Sabtu, 18 Januari 2025

A Gift from a Writer


Suara dari dalam. Sudah sulit dikenali
Dari warna-warna yang terbit. Berulang kali
Setiap peristiwa hanya seperti laluan
Waktu. Tidak lagi memiliki ruang perenungan

Maka singgahlah. Sesekali
Kembalikan pandanganmu. Dengan jeli

Di mana langkah-langkah. Menoreh jejak sejati
Ketika kesederhanaan yang penuh kekayaan ini
Menjadi bekal. Kemanapun akan pergi
Lalu tersadar dan pulanglah. Kembali

Pada jalan kedamaian. Yang hanya bisa diciptakan sendiri


2025

-

Setahun sudah aku berhenti melukis. Banyak hal terjadi di tahun lalu. Beberapa ada yang menyenangkan.. Ada juga yang tidak. Salah satu tahun yang tersibuk buatku. Tapi kukira dari itu kebanyakan berlaluan pada arah ‘rekonstruksi’. Dari dalam dan dari luar diriku sendiri.

Mengawali dengan sakit diantara batas. Seminggu pada 2024, seminggu pada 2025. Kepalaku seperti diombang-ambing arah, pada tubuhku terdapat banyak tumpukan sampah yang tak bisa dikeluarkan secara alamiah.

Disela-sela masa kifarat itu aku memiliki banyak waktu terbaring yang seharusnya dipakai untuk istirahat. Tapi agak sulit karena kepalaku masih ingin tetap bergiat. Pun saat mencoba terpejam, Ia malah membawaku ke banyak waktu dan tempat. Mencari, menarik hal-hal yang ada dikedalaman kepada jarak yang paling dekat. -Denganku

-

Jauh sebelum istilah Art of Noticing dikenal lewat buku yang ditulis Rob Walker atau lewat konten sosial media hari ini. Aku sudah sejak saat muda melakukannya tanpa tahu apa istilahnya. Aku yang sering ‘menyendiri’, misal dengan sapedahan saat sareupna hanya untuk melihat warna awan, padi yang digoyangkan angin, atau orang-orang yang pulang dari panyawah bekerja. Ini tentang bagaimana kita memperhatikan dunia di sekitar kita, semua interaksi, dan bagaimana kita membangun makna dari hal-hal yang kita perhatikan itu.

 

Suatu pagi, aku duduk di kursi saung. Meraba-raba kepalaku yang berminggu masih terantuk. Melihat seorang tua menyusur pematang sawah mencari Keong-keong. Dibawah langit mendung memakai baju merah. Yang kutahu Keong-keong biasanya jadi hama padi yang sudah tidak asing bagi petani atau digunakan untuk orang-orang yang memelihara ternak sebagai pakan.

Tiba-tiba Keong menarik perhatianku. Aku membawa buku sketsa-ku dari kamar ke saung luar. Sampai setengah hari aku membuat tiga gambar. Rupanya aku belum sembuh benar. Tanganku masih gemetar. Aku berhenti sejenak setelah membuatnya dalam gambar kasar dengan watercolor. Yang penting aku sudah berhasil 'menyimpannya di tempat lain', tidak hanya dalam ingatanku saja.

Hari masih berjalan sama. Aku masih kepikiran untuk membuat gambar-gambar lain dengan subyek Keong-keong dalam bentuk dan komposisi yang lain. Tapi aku teringat punya hadiah set-painting dari Wulan Purwanti, teman penulisku di Garut bulan Oktober dua tahun lalu. Ini ceritanya hadiah darinya gara-gara aku membuatkan gambar untuk cover buku kumpulan puisinya. Padahal gambar yang kubuat juga nga jelas sebenarnya. Dan aku cuma minta bukunya saja jika sudah keluar cetak karena ingin membacanya. Dia malah ngasih hadiah besar ini padaku.

Aku bergegas membawa kanvas-kanvas dan cat hadiah ini ke kosan. Aku berniat 'memindahkan' gambar dari buku sketsaku ke bentuk lukisan kanvas dengan cat akrilik.

Membuat rancangan sketsa pensil untuk kupindahkan pada kanvas yang berbeda ukuran.

Sayangnya tidak banyak pilihan warna yang kupunya karena memang sudah lama tidak melukis dan 'belanja'. Tapi untungnya diantara cat hadiah dari Wulan ini terdapat warna Yellow Ochre dan Vandyke Brown yang kiranya masih bisa 'masuk' untuk mewakilkan warna objek Keong yang kukerjakan. Sebetulnya jika kubawa pada gaya abstrak atau ekspresionis yang biasa kukerjakan persoalan tentang warna ini sudah selesai, atau kubawa pada gaya fauvisme yang tidak terikat aturan warna. Tapi entahlah, aku masih naif untuk tetap menggambarkannya dengan warna yang 'cukup dekat' dengan aslinya.

-

Keong-keong itu

Ditengah kehidupan manusia yang hari ini jadi terburu-buru, Keong masih bergerak dengan lambat tapi memiliki arah untuk ia tuju. Kita yang meringkas semua hal dengan teknologi tidak lagi memiliki kesempatan dan kesadaran memaknai waktu. Kita mudah sekali bosan dan tidak sabaran, kehilangan keindahan dari menunggu (tapi bukan menunggu antrean rumah sakit dengan layanan BPJS, ya).

 Kita jadi mudah lelah, cahaya yang benam kini bukan lagi pertanda istirah.

Tentang langkah. Kita bisa saja cepat dengan melompat-lompat, memperpendek jarak mendarat. Tapi tergesa-gesa kadang membawa kita salah tempat. Yang harus lebih kita perhatikan adalah jejak-jejak yang sudah kita buat.

: Tentang apakah hal yang telah kita lakukan, kita tinggalkan.

 

Keong yang selalu membawa cangkangnya-rumahnya. Ia selalu membawa hal yang ‘dimilikinya’. Kekayaan manusia bagiku sejatinya adalah kejujuran, kebermanfaatan dan sikap penerimaan. Dari apa yang kita miliki, sedikit atau banyak, itu bukan hal yang jadi masalah, tapi ini tentang nilai moral yang memiliki arti tersendiri..

 

Secara bentuk, pola spiral pada cangkang Keong juga melambangkan awal keberadaan-penciptaan-kreasionisme. Orang-orang seni rupa yang bersinggungan dengan ilmu kosmologi dan kosmogoni barangkali sudah tidak asing dengan bentuk spiral ini.

Kreasionisme sendiri juga bagian besar untuk agama-agama samawi seperti Islam dan Kristen. Orang-orang muslim dan Kristiani meyakini bahwa penciptaan terjadi secara harafiah seperti yang digambarkan Al-Quran dan Kitab Kejadian (Genesis) dalam Alkitab.

Semisal dalam ayat Al-Quran surat Az-Dzariyat ayat 47 :

وَالسَّمَاۤءَ بَنَيْنٰهَا بِاَيْىدٍ وَّاِنَّا لَمُوْسِعُوْنَ

"Dan langit Kami bangun dengan kekuasaan (Kami), dan Kami benar-benar meluaskannya."

Atau dalam ayat pertama dalam Kitab Kejadian dalam Alkitab :

"Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi."

Kedua ayat tersebut sama-sama meyakini bahwa Allah ada sebagai pencipta -Al-Khaliq.

-

 

Keong yang sebagai hama juga seringkali dipandang remeh dan hal tidak seberapa. Hari ini orang-orang marak mengejar-ngejar eksistensi. Berlomba untuk supaya bisa banyak dikenali. Menghalalkan segala cara bahkan sampai ‘mejual diri’. Secara persona ataupun secara ‘nyata’.

 -

Banyak orang kadang berujar bahwa mereka tidak ingin berkelebihan-tidak ingin berkekurangan. Ini tentu perkataan-pernyataan yang sangat bijaksana. Tapi tidak semua tahu tentang batas diri masing-masing tentang ketidak-inginan itu. Maka bergerak lambat juga tidak apa-apa, sangat tidak apa-apa. Kukira yang pertama harus dilakukan tentang itu adalah mengenali diri sendiri lebih dulu. Kita semua hampir setiap hari bercermin saat memulai hari-hari. Tapi disadari atau tidak, kita lebih banyak memperhatikan diri kita dalam persoalan cerminan secara fisik-luar kita. Tidak secara utuh, barangkali kita jarang sekali bahkan mungkin kita tidak pernah bercermin tentang pikiran-cara berpikir kita, tidak pernah bercermin tentang hati-perasaan kita.

 


The Snails.
Acrylic on Canvas, 2025.

Tentang perjalanan-menjalani, tidak semua harus terikat pada satu arah. Terkadang kita perlu banyak singgah, di waktu dan tempat yang berbeda. Yang terpenting, jika kita merasa belum ‘selesai’ maka janganlah dulu untuk berhenti melangkah.

Bawa semua ‘kekayaan diri’ dengan jujur. Sesuatu yang benar-benar kita ‘ketahui’ tidak akan pernah memberatkan kemanapun kita akan menambatkan diri.

-

Terimakasih Wulan, aku senang dapat melukis lagi !




















0 comments:

Posting Komentar