengingat-pesan untukku. Jika semisal memang benar Bapa sedikit ‘menyisipkan’ maksud puisinya seperti yang kutulis tadi, betapa Bapa sudah jauh melihat-merasakan ke depan. Kami ? hanya membaca puisinya dengan ringan. Hingga keadaan berbeda, barulah menyadari makna-makna itu bermunculan.

Karena tidak berhubungan dengan nilai akademik dan tidak menghasilkan uang dalam kultur materialisme sekarang, hal-hal yang berasal dari-mengenai perasaan dianggap tidaklah penting bagi kebanyakam. Seni memperhatikan kita sangatlah rendah. Semua orang barangkali memiliki hati, tapi apakah semuanya sudah baik menggunakannya ?

-

Suara bercerita

Musikalisasi puisi ini barangkali tidak asing untuk teman-teman yang pernah bertemu denganku pada Safari Sastra Yudhistira dari yang ke dua sampai ke lima.

Musikalisasi puisi Sajak Purnama ini mempertemukanku dengan Bapa, nama besar yang kukagumi, nama yang kukenali dari buku saat aku seusia belia. Sajak Purnama ini membawaku pada tiga tahun perjalanan yang luar biasa, membawaku penyanyi desa itu sampai berada di panggung besar ibu kota. Sajak yang membuatku semula memanggil Kang Yudhis sampai memanggilnya Bapa.


Pa, ini kerinduanku.

Ini Kado yang lebih awal yang kuberikan sebelum Februari nanti berulang tahun, biasanya kita punya hari bersama kalau Bapa ulang tahun.. Aku minta maaf masih belum bisa membuat Bapa bangga seperti anak-anak Bapa yang lain, aku juga masih sering merepotkan Bu Siska, Paaa hehe. Sekarang aku cuma bisa mendoakan Bapa dari sini.. Semoga Bapa selalu berada di tempat yang paling indah di sisi-Nya.

Ini juga penyemangat buat Bu Siska dan keluarga yang sedang menggarap buku Biografi Bapa. Semoga semua lancar, sehat dan berlimpah rizki..


Buat A Iga, jangan bandingkan sama rekaman hasil di studio barunya Aa pokonya, haha. Ini kubuat di kamar kosan dengan peralatan seadanya. Tapi yang jelas, aku dan anak-anak Bapa di Tasik membuat ini dengan penuh cinta !

Kututup tulisan kali ini dengan puisi yang kubuat untuk Bapa di tahun 2023

 

Tulisan
 
Adalah jalan. Hidupnya
Merubah perumpamaan. Menjadi kenyataan
Seperti mimpiku. Bernyanyi dengan warna-warna
Mengantarkan orang-orang. Pada kebahagiaan
 
Lagu syukurku. Adalah angin yang liris
Tanpa nada tinggi. Telah kutemukan makna
Kekecewaan Yudhistira. Padaku serupa tangis
Kasih sayang. Memupuk pucuk daun-daun muda
 
2023

-

video full bisa ditonton pada link dibawah :

Sajak Purnama - Musikalisasi Puisi Yudhistira ANM Massardi




Kangen pokoknya !


0 comments:

Posting Komentar