Begitu semilir angin
Berbisik pada telinga
Insan-insan kesedihan
- Hidayani
Minggu-minggu ini aku jadi sering lagi mendengarkan lagu "Teman Tak Melulu Insan" yang kubuat dari puisi teh Hidayani bulan Februari lalu. Yah.. Sekedar ngahaneutan kalau pagi-pagi sambil ngopi di saung, juga buat stimulus melanjutkan 'kerja' penggarapan lagu-lagu yang lain dari buku Kemarau di Surga atau hal-hal lainnya.
Menuju penghujung masa kerja semester ini dan menyambut yang liburan katanya, kukira aku banyak mengisinya dengan proses kreatif. Aku menulis lagi, melukis lagi, membuat lagu lagi, aku merasa 'berguna', menyenangkan ! Lalu ada sedikit perjalanan, dan beberapa pertemuan lama dan perkenalan 'baru'. Benar begitu, Lywa ? hehe
Baiklah begini kira-kira sisa dua minggu Juni ini..
Dipenghujung acara, ada segmen ngigel bersama. Jadi kami menari melingkar dengan iringan jaipongan.
Selesai acara, kami 'orang-orang' dari Singaparna tidak langsung pulang. Kami ada briefing dulu untuk kegiatan NJP di Singaparna bulan depan dan bulan Agustus. Jadi, kami akan mengakomodir talent-talent seni dari Tasik yang akan dipentaskan dalam kegiatan NJP dengan judul Kamonesan.
Di sana aku ketemu lagi dengan Cevi, dalang wayang anom dari Tasik yang juga bekerja di sini, tapi dia lebih ngelola radio. Yang tengah, teh Nurhalimah, host yang humble lulusan jurusan komunikasi UIN Bandung. Seumuran dan seangkatan si dede ternyata.
Kamis, 19 Juni 2025. Mendapat beasiswa berkarya 'paksa'. Aku diminta Diwan & Najmi untuk membuat lukisan yang akan dipasang di ruang utama basecamp Pesangreen asuhan mereka berdua.
Lalu warna hijau permintaan Najmi sebagai perwakilan Pesangreen-nya. Dengan distorsi bentuk tirai lengkap dengan tiangnya, juga didekatkan dengan bentuk jarum crochet sulam. Sebagai simbol kolaborasi pergerakan mereka yang memang progresif tahun ini.

Jumat, 21 Juni 2025. Diwan menuliskan puisinya di dalam itu. Jadi ini memang bukan kerja karya sendiri. Tulisan Diwan yang lebih ke arah 'harapan' yang terkesan utopis untuk kebanyakan orang. Aku tidak menyangka juga dia bisa menulis dengan kuas dengan begitu rapi, tapi yah.. Bagaimanapun dia juga putranya pelukis sih.
Sedari maghrib sampai sekitar pukul sembilan malam lukisan ini kami kira 80% selesai. Kami menambahkan kolase di sisi kirinya menggunakan kitab kuning yang terbengkalai. Setelah dibaca ini adalah kitab Fathul Qorib, salah satu kitab dasar yang sangat populer di kalangan pesantren, khususnya di Indonesia. Kitab ini membahas ilmu fiqih (hukum Islam) dengan sistematika yang mudah dipahami, khususnya untuk pemula. Fathul Qorib merupakan syarah (penjelasan) dari kitab Matan Abu Syuja', dan dinisbahkan pada mazhab Syafi'i. Sebagai penanda kami berangkat dari lingkungan pesantren, lalu komunitas ini juga anggap pergerakannya sebagai 'ibadah', yah.. Begitulah kira-kira.
Sabtu, 21 Juni 2025. Menggunakan sisa setengah hari ini memasangkan frame untuk lukisan yang hampir selesai dengan lis profil yang tidak jelas ukuran. Akhirnya jadi pasengsol. Saat beres-beres tanganku kena ragaji. Hehe, sudah lama aku tidak berdarah begini.
Selesai Maghrib, dikunjungi pa doktorqueee. Sahabatku sejak SMA ini hampir menyelesaikan studi S3-nya di UIN Maulana Malik Ibrahim. Mampir ke saung sebelum ke stasiun untuk kembali berangkat ke Malang. Cukup lama sejak terakhir bertemu di pernikahannya Eki di Garut dua bulan lalu.
Menceritakan tentang Eki Garut yang sudah menikah, katanya Eki beberapa kali menyela saat dia berkunjung ke rumah Ganjar seraya berkata, "Enya Jay, nu ceuk maneh teh ningan.". Aku bilang "Enya naon heula,", karena aku belum paham arahnya, dan oh tentu saja tentang kehidupan setelah pernikahan. Eki memang dikenal sebagai seorang yang solid dan menjaga pertemanan. Setelah menikah, Ganjar bilang padaku pertemanan adalah nomor 'kesekian'. Hehe, agak menyedihkan juga, tapi juga memang fakta. Tapi sekali lagi, pun bersamaku atau bersama teman-teman lain, aku-kami ternyata tidak bisa menawarkan 'kelebihbaikan'.
Yah.. Pada akhirnya, oleh siapapun. Kita juga hanya menunggu, untuk ditinggalkan.
Minggu, 22 Juni 2025. 'Ngamen' menuju akhir bulan yang tiba-tiba. Lumayan, buat jajan dan bayar kosan. Kerjaan modelan begini sangat-sangat membantuku dalam banyak keadaan. Karena kalau mengandalkan kerjaan yang 'itu' nya nyakitu tea.

Senin, 23 Juni 2025. Pagi yang berkabut. Ini sudah kedua kalinya bulan ini. Di seberang saung ada pesta pernikahan, jadi suara checksound sudah terdengar bahkan setelah shubuh. Tapi cukup membantuku bangun sesuai jadwal, karena aku akan mengawali kegiatan hari ini pagi sekali.
Aku senang punya teman-teman penyair. Salah satunya Galih M. Rosyadi, langganan juara baca puisi, jebolan HB. Jassiin Pula. Dia merespon lukisan yang kubuat bersama Diwan, lalu dikirimkannya aku sebuah tulisan :
Pada Sebuah Lukisan
: buat Eki Naufal
Langit luas
Berwarna kelabu
Sebentang kain
Compang-camping
Lusuh
Berwarna hijau
Menggantung
Jadi tirai
Matahari
Sembunyi
Di punggungnya
Dua orang berdiri
Di atas terjal
Dan tajam tebing
Lembaran kitab
Beterbangan
Di atas laut
Di atas ombak
Di atas gelombang
Yang tak nampak.
Sungguh, kini
Segala pertanda
Telah kau hamparkan
Bagi mereka
Yang mungkin lupa
Pada jalan
Yang semestinya.
Galih M Rosyadi, 24 Juni 2025
Terimakasih Wa Galih !
Berencana istirahat, tap tidak bisa pejam, entah kenapa. Akhirnya aku menggunakan waktu untuk memindahkan jahe merah, rosella dan sansiviera ke pot yang terpisah.
Selepas isya, aku diundang ke rumah kg. Ahmad Greg yang mengasuh sanggar Ringkang. Kami mengobroli beberapa hal teknis dan progres untuk program Kamonesan yang akan digelar tanggal 12 Juli mendatang. Di sana sudah ada Diwan dan tim dari Djarum perwakilan region Singaparna.
Malam tahun baru Islam. Sepertinya sudah dua tahun ini aku tidak ikut pawai, yah.. Teman-teman kampung juga sudah habis, lalu RT setempat juga tidak antusias menghimbau sih. Jadi aku cuma nonton arak-arakan saja. Agak sepi karena rute pawai anjuran Desa tidak seperti tahun-tahun sebelumnya.
Akhirnya cuma nongkrong sama si Iyan dan si Babwah.
Seharian mengerjakan lagu baru dari antologi buku puisi Kemarau di Surga yang insightnya jol datang sajorelat, dan (diusahakan) selesai hari itu juga. Kali ini aku mengambil puisi pendeknya si dede yang berjudul "Belum Selesai". Lagu pendek, dari puisi pendek. Aku membentuknya masih dengan mempertahankan gaya lagu pertama dari buku ini, melodi sederhana, menggunakan organ supaya terdengar lebih Gospel.
Jumat, 27 Juni 2025. Latihan malam di Sanggar Ringkang untuk keperluan pentas di acara Kamonesan - Napak Jagat Pasundan. Latihan malam panjang sampai pukul 11 malam. Pulang ke saung malah ngobrol begadang sampai setengah tiga malam gara-gara ada si aijul ikut ke saung. Padahal besoknya aku harus berangkat shubuh ke daerah Garut selatan untuk menghadiri pernikahan teman di tempat kerja.
Sabtu, 28 Juni 2025. Benar saja, aku bangun kesiangan. Ditelponin orang kantor dari jam setengah lima, dan aku baru bangun jam lima. Akhirnya gugurubugan. Hujan besar bahkan sedari malam harinya. Pukul delapan pagi kami sudah sampai di Cipatujah, kami istirahat di sini untuk sarapan.
Dari tempat pernikahan pa Cepy kami berlanjut 10 menit saja untuk sedikit jalan-jalan k pantai Puncak Guha - Rancabuaya. Pantai dengan tebing tinggi, seperti di Karangtawulan jika di Tasik. Aku tidak segimana suka pantai sih sebenarnya. Aku lebih menyukai perjalanan ke gunung atau hutan-hutan.
Pulang dari pantai Puncak Guha kami mampir sebentar di Pamengpeuk, di rumahnya sikembar Nasywa-Nazwa. Ada kejadian yang menurutku memalukan di tempat ini. Tapi aku malas menceritakannya.
Dari rumahya Nazwa-Nasywa kukira akan langsung pulang ke Tasik. Ternyata mampir lagi, kali ini di kediamanya Djajang Anom, juru kunci tempat ziarah di Sancang.
Nurhalimah mengabariku bahwa podcast yang dibuat sudah dipublish. Ternyata begini kalau aku bicara ya. Bener ceuk si Ibu sok ngagerencem, rusuh. Lalu loba nu tibalik ceuk si Bapa mah. Yah.. Kadang memang merasa tidak cocok buat 'berbicara' begini. Tapi lumayan we lah, sedikit-sedikit bikin jejak. Video bisa diakses pada link di bawah ini :

Minggu, 29 Juni 2025. Kurang tidur dan perjalanan panjang bukan kombinasi yang bagus. Aku benar-benar tidak kemana-mana hari ini, menggunakan waktu untuk 'membayar' istirahat saja. Saung juga kubiarkan berantakan sisa hujan besar seharian saat aku di Garut. Sampai jelang petang aku baru pulang untuk berangkat lanjut latihan di Ringkang. Si Dede 'meyisakan' Bolognese Spaghetti yang dibuatnya dengan si iyan untuk makan malamku.
Pukul tujuh sudah di Sanggar Ringkang. Menunggu personil lengkap, kami nangkring di belakang. Karena di dalam studio tidak boleh merokok atau bawa makanan.
Sedikit cuplikan latihan. Jadi sebenarnya kami cuma punya jatah 7 menit saja untuk berada dalam rangkaian penampilan lainnya. Tapi lumayan menantang, komposisi disusun Cahyana, kami menggunakan tuti khas Ringkang dan metric. Ini jarang kulakukan dan sempat membuat personil awam kesulitan mengerti diawal-awal.
Dua minggu sisa Juni. Mana ada libur-liburan buatku huee. Aku masih punya satu rapat, satu kerjaan lagi sebelum 'mudik' ke Bandung. Baiklah, mari kita sambut Juli ini dengan harapan dan 'kecurigaan', haha.
0 comments:
Posting Komentar