Oh, Shenandoah, I long to see you,
Away, I’m bound away, across the wide Missouri.
-
Lirik di atas adalah lirik lagu dengan judul "Shenandoah", lagu yang sama-sama kami sukai di rumah. Lagu folk Amerika yang populer, anonim dan tidak tahu kapan dituliskannya. Tapi yang jelas adalah lagu pelaut, beberapa sumber mengatakan bisa jadi pencipta lagu itu adalah seorang pelaut juga. Lagu yang digunakan oleh pelaut untuk 'menemani kerja', menyelesaikan tugas seperti menaikkan jangkar kapal atau menarik tali. Tafsirannya juga beragam, tapi salah satunya adalah penyemangat, kerelaan, kebanggaan tentang satu perjalanan.
Away, you rolling river, : "Pergilah seperti sungai yang mengalir jauh". Ini seperti terdengar merdu buatku yang melihat si Dede menyelesaikan perjalanannya kali ini. Iyong, begitulah dia lebih dikenal orang-orang kampung. Dari yang kuingat, dengan waktu harianku yang padukdek. membaginya dalam beberapa segmen, Aku akan sedikit bercerita tentangnya kali ini.
Kultur 'Bercerita'
Merebut Posisi Bungsu
Aku sebenarnya sudah cukup ‘aman’ bertahun-tahun dalam posisi sebagai anak bungsu di keluarga si Bapa dan si Ibu. Kendati kehidupan keluarga yang ‘terbatas’, Aku tumbuh dengan sangat manja, tidak mengerti kalau semua orang bekerja keras. Waktu itu adalah saat apapun adalah untukku, termasuk semua hal dari kakak-kakakku.
Lalu si Ibu hamil di usia tua. Aku tidak begitu ngeuh tentang apa yang akan terjadi jika anak itu keluar dari perut ibuku. Yang jelas, kukira semakin banyak orang di rumah, semakin menyenangkan, karena akan ada teman bermain yang lain. Saat ibu mengandung si Dede, Aku masih sering dimintai si Ibu untuk membeli minuman bersoda dan Djarum Super yang harganya masih Rp. 500 per-batang. Aku tidak tahu bahwa kalau saat hamil barang-barang begitu adalah terlarang. Tapi sebagai anak yang ‘baik’ Aku nurut-nurut saja, karena mun dititah sok aya buruhna.
Tahun 2002, si Dede lahir di bidan Ipit. Bocah yang lahir dengan ukurannya kecil, orang lain bilang 'sesa' dan kalau nangis air matanya sebesar biji tasbe. Berselisih 8 tahun denganku, maka tahun itu posisiku sebagai bungsu sudah resmi berpindah. Dan perubahan gara-gara itu sudah terjadi pada hari itu juga. Karena ibu tidak bisa langsung pulang dulu, Aku culang-cileung di rumah, kebingungan biasa apapun tingal sor. Waktu-waktu ini, si Iyan-lah yang menghandel semua itu. Seperti baju-baju sekolahku, urusan makan, jajan, apapun yang jadi keperluan keseharian.
Kesayangan Ajah dan Amah
Berbeda denganku, Aku memang lebih dekat dengan keluarga si Bapa. Meski usia balita si Dede ada di rumah ketika banyak tetangga yang menjenguk, termasuk Bu Hj. Euis Hasanah salah satu yang kuingat datang. Di ruang tengah yang diisi keluarga Ma Eje, tempat menonton TV dengan merek Grundig, di sebelah kamar Aboh. Setelah lepas usia balita si Dede lebih banyak menghabiskan masa kecilnya di kaler, di rumah Amah, nenek dari keluarga Ibu. Diogo sa-diogo na oleh Ajah, adik si Ibu.
Pulang ke rumah sepulang sekolah, si Dede sudah biasa tidak ada. Pasti Dibawa oleh Ajah, bahkan sampai saat sakitpun seringkali malah tidur di bersamanya di kamar Ajah.
Tidak Lama Menjabat Sebagai 'Bungsu'
Rupanya, si Dede ‘menjabat’ sebagai bungsu dalam waktu yang tidak lama. Dengan ‘keadaan lain’, si Ibu harus mengurus si Neng Juneng. Usianya sebenarnya dua tahun lebih tua dari si Dede, lahir tahun 2000, tapi dia lebih ogo kacida, malah si Neng yang keliatannya lebih manja. Saat si Juneng ada, uang jajanku lebih berkurang, tapi sebagai gantinya Aku selalu diberi susu bubuk punya si Neng yang dititipkan ibunya sebagai bekal, karena si Juneng lebih memilih asi si Ibu, karena ini juga si Dede dan si Neng sering bertengkar rebutan perhatian si ibu untuk itu.
Tambah lagi, berselang empat tahun dari si Dede, tahun 2006, lahir juga adiknya si Neng, si Dido. Jadilah adikku jumlahnya tiga. Berbeda dengan si Neng yang diurus si Ibu sudah agak besar, si Dido diurus si ibu dari sehari setelah dia lahir. Dido lahir agak aneh, saat bayi di kepalanya banyak kokotor, entah apa itu, dan karena itu namanya dipanggil Rudok. Berlaluan waktu, jadilah dipanggil De ido, Udo, akhirnya Dido, padahal namanya Maulana Aditya. Pernah sekali waktu, saat si Dido sudah seuia SMP, ada temannya mencari ke rumah menanyakan nama Maulana Aditya ke tetangga kampung, tapi di kampung tidak ada yang kenal, karena namanya yang dikenali adalah Dido.
Bertiga itu, saudara se-susu, mereka tumbuh bersama, teman bertengkar, saling berbagi & mengambil perhatian semua. Setelah ketiganya memasuki usia remaja dan mulai dewasa, si Neng masih tetap bersuara keras kalau bicara, si Dede yang aneh, hanya si Dido yang tumbuh jadi agak 'kalem'.
Satu-satunya yang Mewarisi Fitur si Ibu
Dari semua anak si bapa dan si Ibu, si Dede mungkin satu-satunya yang mewarisi fitur si Ibu. Yang paling kentara adalah kepintaran si Dede soal angka-angka. Tidak satupun dari kami kakak-kakaknya yang memiliki ketertarikan tentang itu. Pun si Iyan, dia tidak sebaik si Dede soal hitung-hitungan (kalau si Iyan jagonya ngitung duit beneran). Apalagi si Mbek atau Aku yang lebih punya gaya belajar visual-lebih tertarik pada gambar-gambar.
Aku paling sering merepotkan si Ibu kalau punya pelajaran matematika, apalagi soal bagi kurung. Da tepi ka ayeuna teu bisa-bisa. Selain itu si Dede pintar memasak, dari masak sehari-hari sampai membuat olahan-olahan kue. Berbeda dengan si Iyan yang kalau masak apapun pasti rasanya sama. Lalu si Dede pintar ngurus barudak, tara pusingan.
Teman si Bapa
Aku dan kakak-kakakku diurus si Bapa saat usia si Bapa masih ‘prima’. Tidak heran Aku si bungsu teu jadi itu seringkali jadi lawan bertarung si Bapa. Aku tidak tahu pengalaman apa yang dimiliki kakak-kakakku dengan si Bapa, tapi kelihatannya hanya Aku yang paling sering kena gampleng karena memang paling nakal. Atau hanya karena gara-gara malas ngaji shubuh ke rumah Uwa. Si Bapa memang masih strict saat Aku kecil.
Berbeda dengan si Dede yang diurus si Bapa yang masuk usia tua. Pada si Dede, si Bapa sudah mulai lunak, dan cuma si Dede pula yang berani ngalunjak. Merasa punya ‘pelindung lain’, kalau kena omel si Dede pasti dibawa Ajah ke rumah Amah.
Setelah agak besar, Aku melihat si Dede lebih menganggap si Bapa sebagai teman. Kami semua anak-anak si Bapa si Ibu punya nama lain. Si Iyan si Unyil, Alby jadi Mbek, aku sebagai Junaedi, tapi itu didapat dari orang lain. Cuma si Dede yang punya nama lain dari si Bapa, Hymne Arang Rukemita. Bocah yang mudah menangis, berkulit hitam, dan sering diasuh-dibawa ke gunung si Bapa.
Iyan dan PerjalananSebagai anak pertama dan paling tua, kehidupan si Iyan mungkin paling keras diantara kita adik-adiknya. Membantu ‘kestabilan’ keluarga sejak masih remaja, dia hampir tidak punya kehidupan ‘normal’ seperti teman-temannya. Si Iyan tumbuh menjadi perempuan yang kuat dan mandiri meski paling gede ambek diantara kita (kukira karena banyak keinginannya yang harus dikesampingkan, diganti dengan ‘kemestian-kemestiannya’). Belakangan, dia menyukai yoga, yang kutahu efek yoga itu salah satunya adalah menstabilkan emosi, tapi kukira tidak juga begitu bekerja buatnya. Pada si Iyan, pokoknya jangan ‘mancing-mancing’, kena sengor : kelar urusan semua.
Iyan yang paling sering membawa kami adik-adiknya jalan-jalan. Dulu mungkin sering ke Tasik Kota dengan si Mbek saat uang ada, atau bersamaku setelah Aku besar, mengantar ke salah satu segmen perkumpulan teman-temannya yang brutal.
Mbek, Wajah yang Sama
Mbek cuma kebagian sedikit waktu dengan si Dede karena si Mbek dengan berat hati harus ‘membuang diri’ ke Batam setelah lulus SMA. Kakakku yang kedua ini sering dikatai sejak lahir teu paya’an, tapi sekarang malah tinggal paling jauh di perantauan.
Gado petot, mata yang terangkat ke atas dari si Ibu, irung namru punya si Bapa, senyum dan gigi yang paling beres diantara kita. Sedari kecil semua orang mengatakan si Dede sangat-sangat mirip dengan Mbek secara fisiknya.
Meski tinggal berjauhan, si Mbek selalu memberi perhatian. Semisal contoh paling kecil kalau pulang, si Dede lah yang paling banyak mendapat jatah oleh-oleh, lalu kedua terbanyak tentu si Iyan yang ‘membajaknya’, sebagai bahan 'riya' pada teman-temannya (tapi kukira itu kebahagiaanya supaya bisa berbagi dari apa yang dibawa adiknya), Aku biasanya kebagian seadanya saja, karena yah buatku asal semua bisa kumpul. Hidup sebagai perantau juga sangat berat, bisa pulang selamat juga lebih dari cukup buat keluarga ‘jenis’ kami ini.
Juara Sejak Kecil
Kami anak-anak si Ibu dan si Bapa memang dikenal teu bodo-bodo teuing soal persekolahan. Apalagi tentang bahasa inggris, kami seperti tidak ada kekhawatiran menghadapi pelajaran itu. Aku juga tidak tahu, kepiawaian kami tentang itu datang dari mana. Itu seperti ‘alami’ saja. Bisa jadi karena sering mendengar lagu-lagu barat dari radio-tape cassette rancangan si Bapa yang dipasang permanen di tangga ke rumah wa Aang, yang kalau diomean bisa ngaganengan semua orang semalaman.
Secara pribadi, Aku pernah disuruh ‘paksa’ si Bapa untuk menulis puisi, sehari satu, sampai punya buku khusus untuk itu, (belakangan Aku tahu si Mbek juga pernah disuruh si Bapa hal seperti ini). Aku tidak tahu apa maksudnya Aku disuruh seperti itu, usia sekolah dasar dan sekolah menengah yang penuh permainan, Aku sama sekali tidak tertarik dengan ‘perpuisian’. Saat itu, di rumah sedang aktif memproduksi keripik singkong dan opak beca. Keuangan rumah saat itu mulai ada, Aku membuat satu puisi setiap hari untuk ditukarkan dengan uang jajan ekstra dari si Bapa. Meski sebenarnya Aku menulisnya asal-asalan, karena yang memang benar-benar tidak kumengerti. Fase itu lumayan lama, meski terhenti juga akhirnya.
Si Dede tidak punya tekanan seperti itu dari si Bapa atau siapapun dari orang rumah, karena dia bungsu yang memang selalu juara sejak kecil. Belum apa-apa, dimulai sejak usia TK, dia sudah menjuarai lomba mewarnai tingkat kabupaten dan mewakili Tasik di perlombaan provinsi. Sejak itu, selalu murudul. Kukira soal persekolahan, dia tidak pernah tidak mendapat peringkat satu. Sebagai kakaknya yang tidak kaheleut, itu membuatku terlihat menyedihkan. Tapi kebiasaan juara itu membuat si Dede menjadi seorang yang ambisius, kalau tidak juara dia sok gering dan jadi badmood.
Kembali soal 'pelatihan paksa' menulis, Aku baru mengerti kenikmatan 'membaca dan menulis' pada akhir-akhir masa SMA, terkhusus sastra, itupun gara-gara sudah mulai kecimpung pada banyak kegiatan seni. Si Dede lebih natural menyukai membaca-menulis dibanding semua kakak-kakaknya.
Si Dede bahkan sampai menjadi juara 1 duta baca Kabupaten Tasikmalaya,
Juga finalis duta baca tingkat provinsi, perwakilan yang pergi 'diyatim-piatu-kan' oleh kabupatennya sendiri.
Tentang tulisan, si dede adalah Anak pertama si Bapa yang namanya ada di beberapa antologi buku yang kami tidak tahu kapan dia mensubmit karyanya.
Barulah Februari 2025 kemarin Aku dan si Dede ada dalam buku antologi puisi yang sama.
Menemaniku Saat Salah Jalan
Tahun-tahun perkuliahan, tahun-tahun yang tidak pernah kusukai. Saat itu Aku ‘dicekok’ untuk mempelajari hal yang tidak kusenangi. Merasakan mualnya bagaimana 'memakan' pelajaran yang bahan-bahannya sejak awal tidak enak untuk ditelan. Hidangan bernama 'daripada tidak sama sekali' yang setiap hari harus selalu dihabiskan.
Dari itu Aku jadi mulai suka sendirian. Melarikan diri dan perhatian ke tempat-tempat sepi. Menulis atau menggambar tentang apapun yang ditemui. Buatku meski ngedumel minimal Aku tidak mau merugikan orang lain. Aku tidak begitu mempunyai teman di masa-masa itu, mungkin kecuali Rizki Nugraha sahabatku dari masa aliyah yang pindah kembali ke Tasik padahal dia sudah satu semester di UNTIRTA - Banten. Yah, meski di akhir-akhir kukira dia juga jadi lebih senang bersama teman-teman selainku (Aku memang lebih banyak merugikannya), ditambah hal yang kusukai memang teu pati galib, Aku tidak menyukai hal-hal yang tren yang disukai orang-orang di sekelasku, karena itu mungkin dia lebih cocok dengan yang lain. Tidak bisa kukomplen, karena Aku juga tidak bisa menawarkan apapun sebagai harga pertemanan.
Jadi, Aku lebih sering mengajak-ditemani si Dede waktu itu. Membawanya mengenal gamelan (yang dia tidak tahu suatu saat dia akan pegang juga di SMA),
Atau jalan-jalan sore boncengan naik sepeda mang Adam ke Rancakalong, kadang pulang petang cuma buat liat warna langit dan arak-arakan awan. Pokoknya melakukan hal yang bisa memalingkan perasaan-perasaanku tentang 'kesalah-jalanan',
Aku bisa jadi lihat aktivitas si Dede di sekolah, sempat juga menjadi pelatih Drumband sekolah ini yang di mana si Dede juga ada di dalamnya.
Perlahan, Aku juga secara jadi tidak sadar membentuknya. Seperti kadang membelikannya barang-barang kesukaanku, sendal, tas, sepatu dengan merek Eiger, karena Aku sempat 'harus selalu menggunakan' merek itu, kebodohan memang, disaat ekonomi tidak baik Aku malah senang dengan barang-barang begituan. Tapi barang-barang itu memang praktikal dan durability-nya kuat, barangnya bisa sampai dipakai bertahun.
Aku tidak tahu si Dede menyukai waktu-waktu ini atau tidak.
SMA, saling bersembunyi.
Saat si Dede usia SMA, dia bersekolah di tempat Aku mengajar. Aku tidak tahu dengan siapa dia mendaftar. Tapi yang jelas di sana, kita sama-sama tidak membuka identitas, supaya kita bisa sama-sama bergerak bebas. Mungkin ada beberapa yang tahu, tapi biasanya langsung ‘kubungkam’ (Jika itu temanku), bahkan sampai si Dede lulus SMA, beberapa gurunya si Dede tidak mengetahui bahwa dia adikku. Di ruang guru Aku sering mendengar si Dede diceritakan-dibanggakan guru-gurunya, mereka banyak yang tidak tahu mengobrol itu dibelakang kakaknya, haha. Saat si Dede lulus Aku sudah tidak bekerja di sekolahnya. Ada perasaan jenuh tentang ‘ketidak-berkembanganku’ secara personal, pengetahuan ataupun pengalaman. Selain tahun itu Aku harus mengantar si Ibu ke Batam, menengok cucu pertamanya, Suhajla.
Kubawa dan Kukenalkan Pada Keluarga Bandung
Rentang tahun 2018 akhir sampai 2020, Aku punya kegiatan yang tiga hari setiap dua minggu membuatku bulak-balik Tasik-Bandung. Sekali waktu, Aku memang merencanakan membawa si Dede ke Bandung, selain liburan, juga supaya bisa ketemu dengan orang-orang yang baik denganku. Aku sudah punya hawar-hawar bahwa si Dede akan punya kesempatan hidup di Bandung, dari itu Aku ‘mengenalkannya’ pada lingkunganku, sebelum dia punya kehidupan di sini.
Padahal ada keluarga teh Ngken, saudara si Ibu juga saudara si Bapa. Tapi awal-awal, Aku membawa si Dede ke rumah keluarga Pa Joshua. Keluarga ekspat Amerika latin nu ngampihan saat Aku ador-adoran di Bandung. Kebetulan Pa Joshua punya dua anak yang dulu masih kecil dan masih ogo, Kathleen dan Leo.
Tahun-tahun itu Aku juga membawa si Dede ke gereja biasa Aku bernyanyi. Akhirnya ada banyak kenalanku yang mengenali si Dede.
Dia jadi punya teman-teman gerejanya sendiri.
Selanjutnya, Aku juga membawanya ke rumah Mah Ros dan Pa Waldemar yang juga ‘mengurusku’ setelah Pa Joshua dan Bu Clau pindah ke Padalarang. Si Dede jadi lebih sering berkunjung dan 'tinggal' daripada Aku sendiri ke sini, karena di rumah Mah Ros selalu ada jadwal kegiatan setiap dua minggu sekali atau tinggal pada saat Mah Ros dan Pa Wal harus ke luar negeri.
Hidup di Bandung
Selesai usia masa SMA-nya yang selalu juara, si Dede punya milik masuk perguruan tinggi di UIN Sunan Gunung Djati Bandung lewat jalur SNMPTN dengan jurusan psikologi. Ini tentu kabar membahagiakan untuk kami semua. si Dede mendapat jurusan ilmu yang dia inginkan dan dengan masuk lewat SNMPTN, itu sangat membantu soal pembiayaan. Aku dan si Iyan ngobrol saat mendapat kabar ini, menyetujui untuk 'merancang' si Dede supaya si Dede tidak seperti ketiga kakak-kakaknya. Sebagai alasan pribadi, buatku hanya jangan sampai ada Eki yang ‘lain’ lagi. Dia harus lebih motekar. Dan ingin membuktikan (pada orang-orang yang tidak ‘menyetujuiku’ mengambil jurusan seni) tentang jika seorang mempelajari hal yang dia inginkan, kelak dia akan menjadi ahli, dan ilmunya akan bermanfaat.
Aku dan Iyan mengantar si Dede ‘pindahan’ ke Bandung untuk memulai kuliahnya. Sejak awal kami sudah mengobrol bahwa ini tidak akan mudah, buat si Dede dan buat kami kakak-kakaknya, dan dia menyetujuinya. Dengan jatah kiriman uang yang sangat terbatas dan tidak segalib teman-temannya, mau tidak mau si Dede harus hidup keras untuk bertahan hidup selama di Bandung untuk studi yang dikejarnya. Aku sedikit mengikuti peurihnya. Disela-sela kesibukannya kuliah di kampus enyaan, si Dede beberapa kali pindah-pindah kosan, jualan, ngajar-ngasuh anak-anak, jadi barista kopi dan lainnya untuk mendapat uang tambahan. Tapi dari semua itu, dia selalu mendapatkan kesan baik dari atasan-atasannya. Ini adalah kepiawaian kami anak-anak si ibu untuk ‘menitipkan diri’. Bahwa adab lebih tinggi daripada ilmu. Kami anak-anak si Bapa dan Ibu seperti selalu mendapat kemudahan dan ‘perhatian’ dari siapapun di satu lingkungan, padahal kami tidak banyak bertingkah, hanya melakukan tugas-tugas dengan baik sesuai titah. Hal-hal seperti ini juga banyak seringkali membantu ‘perjalanan’ kami semua.
Tahun-tahun itu Aku masih beberapa kali bulak-balik Bandung untuk urusan kerjaan atau kegiatan, dan di waktu-waktu itu Aku selalu menyempatkan ngalongok si Dede. Tahun-tahun ini aku sudah cuti soal urusan asmara, aku tidak ada alokasi biaya untuk itu. Jadi bisa membagi uang bulananku yang tidak seberapa, juga hasil perhitungan dari yang diperlukan untuk kebutuhan ‘rumah tangga’.
Aku sempat juga 'manggung' di kampusnya saat safari sastra pertamaku bersama Yudhistira ANM Massardi.
Tapi, kadang memang kadang aya lieuran. Ketika kami sering khawatir dengan jatah bulanannya yang kurang, di sisi lain si Dede kelihatan sering juga main berkeliaran, dan dia lebih lampar dariku yang menyusur daerah Bandung sampai kepedalaman. Belakangan ketahuan ternyata dia menggunakan uang yang dia sendiri ‘hasilkan’, atau ada kesempatan perjalanan dari program-program yang dia kerjakan. Meski begitu, dia tetap fokus untuk perkuliahannya. Itu terbukti dari kebudayaan ‘juaranya’ yang masih berjalan.
Di kampusnya, si Dede banyak mendapat prestasi, yang menurut kakak-kakaknya adalah 'ah sudahlah', si dede mah biasa.
Sebagai mahasiswa terbaik psikologi, kategori pengabdian masyarakat. Ini tidak muluk, pasalnya hidup berkekurangan membuat kita anak-anak si ibu dan si bapa menjadi lebih paham tentang 'kepedulian sesama', karena kami sangat fasih soal perasaan lega ketika saling berbagi.
Bahkan sampai terpilih menjadi kandidat untuk perwakilan kampusnya ke luar negeri. Hal-hal seperti ini, Aku sudah tidak kaget lagi. Menyadari dan mengakui bahwa kepalanya memang yang paling baik dan ‘paling berisi’ diantara kami.
Sarjana Psikologi
Empat tahun sudah si Dede di kampusnya. Perjuangan yang tidak main-main, buat si Dede dan orang-orang rumah juga. Karena biaya menumpuk di akhir-akhir menjelang sidang tugas akhirnya. Seharusnya si Dede Wisuda pada bulan-bulan awal tahun 2025 ini, tapi jadwal wisuda dari kampus diundur-undur terus berbulan bulan. Rentang waktu itu, si Dede mendapat kerjaan, mbek dalam proses naik jabatan, iyan mendapat kejelasan pengangkatan, Aku mendapat perjalanan. Meski si ibu dan si iyan sempat masuk rumah sakit lagi persis seminggu sebelum ke berangkatan ke Bandung, yang membuat kami anak-anaknya stress semua. Tapi jeda waktu berbulan itu seperti memberikan kami ‘persiapan’ untuk ‘hari besar’ si Dede mengakhiri perkuliahan.
Sekali lagi selamat, kamu sudah sampai ke tahap ini !
0 comments:
Posting Komentar