Hari yang
agak panjang. keadaan pertengahan bulan yang mulai mencekik keadaan, setengah
hari sabtu kemarin ini kupakai untuk ‘ngamen’ translating naskah, yah..
Lumayanlah buat jajan, aku jadi tidak tahu kerjaanku yang jelas ini sebenarnya apa sih haha. Lalu mengejar online meeting pukul satu siang karena harus membantu guru
Bahasa Inggris di sekolahku yang dulu sampai menjelang sore. Aku menghubungkan
para pelajar ekstrakurikuler Bahasa pada kenalanku di IES untuk memberikan
pengalaman tentang English speaking. ‘Percobaan’ pertama ini tidak terlalu
buruk, terlebih untuk tempat pendidikan yang katanya ingin ‘berkembang’ tapi
selalu saja setengah-setengah. Padahal bagaimanapun semua sadar penuh akar
permasalahannya. Tentang ini.. Sebenarnya aku sedikit menyayangkan nama
besarnya yang sudah dikenal dimana-mana, dikenal sejak lama. Terlebih Sekolah
ini akan merayakan reuni, ini agak ironi dengan keadaannya yang masih dibuat gonjang-ganjing
masa transisi.
Pulang ke Saung. Musim panas panjang, aku tidak punya pilihan tempat lain yang paling cocok untuk mendinginkan tubuh dan pikiran yang perlu dibasuh. Menunggu petang datang, duduk sebentar dan membaca buku meski hanya dua lembar. Bapakku sedang sakit sudah masuk tiga minggu, jadi aku mesti melakukan ‘tugas’ yang biasa dia lakukan sementara ini. Padahal ini malam minggu, aku juga kadang ingin punya waktu keluar untuk bercumbu, hehe. Tapi yah.. Hal begitu sudah tidak kumiliki sejak lama. Lagipula hari ini cukup melelahkan, jadi kuputuskan untuk menulis hal yang ada di kepalaku saja, ini akan jadi tulisan Panjang yang tidak menyenangkan, tapi yah.. Namanya juga kegelisahan.
-
Anak yang
'terjebak' di kampung.
Aku memang
sering mendapatkan kesempatan perjalanan-perjalanan. Dari yang terdekat sampai
terjauh, sebentar bahkan bisa sampai berbulan. Dan itu seringkali tanpa biaya,
aku selalu dipertemukan orang-orang 'baik'. Framing tentangku sebagai pemuda
non-future oriented tukang ngador barangkali sudah lama lalu lalang terdengar
di telingaku. Bekerja ‘sagala’ dan seadanya dengan 'asal bisa bertahan esok
hari' ini sebenarnya bukan tanpa alasan. Aku bisa saja kesana-kemari meski
semisal jadi seorang kuli, lalu beberapa kolega menawariku 'pekerjaan' dengan
maksud menolong sisi finansialku. Tapi mekanisme keseharianku nyatanya tidak
sesederhana itu, aku tidak bisa mudah mengambil keputusan dan kesempatan itu
tanpa memikirkan ‘pinggir-pinggir-ku’. Ada yang mesti 'kulakukan', dengan atau
tanpa persetujuanku.
Moralitas, meski dibesarkan di keluarga yang tidak subur secara ekonomi, kukira aku masih cukup beruntung dibesarkan oleh orang tua yang relatif 'liberal' di dalam keluarga besar yang konservatif akut. Gara-gara ini Aku sering didalih soal agama oleh saudara-saudaraku sendiri, itu hal yang tentu saja baik, sangat-sangat baik, dan aku sangat menerimanya. Tapi sebenarnya ini nihil juga jika diterapkan dikeadaan keluargaku. Barangkali benar Aku bukan seorang muslim yang baik, tapi aku masih menjunjung tinggi nilai adab. Di hari ini, hal-hal yang kulakukan ini, Aku tidak pernah menganggap hal yang kulakukan ini dengan istilah balas budi. Karena dalam agama yang kuyakini, ini adalah salah satu bentuk kewajiban dalam berkehidupan. Itu yang kudapatkan, dan tidak perlu lagi untuk diucapkan pada lain orang jika kita sendiri ada dalam keadaan ketidak-mampuan. Mohon hati-hati kalua bicara. Sesuaikan dengan siapa, dan bagaimana keadaanya.
Meski ada
yang ingin kukejar, tapi masih ada hal lain yang tidak bisa ditawar.
Setelah
kakak laki-laki ku pindah dan tinggal di luar pulau, aku satu-satunya anak yang
diandalkan mengurusi hal-hal fisik dan mobilitas di rumah, yang sebenarnya
bukan tidak mungkin pun dilakukan oleh perempuan. Tapi yaa.. Karena aku juga
tidak begitu berguna di sisi lain, minimal ini hal yang bisa dilakukan
sekarang. Ini seringkali membuatku bimbang, saat usiaku ini yang seharusnya
sudah mulai atau cukup 'mapan', aku mesti tetap 'tinggal' di kampung halaman.
Mungkin iya Aku masih bisa bermekar, tapi Aku tidak pernah bisa melewati pagar
taman. Masa-masa keliaranku sekarang mesti dibatasi, dan mau tidak mau harus
mengambil 'tugas' yang sebenarnya bukan sepenuhnya tanggung jawabku. Tapi
sekali lagi moralitas, aku berterimakasih kepada ibu-bapakku yang 'orang-orang'
katai tidak lebih baik itu, yang sudah mendidikku soal ini.
“Batur
jadi dulur, dulur jadi batur”. Kiranya khazanah pribahasa ini tidak berlebihan dan bukan tanpa alasan
dibuat oleh leluhur orang Sunda zaman dahulu. Soal kehidupan, sejauh ini kurasa
Aku lebih banyak mendapat bantuan dari orang-orang yang tidak berhubungan
secara keluarga. Seperti sekitaran tahun 2019 aku diurus dengan baik oleh salah
satu keluarga kebangsaan Brazil saat berada di titik bawah. Tradisi 'Familie
first value' Amerika Latin yang dimiliki oleh mereka tidak begitu
mengagetkanku. Karena di rumahku, sejak dulu kukira sudah begitu. Kami sudah
biasa bahu-membahu, bahkan sampai giliran ngutang untuk dapat memenuhi
'kebutuhan' diantara kami atas perhitungan tingkat urgensi. Jadi waktu itu
tidak sulit buatku saat aku mulai berbaur-beradaptasi hidup dengan keluarga
ini. Mereka semua Kristen tapi tidak ada sedikitpun indikasi-distraksi
'keagamaan' yang kurasakan dari mereka mengingat aku yang memeluk agama Islam. Sesuatu
yang bernilai baik, akan tetap bernilai baik. Tapi itu mesti dibersamai dengan
'pelaksanaannya', bukan hanya lisan semata.
Bagaimana
seorang berlaku dipengaruhi oleh bagaimana ia dibesarkan.
Ada
pertanyaan menarik yang kudapat dari kakak perempuanku saat makan malam petang
bersama di rumah, “Kenapa kalian (Aku dan Bapakku) senang memelihara luka ?”.
Aku tidak menyangkalnya karena memang sering kulakukan dengan kesadaran penuh,
kalau buatku, karena sering kupakai buat bahan-bahan menulis, menggambar atau
bikin lagu. Tapi dipikir-pikir setelah kususur, ternyata banyak juga dari
keluargaku yang melakukannya itu, jadi ini bukan perkara yang ‘hanya aku saja’.
Mungkin tidak hanya tentang luka, tapi juga pada memelihara ingatan lainnya,
yah itu bisa ingatan yang baik atau pula tidak baik. Apakah penting ?, buatku
yang tidak memiliki apapun, itu tentu penting.
Aku cukup
beruntung karena bisa menceritakan apapun pada keluarga dengan leluasa. Dari
yang penting sampai yang paling anjing. Kami yang tidak punya apapun untuk
dibagikan ketika pulang, seringkali hanya bisa membagikan cerita-cerita tentang
keseharian. Karena kultur kerucut masalah kehidupan di Indonesia hanya tiga, kami
anak-anak dari keluarga yang biasa-biasa ini sejak kecil sudah ditanami mesti
mengganti pesona dengan karakter, uang dengan etika, privilege dengan isi
kepala. Dan itu benar-benar bekerja.
Usia tua
bisa jadi sangat tidak menyenangkan. Aku dapat menerima bahwa setiap manusia
suatu saat akan ditinggalkan. Secara alami ataupun buatan. Bisa ditinggalkan
karena wafat, atau ditinggalkan dengan alasan permasalahan. Di ranah
pendidikan, kita sering sekali dijejal tentang teori yang mengatakan bahwa
manusia adalah makhluk sosial. Keberadaan yang selalu membutuhkan orang lain.
Sejak dulu, sejak usia sekolah menengah, aku sudah berpikir, bagaimana mengatasi
teori itu. Ini sama sekali bukan tentang soal jenis kepribadianku yang pernah menjadi
seorang Introvert, tapi saat itu aku lebih berpikir pada bagaimana aku akan
menghadapi keadaan ‘ditinggalkan’ itu suatu saat nanti.
Aku
berkali-kali mendengar cerita yang sama dari seorang sepuh di keluargaku yang sekarag
tinggal sendirian. Dan beliau tidak sadar bercerita tentang itu padaku
berkali-kali, bahkan setelah kemarin malam hari. Tapi aku tidak pernah
memotongnya meski aku sudah tau persis kemana arah jalan ceritanya. Pelupa,
pikun ? Syukurnya tidak, beliau masih sehat secara ingatan. Di usia lanjut,
aktivitasnya jadi berkurang dan intensitas komunikasinya sangat sedikit. Jadi
yang beliau 'temukan' setiap hari bisa jadi tidak begitu banyak. Kurasa ini
sebabnya yang diceritakan masih hal yang sama atau tidak begitu jauh dari yang
sebelum-sebelumnya. Tentang yang beliau ceritakan, terlepas dari nilai
perasaannya yang bahagia atau tidak, barangkali baginya, itulah waktu terbaik
semasa hidupnya yang tetap melekat dalam ingatannya. Dan ini kukira bisa jadi
karena beliau tidak punya cukup waktu atau tidak punya siapapun untuk sekedar
hanya bisa bercerita, dengan ‘leluasa’.
Birrul
Walidain, kewajiban mengurus orang tua.
عن
أبي هريرة
رضي الله
عنه قال
سمعتُ رسولَ
الله صلى
الله عليه
وسلم يقول
رَغِمَ أنْفُهُ،
رَغِمَ أنْفُهُ،
رَغِمَ أنْفُهُ
قيل مَنْ
يا رسولَ
اللهِ؟ قال
مَنْ أدْرَكَ
وَالِدَيْهِ عِنْدَ
الْكِبَرِ أَحَدُهُما
أَوْ كِلَاهما
ثمَّ لَمْ
يَدْخُلِ الجَنَّةَ
Artinya, “Dari sahabat Abu Hurairah ra, ia mendengar
Rasulullah saw bersabda, ‘Celakalah seseorang, celakalah, dan celakalah.’
Sahabat bertanya, ‘Siapa ya Rasul?’ Rasul menjawab, ‘Orang yang mendapati kedua
orang tuanya menua baik salah satu maupun keduanya, lalu ia tidak masuk ke
surga,’”(HR Muslim).
Jarang sekali aku mengutip hal-hal seperti ini di
tulisanku. Karena keagamaan sama sekali bukan field-ku dan aku tidak
kapabel tentang ini. Ini hanya satu dari sekian banyak hadits tentang merawat
orang tua, aku memilih yang ini karena kebanyakan orang Islam disekitarku yang
terdiri dari beberapa jenis Islam, Islam lekoh, Islam bijak, bahkan Islam ktp sampai
Islam protestan selalu berbicara surga dan neraka sebagai tujuan. Aku
tidak berfokus soal surga di hadits itu, itu urusan lain. Buatku yang penting
adalah perasaan kedamaian ketika kita-semua merasa sama-sama baik.
Kakakku yang paling tua tinggal di Yogya. Dia seorang
Katolik dan aktif dalam divisi lingkungan gereja-nya. Salah satu tugasnya
adalah mengecek keadaan orang-orang dalam komuni-nya, terutama orang tua dan
anak-anak yatim. Memperhatikan kesehatan, kebutuhan, bahkan hanya untuk sekedar
mengajaknya berbicara. Dan kebanyakan, mereka tidak ada sangkut paut
kekeluargaan secara biologis, dalam keadaan lingkungan kosmopolit-beraneka
ragam tempat berasal. Dan mereka melakukan itu hanya dengan asas bakti dan
titah ajaran. Ironi lain buatku yang hidup di kampung yang lekat dengan
nilai-nilai Islam, tapi implementasinya malah kulihat dari seberang. Saling
mengasihi terkesan hanya digunakan sebagai kepentingan, diambil fotonya sebagai
pencitraan.
Dengan melihat
itu-dengan keadaan bapaku yang sakit segini saja aku sudah tidak nyaman
kemana-mana atau melakukan apa. Tapi gara-gara ini Aku jadi sedikit kepikiran,
bahwa banyak juga anak-anak yang bisa meninggalkan orang tuanya dengan atau
saat keadaannya kurang baik. Aku jadi bertanya-tanya bagaimana mereka bisa
mengatasi kegelisahan semacam itu sambil melanjutkan kehidupannya. Jika semisal
meninggalkan orang tua dengan alasan sudah menikah, maka gara-gara ini juga aku
tidak begitu melihat pernikahan bukan hanya soal indah penyatuan, tapi juga
cara pemisahan dengan pelan-pelan. Mengganti kedatangan dengan kepergian, ini
yang kumaksudkan meninggalkan dengan ‘alasan’ di paragraph sebelumnya, dan
menurut ibuku itu ‘teu nanaon’, meski kurasa masih ‘nanaon’ (seoranh guru ngaji pernah kutanyai ini, tapi jawabannya hanya dengan "Apa boleh buat", yang membuatku tidak puas). Aku tidak bermaksud
atau berprasangka apapun pada mereka tentang ini, tapi kalau mereka punya jawaban yang bagus tentang
pola meninggalkan ini, aku mau minta tips untuk penyelesaian permasalahanku,
tapi jika semisal jawabannya adalah uang, maka aku akan berhenti bertanya,
karena itu sudah bukan bagianku, dan agak menyedihkan. Aku kurang puas kalau bisa
menggadaikan perasaan hanya dengan ukuran itu.
Tapi sebagai
catatan, tidak semua orangtua yang sudah
lanjut usia butuh diurus, ataupun ingin terus-menerus tinggal di rumah
anak-anak mereka. Mereka mungkin lebih memilih tinggal di panti jompo. Atau,
mereka mungkin saja masih bisa hidup mandiri. Terlepas apapun pilihannya, kita
tetap bertanggung jawab atas mereka.
-
29. Banyak
hal berubah, kepalaku juga bekerja dengan cara lain, tubuhku kadang tidak
mendengarkanku. Ibu-bapakku dulu seorang perokok yang cukup parah, dan sewaktu
aku kecil aku membenci kebiasaan mereka itu. Tapi ternyata sekarang malah aku
yang melakukannya. Sejak dulu, aku selalu dan sudah terbiasa terlambat
mendapatkan apapun, termasuk dalam 'ketidak-baikan'. Kukira aku masih pemula
tentang masalah merokok, baru masuk tahun ketiga, dan aku sudah merasakan
bagaimana efek ketergantungannya. Tapi aku cukup puas bahwa prilaku ini
kuputuskan sendiri, bukan ajakan dari seseorang atau keterpengaruhan
lingkungan, jadi Aku tidak perlu menyalahkan siapapun selain diriku sendiri.
Sifat adiktif Ini dipandang kebanyakan buruk, tapi kiranya sekarang aku agak
mengerti soal kebiasaan orangtuaku yang dulu candu merokok, barangkali hal itu
saja 'kemewahan' yang memungkinkan didapatkan oleh mereka saat itu. Meski hari
ini mereka harus menukarnya dengan harga kesehatan.
Masa
kecilku dulu tinggal di rumah dengan 4 kepala keluarga. Ruang 'bertemu' menyatu
dengan dapur mereka semua. Pisau-pisau yang disimpan berjejer di meja itu menjadi
pemandangan setiap hari. Sejak usia itu aku sudah punya imajinasi liar untuk
bunuh diri, padahal rasanya dulu cuma gara-gara masalah sepele (tapi belum
pernah juga berani kulakukan), maksudku sejak seusia itu aku sudah melihat
kematian sebagai jalan akhir yang lebih mudah. Tidak seperti anak yang lain
yang hari-harinya penuh bermain, seusia itu Aku sudah dapat memikirkan
kehidupan dengan cara yang lain.
Melihat
pola kehidupan di sekitarku sekarang aku jadi agak terpikir masa tentang masa
tua. Kukira jika aku memang sudah tidak bermanfaat, aku tidak keberatan jika
semisal mati diusia yang masih muda. 'Kamu tidak mau menikah ?', aku sih tidak
keberatan jikapun ditakdirkan untuk tidak, ini cikal bakal dari perasaan
kehilangan yang akan timbul untuk istri dan anak-anakku jika aku wafat,
perasaan yang akan merepotkan mereka suatu saat nanti. Meski di lain sisi tentu
sepertinya akan menyenangkan jika memiliki seseorang dihari-hari ketika
rambutku berubah warna. Tentang perihal ini kuserahkan Kumaha Alloh saja.
Aku kadang
menginginkan cara pergi seperti almarhumah temanku Desy, dia memiliki cara
pergi yang menurutku paling indah, dikelilingi oleh orang-orang yang
menyayanginya. Tapi kadang aku ingin mati seperti seekor kucing saja yang
ujug-ujug ngaleungit. Tidak ada yang tahu, bisa pergi kapan saja.
Tapi lepas
dari itu, yang penting Aku tidak mau jika masa tuaku malah jadi sampai merepotkan
orang lain. Aku tidak mau ada seorang yang waktunya terenggut gara-gara aku
yang bukan tanggung jawabnya. Aku tidak mau ada seorang yang mesti memilihku
atau masa depannya.
.
0 comments:
Posting Komentar