Kamis, 21 Agustus 2025

Three Days for Three Years


Kepada Para Pembaca

Waktu selalu ramah menawarkan perjalanan
Sejak fajar terbit sampai langit berganti warna
Bagi mereka yang bertahan dari hujan dan terik matahari
Mencari peristiwa dan menuliskannya dengan jalan sunyi

Kehidupan penuh cerita yang tak terhingga
Hari-hari tak akan pernah kehilangan berita
Dari teduh desa sampai riuh kota
Dari keluasan laut sampai puncak pegunungan

Nama-nama ditelusuri
Mata selalu mengawasi
Telinga mendengar jiwa-jiwa
Tentang arah gelap dan binar cahaya

Hati adalah jendela lain yang akan terbuka
Ketika segala kejujuran diucapkan
Haru bagi mereka yang menuliskan
Suara bahagia insan-insan

Mereka yang tak pernah lelah berlarian
Tangguh menjujung tinggi merdu keadilan
Menebarkan kebenaran kepada dunia
Bergerak dengan kekuatan tulus kata-kata 

2023


Aku mengawali tulisan kali ini dengan puisi yang kubuat di tahun 2023. Saat itu aku membuatnya untuk memenuhi permintaan acara ulang tahun surat kabar harian Garut dan menghormati Desy Silvia yang wafat di tahun itu yang juga seorang penulis.

Rabu, 13 Agustus 2025. Meski sudah kujadwalkan dua minggu sebelumnya, perjalanan kali ini agak nekat buatku sebenarnya hehe. Pertama, meninggalkan dulu si Ibu yang baru pulang dirawat di rumah sakit (kalau yang ini tidak ada dalam jadwal haha), lalu kedua, oh tentu sumber dayaku yang terbatas itu haha. Padahal aku akan ke Yogya bulan depan, tapi yah.. Itu untuk kegiatan, jadi kukira cuma ini waktunya aku agak bebas keliaran.


Jadi aku ke Yogya untuk menemui Cici, kakakku yang paling tuir, yang lumayan lama tidak ketemu. Padahal anak-anak di sanggar sedang menggarap pertunjukkan angklung, jadi, menitipkan tentang ini ke Ijal dan Wawan. Semenjak ngada Pa Asep repot juga ternyata hehe


Aku mengambil transportasi bis karena kereta agak mahal mengingat ada long-weekend. Dan perjalanan ongkos perjalanan Yogya sekarang Rp. 170.000,- ternyata.


Diantar Ijal ke pool Budiman. Ceritanya mengambil jadwal bus yang pagi. Terakhir dulu ke Yogya ada pemberangkatan pukul 07.00 dan 08.00 pagi pagi. Ternyata terlambat dan tidak ada pemberangkatan puul 08.00, dan cuma ada lagi pukul 10.00, itupun bis transit dari Bandung yang menuju ke Yogya. Tak punya pilihan lain, daripada mesti menunggu yang pukul 5.00 sore, jadinya aku menunggu dua jam di pool Budiman.


Perjalanan Tasik-Yogya dengan bus idealnya menghabiskan 8 jam. Tapi yah.. Namanya bus, aku sampai hampir 9 jam di bus untuk sampai. Berangkat pukul 10.00 sampai Yogya sekitar pukul 06.30 sore. Oh ya, kami penumpang juga dapat makan sekali saat istirahat.


Setelah tiga tahun, ketemu lagi akhirnya. Cici ku ini memang kerja di luar negeri dan paling susah pulang, padahal kalau dia pulang ini bisa dua sampai tiga bulan. Mesti aku yang ngejar, kalau tidak ke Yogya, Bandung, Semarang, atau tidak ke Bali, karena adik tegesnya si Putri tinggalnya di Semarang.


Karena kami sama-sama belum makan, kami makan malam dulu di daerah Prawirotaman, dulu sebenarnya Cici ku tinggal di daerah sini. Kami pergi ke Rooftop Pasar Prawirotaman, ini seperti toserba lah, gedung berlantai-lantai, dan paling atasnya ada foodcourt, kafe dan workspace, kami makan di lantai tiga dengan lanskap Yogya.


Pulang bukannya dibawa ke rumah, malah suruh temeni dulu latihan koor lingkungan komuni gereja nya, ampun memang haha. Cici ku kebagian tugas buat nyanyi di Gereja-nya untuk misa pagi dan do'a kebangsaan untuk tanggal 17 Agustus. 


Meski sudah pindah ke Sleman, Cici ku masih 'aktif' sebagai jemaat di lingkungan Komuni Gereja nya di Prawirotaman. Jadi dia sering bulak-balik ke Sleman-Kota Yogya.


Lagu yang dibawakan ada sekitar 7 lagu. Semuanya dengan basa Jawa alus, cuma satu yang pakai bahasa latin yang judulnya Credo III, lagunya enak, tapi hese maca na hehe.


Ini kalau di lembur ya semacam latihan nadoman pengajian orang tua. Tapi di sini vibes-nya lebih khusyuk, tara ngarobrol siga di pangajian urang hehe. Yah.. Aku sih sambil duduk istirahat saja, ada banyak makanan kecil juga soalnya hehe. Selain itu lagu yang Credo III aku sering dengarkan, jadi ngahariring sedikit-sedikit.


Ohhh.. Belum selesai. Pulang latihan Koor, kami ke bengkel dulu, dan di Yogya masih ada bengkel yang buka sampai tengah malam. Motor harus dicek karena kami akan pergi agak jauh besok. Sampai ganti ban, ganti kanvas rem segala ini malah haha. Pukul 11 malam, barulah kami pulang sampai rumah, mandi langsung tidur.


Kamis, 14 Agustus 2025. Pagi pertamaku di Yogya setelah agak lama. Aku tidak tau Yogya seperti yang diceritakan Diwan, Cep Thoriq atau Hagie yang pernah kuliah dan tinggal di sini. Atau tentang Yogya zaman dulu yang sering diceritakan Uwa yang menghabiskan masa muda nya di sini. Aku paling setaun sekali buat ngunjungi Cici ku, itupun kalau dia lagi pulang ke Indo. Dan kalau aku keliaran yaa pasti diantar-antar, atau jalan kaki sendirian nga jauh cuma nyusur sekitar.

Pulang ke rumah yang lain lagi,
Dua tahun lalu masih ke rumah yang di Prawirotaman. Di sana memang menawarkan kemudahan buat dapat kebutuhan harian. Tapi rame nya ampun, memang daerah wisata strategis sih. Asiknya yang lain adalah banyak turis asing, kafe pinggiran jalan, dulu sering dapat pertemuan yang ngaperlu saling memperkenalkan diri, obrolan hanya tentang hari ini saja lalu saling melupakan, aw hehe.

Sekarang pindah ke daerah Cebongan di Sleman. Lebih adem, nga berisik, jarang kelewatan orang, tapi kebutuhan mesti cari keluar jalan besyaar hueee. Tapi lumayanla cocok buat tipikal sipencinta kedamaian ini.


Sekitar pukul 10.00 pagi kami bergerak menuju tempat yang sudah direncanakan. Cuaca cerah, jadinya aku tidak pakai jaket,


Ullen Sentalu. Aku yang rewel sih minta diajak ke sini. Habisnya pernah dikirimi fotonya sama Cici ku dan tempatnya keliatannya enak. Dari rumah di Cebongan-Sleman ke Ullen Sentalu - Kaliurang ini perlu sekitar 50 menit dengan motor lewat jalan Turi. Jalannya nanjak landai terus, lanskapnya mirip-mirip Dago pakar kalau di Bandung, lalu daerah ini memang berudara lebih sejuk daripada kota Yogya, masih banyak pepohonan besar juga, Aku malah mendapati Yogya dengan udara Tasik. Salah, tidak bawa jaket haha.


Nama Ullen Sentalu ini merupakan akronim dari bahasa Jawa: “ULating bLENcong SEjatiNe TAtaraning LUmaku” yang artinya adalah “Nyala lampu blencong sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam melangkah dan meniti kehidupan”. Falsafah ini diambil dari sebuah lampu minyak yang dipergunakan dalam pertunjukkan wayang kulit (blencong) yang merupakan cahaya yang selalu bergerak untuk mengarahkan dan menerangi perjalanan hidup kita. Museum ini didirikan oleh salah seorang bangsawan Yogyakarta yang dikenal sangat dekat dengan keluarga keraton Surakarta dan Yogyakarta.


Museum ini terletak di Jl. Boyong - Kaliurang KM. 25, Harjobinangun, Kaliurang Barat. Sejak zaman pendudukan Belanda, kawasan ini dulunya digunakan sebagai tempat liburan bagi orang Belanda dan bangsawan Kerajaan Mataram. Ketika mereka mengunjungi Kaliurang, orang Belanda akan mengatakan "naar boven" atau naik ke atas gunung karena lokasi Kaliurang yang berada di kaki Gunung Merapi.


Di Museum Ullen Sentalu, kita bisa jadi tahu bagaimana para leluhur Jawa membuat batik yang memiliki arti dan makna yang mendalam di dalam setiap coraknya. Ada juga berbagai sejarah mengenai keadaan budaya Jawa dari masa Mataram Kuno hingga Mataram Islam dengan segala aturannya.


Ketika datang ke museum, kita para pengunjung akan ditawari dipandu oleh staf pramuwisata dari museum. Ada tiga jenis tur yang bisa diikuti oleh pengunjung, yaitu Adiluhung Mataram, Skriptorium dan Vorstenlanden. Kita bisa ngambil salah satu atau ketiganya, dengan atau tanpa pemandu wisata. Harganya lumayan sih hehe, bahkan buat tur Vorstelanden dikenakan tarif Rp. 100.000,-, tapi worth-lah apalagi buat yang senang dengan hal-hal yang berhubungan dengan sejarah.


Tur Adiluhung Mataram memamerkan koleksi lukisan, foto, syair dan batik di masa kerajaan Mataram. Tur ini juga mengenalkan tokoh-tokoh bangsawan Jawa di masa tersebut. Tur Skriptorium berisi presentasi hasil kajian tim riset Museum Ullen Sentalu yang menarasikan linimasa sejarah, peradaban, dan budaya Mataram Kuno atau Medang dari Dinasti Sailendra. Vorstenlanden adalah sebutan pemerintah kolonial Belanda bagi Kerajaan Mataram. Pada tur ini diceritakan kisah pemerintahan Kerajaan Mataram di masa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta beserta pemerintahan Pakualaman dan Mangkunegaran.


Area seluas 1,2 hektar yang dikembangkan secara bertahap ini bernama nDalem Kaswargan atau Rumah Surga, dimana Museum Ullen Sentalu berada. Jalan masuk menuju ruang pamer museum maupun artshop dan restoran, tempatnya luas, berkelok, undakan, serta labirin akan memberikan nuansa nostalgia, perenungan dan keindahan. Beberapa bagian bangunan dan unsur yang nambah suasana 'dulu', seperti gapura, dinding tembok, taman, kolam, katanya untuk mencerminkan keagungan budaya leluhur yang sudah ada sejak masa silam.



Di sini banyak juga patung-patung seni yang termasuk dalam bagian dekor skala besar pengembangan Ullen Sentalu.


Nah, di Ullen Sentalu ini juga kadang diadakan pertunjukkan seni. Aku sama Cici ku tidak mengecek apapun di sosial media tentang tempat ini, kami kunjung karena cuma kunjung, dan ternyata hari ini ada pertunjukkan konser piano, jadilah kami nonton. Menikmati musik begini, di tempat begini, oooh berbeda sekali suasananya.


Mencari suasana merdeka di negeri yang belum merdeka, yang selalu menawarkan kabar buruk setiap hari lewat berita. Hoaaaahh

Konserto Pianoo Gunung ini berjudul Beyond The Gate oleh Henk Mak van Dijk (Piano) yang menampilkan Asriuni Pradipta sebagai soprano dan Eko Balung pada Biola. Dari sekian banyak musik yang ditampilkan, yang mengejutkan adalah salah satunya dinyanyikan dengan lirik Sunda! Meskipun aku masih bisa merasakan aksen Jawa-Bali-nya~ haha, tapi tetap saja menenangkan! Sedikit cita rasa kampung halaman hehe.


Pintu toilet. Mirip-mirip pintu Hogwarts di film Harry Potter, bentuknya masih asli, desain dan material kayu jaman dulu memang bagus-bagus ya..


Lalu, iyak, kami kelaparan karena kami berangkat tidak sarapan hehe, kami memang tipikal orang yang jarang sarapan 'besar', pagi cuma ngopi makan makanan kecil seperti roti atau buah-buahan saja. Di Ullen Sentalu ini juga ada restorannya, namanya restoran Beukenhof. Kami yang udah kelewat lapar, malesi nyari-nyari tempat makan lagi (karena memang agak jauh kemana-mana), jadilah kami makan di sini.


Restoran ini merupakan bagian integral dari kawasan Museum Ullen Sentalu. Dengan konsep heritage Belanda yang kental, Beukenhof menawarkan pengalaman kuliner yang unik dan fancy (yang jelas bukan tempat makan daily buat macem sepertiku haha)


Dari namanya saja Beukenhof, restoran ini menawarkan nuansa klasik yang kental wajah-wajah Eropa. Furnitur, perabotan, sampai lantai dan warna interiornya, di sini sekilas kita nga merasa ini sedang ada di Indonesia.


Kadang, kalau makan 'begini' aku malah jadi nga enak karena ingat orang-orang rumah. Iya lah.. Di lembur mah makan tara aneh-aneh. Kadang kalau kemahalan, bisa dipikir lama-lama. Daripada dipakai makan, 'sumber daya' yang ada bisa dipakai untuk hal yang lain yang lebih penting hehe.

Seperti kata adikku, "Being a good poor means feel guilty for all glamourity, even if we deserve, it's always feels wrong". Tumbuh sebagai miskin 'yang baik' membuat kita merasa bersalah tentang segala kemewahan, bahkan ketika kita pantas atau mendapat kesempatan untuk itu, kita selalu merasa hal ini adalah sesuatu yang salah. 


Oh iya, di restoran ini tidak ada makanan Indonesia, semua di menu adalah makanan Eropa khususnya Belanda. Makanan-makanan asing buatku yang orang kampung, paling aman yaa aku memilih olahan daging sapi yang susah disebut namanya haha.

Sekali makan di sini, adalah gaji sebulanku 'di tempat sana' haha. Aku bilangin ini ke Cici ku, dia bilang ngapapa. "Sekali-kali, lagi pula tidak sering kita bisa jalan-jalan begini. Kamu juga paling cuma setaun sekali ke Yogya. Makan aja mumpung ada, dan teteh lagi punya,"


Dikelilingi oleh bangunan-bangunan peninggalan Belanda yang dirancang dengan indah, suasana di sekitar restoran ini membuat kita berada di waktu yang lain. Karena ya cuma ada suara alam, hening sekali.


Banyak kesamaanku dengannya, makanya kalau ngobrol bisa berlama-lama. Tapi yang jelas kita sama-sama seorang wanderer. Ciciku ini sudah 'berkeliaran' sejak dia selesai SMA, seorang perempuan, kemana-mana sendirian, itu membuatnya menjadi seorang yang kuat dan 'bebas'. Lalu dia menyukai hal-hal seperti kesenian, bahasa, filsafat, dan kukira dia juga seorang spiritualis (tapi tidak aneh-aneh seperti orang yang mengaku spiritualis yang kutemukan di Tasik). Cici ku lebih menggunakannya untuknya sendiri saja.


Dan iya kami berbeda agama. Keluarga di sana semua katolik lekoh dan aku muslim, tapi sampai sekarang kami nga pernah dapat masalah apapun soal itu. Malah senang sering saling nanyai bagaimana dia 'di sana', dan aku 'di sini'. Aku nganteri dia gerejaan, atau kadang dia nunggui aku shalat di mesjid kalau lagi perjalanan.


Kalau melihat aku menggunakan benda-benda 'non-muslim', khususnya Katolik, itu semua adalah pemberiannya dan dari mamih (ibunya Cici), termasuk nama tengah Antonius itu, katanya kalau di Katolik itu artinya 'tak ternilai', 'berharga'. Agak muluk sebenarnya kalau buat orang dengan personality sepertiku sebenarnya.. Aku belum bisa kenal dengan diriku sendiri dengan baik, tentang apakah value yang kumiliki sampai pada makna itu, hehe.. Yah.. Sembari aku mencari, biarkan orang lain saja yang menilainya.


Hidup penuh sasangkaan

Ini sangat sering terjadi. Tentang yang kulakukan, aku kerap dikatakan settle oleh banyak orang. Perkiraan sebab yang paling kentara adalah mungkin gara-gara citra dari sosial media. Padahal updatetanku memang hanya untuk membagikan cerita tentang hal yang menurutku menarik untuk diceritakan, aku jarang juga update yang ngeplos tanpa cerita personal, kalau udah update, berarti itu memang hal yang menurutku menarik dan berharga. Tidak soal materialnya, tapi juga tentang pemaknaannya.

Orang-orang melihatku sering dan dapat bebas 'berkeliaran', padahal dibelakang itu aku harus menyiapkan 'kepergianku' selama tidak ada, menitip-nitipkan banyak hal, mberesi kerjaan, memastikan keadaan dan orang rumah 'aman', dan banyak lagi. Lalu bagaimana dengan travel cost-nya ?, Haha sama juga, kalau saja dipikir dengan jeli dan harus kukatakan, kerjaanku yang matuh juga ya cuma 'itu' saja, moal kaudag, bebeunanganku buat biaya sehari-hari aja sudah pabetot-betot hehe.

Tapi memang Tuhan selalu memberikan jalan. Aya we carana mah. Ini sering kuceritakan, bahwa sebagian besar dari itu adalah murni keberuntungan dalam waktu yang tepat atau kuakali untuk 'ditepatkan'. Lalu aku sok dikersakeun ketemu orang-orang baik, amat sangat baik yang memberi kemudahan untuk apapun yang kulakukan (tapi yang jahat dan memanfaatkan juga banyak sih haha). Aku sering dikira tidak pernah tidak punya uang, padahal perut kekerebekan dan hari esok adalah sesuatu yang selalu menjadi pertanyaan haha..

Dan aku sangat-sangat bersyukur untuk ini.. Bahwa aku masih diberi banyak kesempatan untuk 'merasa hidup' dalam kehidupan.


Seperti juga perjalanan kali ini. Ini rizki yang dikasih lewat Cici ku, hehe. Cici juga punya mata yang bagus, tau bagaimana teknik ngambil foto dengan angle yang bagus dan sadar dengan objek-objek dan peristiwa yang menurutnya dapat dijadikan cerita lewat citra foto. Yah dulu saat kuliah di Bandung dia juga sempat jadi model sh, lagi geulis-geulisna eta mah cenah xixi.


Okee kita kembali ke cerita, di jalanan Kaliurang ini memang terdapat banyak bangunan dan villa milik orang Belanda dan bangsawan Jawa dengan arsitektur bergaya Eropa. Bangunan-bangunan tersebut masih bisa ditemui hingga sekarang meskipun wisata Kaliurang sudah tidak seramai dulu.


Pulang dari Ullen Sentalu kami nyari tempat ngopi, mumpung di sekitaran sini. Lalu ketemulah Gubuk Cokelat Merapi, kedai yang menu utamanya adalah olahan cokelat yang ditanam sendiri di sekitaran kedai. Cuma sekitaran 3 Km turun dari Ullen Sentalu, disini lebih home view, karena berada di jalanan perkampungan. Tapi isinya turis semua haha. Barenganku juga serombongan keluarga Perancis yang lagi liburan, jadi masih ngada bahasa Indonesia di sini haha.


Dan ownernya sangat ramah, -wajah orang Yogya yang dikatakan banyak orang. Ciciku tanya-tanya sedikit tentang daerah sini, dia berencana untuk pindah rumah lagi tapi entah kapan. Cici memang tinggal dan kerja di Singapore sejak lama, dan katanya suatu saat mau pulang. Kalau tidak Yogya ya Semarang, atau Bali. Jadi dia nanya-nanya daerah sini pada owner kedai ini.

Lalu yang menarik ini mereka ngobroli daerah-daerah yang baiknya dihindari sebagai non-muslim, karena ada juga beberapa daerah di Yogya yang mayoritas ditinggali orang muslim yang 'rada tarik' dan tidak ramah orang beragama berbeda. Saat aku dikenalkan Ciciku pada ownernya bahwa aku adiknya beragama Islam owner kedai itu minta maaf dulu padaku. "Maaf ya Dhek, bukannya saya ngomongi Islam yang tidak baik, tapi ternyata orang-orang di agama sampeyan yang di sini memang ada yang 'agak keras' pada kami, dan mungkin di kami juga ada sih ya.." , hehe.. Duh aku jadi malu sebagai muslim, dan karena ya memang ada dan aku sering juga melihatnya.


Setelahnya dari kedai kami pulang, turun ke daerah kota Yogya, sekitar 30-40 menitan lah. Kota Yogya memang selalu ramai, kami lewat Malioboro, tempat yang selalu kami hindari karena yaa memang terlalu ramai hehe. Kami lebih senang nongkrong di daerah pinggiran yang agak sepi.


Kamis, 14 Agustus 2025. Pagi keduaku di sini. Kami sama-sama bangung kesiangan, kemarin jalan seharian sih sedari pagi sampai hampir tengah malam. Kesamaanku dengannya yang lain adalah sama-sama juga suka tumbuhan dan bunga-bunga. Ciciku sudah ngoprek dan nyiram tanaman-tanaman di pekarangan pagi-pagi. Kebanyakan sih tanaman obat dan dapur hidup yang punya daya tahan kuat. Yah.. Karena rumah sering ditinggal, jadinya pelihara jenis tanaman yang begitu.


Aku ? Ngopi ajaa hehe. Kali ini ditemani kue beras yang dibawa Cici dari China. Aku duduk di kursi, cici ku masih wara-wiri di pekarangan. Kami sambil ngobrol ringan saja, kabar keluarga tasik, kabar keluarga di semarang, tentang orang-orang yang datang dan pergi di dalam hidup kita masing-masing selama tidak ketemu.


Nah hal baik lain dari keluarga sini adalah mereka suka membaca juga dan macam-macam varian bacaannya. Hehe, syudah biasya aku suka 'ngerampok' koleksi buku-buku di sini kalau hendak pulang, 


Ciciku punya adik seumuran denganku, tapi dia tinggal di Semarang. Aku membawa dua bukunya. Karena dia sudah selesai kuliah duluan dan aku baru setaun mulai kuliah lagi, jadi aku perlu yang Oxford dict, dalemnya masih ok kok, meski covernya sudah amburadul haha.

Lalu buku yang Pramoedya, aku nga punya yang ini, dan biar ada bacaeun di perjalanan pulang lagi ke Tasek 😂. Cici bilang ini dikasih Samuel yang mau menikahi si Putri bulan Oktober mendatang, biar aja banti aku baru izin dia pas di nikahannya aja xixixi, tenkyooh Puttt 😂


Hari ini kami memang tidak berencana kemana-mana. Maunya di rumah aja seharian, kulaha-kulehe rebahan sambil ngobrol dan ngemil. Sampai setelah asharan Cici ngajakin jalan keluar. Aku sih iya iya aja, lalu dipilihlah Plaza Ambarukmo, yah ini semacam Mall. Aku dan Ciciku tidak begitu suka ke tempat begini, tapi yah.. Sekalian ada yang mesti dibeli sih. Plaza ini masih di daerah Sleman, tapi kabeulah kota na keun.


Dan aku tidak menyangka di sini bisa ketemu Mbak Lies lagi setelah 16 tahun ! Dulu Mbak Lies aktif di teater Amarta-Yogya, itu sekitar saat aku usia SMP. Sekarang Mbak Lies lebih fokus pada buku pop-up cerita dan pendidikan untuk anak-anak. Mbak Lies memang seorang pendongeng yang handal sejak dulu, dan memang masih seorang pendongeng sampai sekarang !


Aku dan Mbak Lies jadi duduk dan ngobrol sedikit, tentang masing-masing kabar. Dan jadi keinget kejadian waktu bertahun lalu, pernah sekali selesai pementasan kami kegirangan gembira kerana pertunjukkan lancar. Mbak Lies beli makan buat syukuran, dibelilah sate di jalan parangtritis, dan ternyata itu olahan sate kambing dengan bumbu khas jawa tengah yang agak medok. Aku yang punya hipertensi sejak kechuil jadinya kelayangan seberesnya, orang-orang yang niat makan syukuran malah jadi kacau gara-gara ngurusi aku yang ta berdaya haha.

Mbak Lies : "Kamu masih suka kambuh begitu ?"
Aku : "Iyesss, turunan Mbaak.."
Mbak Lies : "Oohh.. Hipertensi aja ?"
Aku : "Dua sih penyakitnya mbak, hipertensi sama sulit memaafkan. 😂"
Mbak Lies : "Ah sampeeyaaaan yaaak dasaaar"

Kami jadi tawa lagi haha


Setelah dari Ambarrukmo kami nyari makan malam. Nyari tempat muter-muter jalanan kota, lewat UGM-UNY, keraton, akhirnya malah makan nasi uduk lamongan di jalan deket rumah.


Malam ini kami pulang lebih awal. Pukul 21.00 (dua malam kemarin kami selalu pulang hampir tiap tengah malam). Kata Cici biar bisa siap-siap, packing, biar besok pagi teu riweuh. Aku pulang juga jadi bawa tas besar karena Cici nitipi banyak barang buat si Dede, iyan dan Ibu.


Berangkat 8.45 pagi dari Sleman, melewati salah satu tugu Yogya. Setiap kota memang menawarkan cerita, selain Bandung, Yogya buatku adalah salah satu yang berbeda. Aku lebih menikmati perjalanan sendirian (daripada dengan seseorang yang tidak tepat aw haha), menjadi orang asing berkeliaran, tiba-tiba dapat sapaan, peristiwa, mendapati pertemuan dan penemuan yang bisa dijadikan 'bahan'.


Sampai di stasiun lempuyangan sepuluh menit sebelum kereta datang. Yogya punya beberapa stasiun kereta api, kiranya ada enam, Stasiun Yogyakarta atau yang biasa disebut stasiun Tugu yang menjadi stasiun utama, lalu Stasiun Lempuyangan, Stasiun Maguwo, Stasiun Brambanan, Stasiun Wates, dan Stasiun Sentolo. Orang-orang ke yogya dari daerah jawa barat paling banter memakai stasiun Tugu dan Lempuyangan.


Menyadari bahwa hidup harus dapat melihat luas. Ada banyak hal yang masih tidak kuketahui, menemukannya satu persatu menarik juga, dan salah satu caranya adalah dengan melakukan perjalanan 'ke luar' dan juga 'ke dalam'. Dengan keadaanku, aku belum bisa sering jalan-jalan begini. Tapi gara-gara itu juga aku punya waktu jeda setiap pulang untuk kontemplasi, karena kalau terlalu rapat intensitasnya juga repot. Seperti saat program Safari Sastra yang bisa pindah kota dalam satu hari saja, asa kabeberedeg hehe. Aku juga tidak mau perjalanan yang sekedar 'main-main' saja.

Di sana-di sini nga jadi bungsu, tapi tetep sipaling bungsu.

Sebenernya, Aku cukup gesit kalau aktivitas 'di luar' buat kegiatan orang lain, seperti mempersiapkan banyak hal yang praktikal, dan yahh 80% seringkali lancar (kecuali soal uang yak haha, sumber daya ku soal ini memang terbatas, apalagi kalau cuma ngandeli kerjaan 'yang onoh', yahh dicukup-cukupin aja).

Tapi, kalau di rumah, aku inilah yang paling kikuk, lupaan dan talangké meski sudah seusia ini haha. Makanya kalau pergian orang rumah selalu rewel. Soal tiket lah, makan, bawaan lah, apapun pokoknya. Perjalanan pulang ke Tasik yang kira-kira 5 jam itu, denganku yang nga begitu atensi soal makan, perut berisik banget haha. Dan aku ingat sedari pagi aku cuma masukin baju kotor, buku, alat tulis dan gambar ke tas, kupikir ah sudahlah. Tapi penasaran aja buka tas, dan uhuhuyy jrengggg ada bekel yang aku nga tau sejak kapan ada di dalam 🤩. Dan ya siapalagi kalau bukan Ciciku yang memasukkannya ke tasku, oke Perut amanlaaa mwehehe.

Perjalanan pertama sejak keadaan keuangan berubah cukup drastis semester ini hehe. Yah.. Aku sampai kembali Tasik sore hari.. Memang selalu ada yang bisa pulang. Beberapa hal yang kutemukan, kembali, dan baru kudapatkan. Yogya buatku sudah seperti pulang saja. Meski aku bukan siapa-siapa. 

-

اَفَلَمۡ يَسِيۡرُوۡا فِى الۡاَرۡضِ فَتَكُوۡنَ لَهُمۡ قُلُوۡبٌ يَّعۡقِلُوۡنَ بِهَاۤ اَوۡ اٰذَانٌ يَّسۡمَعُوۡنَ بِهَا​ ۚ فَاِنَّهَا لَا تَعۡمَى الۡاَبۡصَارُ وَلٰـكِنۡ تَعۡمَى الۡـقُلُوۡبُ الَّتِىۡ فِى الصُّدُوۡرِ‏

So have they not traveled through the earth and have hearts by which to reason and ears by which to hear? For indeed, it is not eyes that are blinded, but blinded are the hearts which are within the breasts.

-Al-Hajj ; 46


0 comments:

Posting Komentar