Excerpt from the other sight Time has wonderful way of showing us what really matters

Selasa, 28 Januari 2025

Lagu yang Membuatku Berkelana

 

Sebelum debu menggugurkan sunyi di Jalan

-

Berminggu ini, Bapa (begitulah aku memanggil almarhum Yudhistira ANM Massardi) berlaluan dalam ingatanku. Dan itu entah mengapa.. Aku tidak akan menapik bahwa saat ini aku sedang dalam waktu yang memang kurang menyenangkan, tapi kukira alasannya tidak senaif itu. Terhitung dua kali aku juga memimpikan Bapa, aku semakin aneh. Foto Bapa yang ada di meja kamar kosanku kupandangi setiap kali diserang perasaan ‘ingat’ itu. Tentu sembari langsung kudoakan merdu.

Membuka kembali tulisan-tulisan lamaku, membaca buku-buku Bapa, mendengar gubahan laguku dari puisi Bapa, aku semakin larut. Mungkin perasaan seperti ini bisa dikatakan juga sebagai kerinduan..

Berangkat kerja, di tempat kerja, lagu-lagu yang kuputar untuk membersamai gerak-gerik kegiatanku minggu-minggu ini adalah lagu-lagu yang kubuat dari puisi Bapa. Disela-sela suara lagu yang kudengar itu membawaku pada banyak hal. Langkah-langkah yang dipijak bersama, tempat-tempat yang dikunjungi, makanan yang dimakan bersama, orang-orang yang dikenalkan, obrolan-obrolan selama perjalanan bersama Bapa seringkali menghampiri ingatan.

-

16 Januari 2025. Bu Siska (istrinya Bapa) mengabariku sedang dalam progress mengerjakan acara peringatan setahun wafatnya Bapa. Ibu dan Putera-puteri Bapa sedang menyusun Biografi Yudhistira ANM Massardi yang akan diluncurkan pada acara itu. Jika lancar acaranya akan ada di bulan April depan (mohon doa dari semuanya ya..). Ibu memintaku datang di hari itu.. Aku senang mendapat kabar ini dan tentu mau sekali untuk datang.. Aku juga memang joledar, belum sempat lagi ngalongok Bu Siska dan keluarga sejak pengajian 40 hari wafat Bapa. Dan kukira ini akan jadi waktu yang tepat untuk ‘pulang’ ke sana.


Mengikuti update-an akun sosial media Bu Siska, melihat perjalanan-perjalanan ibu beberapa waktu ini. Ibu ketemu lagi dengan Mba Renny Djajoesman, Mba Wita, nonton konser Barasuara, syukuran studio rekaman music barunya A Iga (putra sulung Bapa), lalu yang paling membuatku senang adalah Ibu punya perjalanan bersama dengan semua putra-putrinya A Iga, Mba Taya dan Mas Kafka.

Menyusun Biografi Bapa, Ibu menghimpun ‘kepingan-kepingan’ cerita masa lalu Bapa di Yogya, Solo dan Semarang. Sebagian tempat yang Bapa sempat tinggali untuk hidup-berkarya. Aku ?, yang disebut sebagai bungsu Bapa oleh Pa Noorca kembarannya Bapa ini semakin diserang perasaan rindu. Begitu senang melihat semua keluarga Bapa bersemangat, tapi aku sedikit malu karena tidak bisa banyak berbuat.

-

Sajak Purnama

Hari-hari berlalu. Dari lima lagu yang kubuat dari puisi Bapa, Sajak Purnama kiranya lebih sering kudengarkan. Apalagi jika malam hari saat hendak mengistirahatkan diri. Lagu ini memang sangat melekat padaku dan sangat ‘berjasa’ membukakan ‘pintu’ yang awalnya tertutup rapat bagiku.


19 Januari 2025. Membuka laptop yang kupinjam dari sepupuku sejak dua tahun lalu (bahkan kupinjam sampai sekarang, jadi aku tidak punya laptop sendiri haha), mencari rekaman guide Sajak Purnama yang direkam tahun 2021. Tapi aku tidak menemukannya, setelah teringat, ternyata aku membuatnya pada laptop temanku yang sekarang sudah dijual. Sayang sekali, jadi bahan-bahan rekamannya hilang semua. Akhirnya aku memutuskan untuk merekam kembali musikalisasi Sajak Purnama ini dari awal lagi.


Dengan keadaan Saung (tempat anak-anak berkumpul) yang sekarang sudah sepi. Memanggil para kurawa yang tersisa, teman-teman yang bisa diajak berproses dengan bahagia bukan dengan sabaraha. Perlu delapan hari untuk selesai perekaman dengan formasi awal Rizal Dzikri sebagai gitaris, Firmansjah pada flute dan aku pada vocal dan strings. Aku berniat menyanyi, karena aku ingin menyampaikan kerinduanku ini untuk Bapa lewat Sajak Purnama-dengan suaraku sendiri.

Sewaktu proses itu kami sering nyelang cerita-cerita tentang Bapa dan perjalan-perjalanan lama, karena Rizal sempat ikut bersafari sastra ke empat bersama Bapa. Kalau Firman memang belum pernah ketemu Bapa, tapi dia sering mendengar cerita tentang Bapa dari kami berdua..

Setelah bentuknya terdengar, ternyata kami merasa ada yang kurang. Jangan ngomongi soal vokal-nya hehe. Karena iya, aku sangat sadar aku bukan seorang penyanyi, mau gimanapun suaraku ini memang pas-pasan sekali. Setelah kami bertiga mengobrol, memang kurang sentuhan timbre suara perempuan.. Tibalah kami pada kebingungan, karena Nida Nadzifa yang biasa bernyanyi di saung saat ini sedang mudik ke Bandung, sedangkan perasaanku sedang menggelora, aku tidak bisa menunggu (dan mumpung libur panjang).

Akhirnya aku teringat pada Cuneng Hujan. Cuneng juga pernah ikut bernyanyi untuk Bapa saat safari sastra Bapa ke Tasik, jadi lagu Sajak Purnama ini juga bukan lagu baru untuknya. Syukurlah Cuneng bersedia, dan diizinkan suaminya. Dengan take vocal Cuneng, kami menyelesaikan perekaman di hari ke sembilan sejak hari pertama dan ternyata lagu ini memang lebih pas dinyanyikan berdua dengan perempuan.

Seperti saat pertama lagu ini didengarkan pada ulang tahun Bapa olehku dan Icha Nuralfi Azizah pada tahun 2021, bersamaan bedah buku puisi Bapa yang berjudul “Jangan Lupa Bercinta”. 

Pada akhir-akhir meremake lagu ini, aku menambah tiga layer pada biola dengan tiga suara. Ini bagian yang paling lama, karena aku juga kurang faham tentang pembagian nada. Aku bermain musik dengan saguluyurnya saja.. Tapi hasilnya lumayan, lagu sajak purnama ini jadi terdengar seperti semi orkestra. 

Aku sangat berterimakasih pada teman-teman yang sudah kenan memberikan bantuan padaku supaya lagu ini bisa terdengar lagi..

-

Tafsir telanjang

Tahun 2021 lalu, saat pertama aku menggubah puisi Sajak Purnama ini agak aneh juga. Karena dari sekian banyak puisi dari buku Kumpulan puisi Bapa itu aku seperti ‘terarahkan’ pada puisi ini. Proses penggubahannya pun mengalir begitu saja, minim kesulitan saat mengerjakannya. Aku membentuknya seperti nyanyian pengantar tidur karena mungkin kedekatanku pada musik-musik keltik. Selain itu, lirik puisi yang tidak perlu ditanyakan lagi kualitasnya ini banyak menggunakan diksi-diksi yang jika sekali-selewat membacanya cenderung akan terarah berkenaan pada suasana-malam-pulang-istirahat. Saat itu Bapa bilang menyukai kecocokannya bentuk lagu ini dengan puisinya. Tapi gara-gara terlena perasaan senang ‘diterima’ ini, aku malah luput tidak menanyakan ‘maksud’ sebenarnya dari puisi itu.

Sejujurnya, pemaknaan dan pemahamanku pribadi dalam perpuisian tidak terlalu bagus. Aku memang bukan pembaca yang baik, aku menyukai sastra hanya sebagai penikmat saja. Berkali-kali kudengarkan lagu ini, yang ‘kuterima’ adalah penggubahan puisi pada lagu dengan gaya pengantar tidur yang dapat didengar dengan sederhana, selesai sampai sana saja (atau juga untuk yang pernah mendengarnya). Sampai setelah bapa Wafat, ada yang lain di telingaku saat kudengarkan lagu ini kembali. Tidak hanya soal suara yang berbicara. Di kedalaman, puisi yang ditulis Bapa ini baru ‘bekerja’ setelah aku punya rasa kehilangan yang berbeda.

Sajak Purnama

Purnama memakai busana malam
Sebelum kau tidurkan cahaya
Langit mendengarkan lenguh angin
Sebelum menyanyikan lagu hujan
Kemarau mengeringkan hijau daun
Sebelum debu menggugurkan sunyi di jalan
 
Aku menanti kabarmu di balik bayang-bayang
Kau bangunkan aku jika besok lupa pulang
 
2020

 

“Purnama memakai busana malam”. Aku lebih merasakan bahwa kata purnama ini adalah persona Bapa sendiri, dengan busana malam sebagai segala hal yang Bapa miliki-sudah Bapa lakukan-sudah Bapa berikan, Bapa sudah bersiap. “Sebelum kau tidurkan cahaya”, sebelum waktu sampai, sebelum Tuhan ‘mengistirahatkan’. Cahaya, bagian dari purnama, segala yang ‘hidup’ dari Purnama itu sendiri.


“Langit mendengarkan lenguh angin”, saat tiba keadaan yang mulai resah-khawatir. Tanda-tanda yang redup itu sudah mulai tampak dari penglihatan kita. Keluasan sudah dipenuhi dengan kata-kata, yang paling baik dari itu adalah terbangan do’a-do’a. “Sebelum menyanyikan lagu hujan”, pada akhirnya kita harus memaknai apapun dengan syukur dan Ikhlas, meski dengan air mata yang turun deras.


“Kemarau mengeringkan hijau daun”, waktu adalah mutlak. Kedatangan dan kepergian yang saling memiliki itu akan terus beranjak. Hijau daun yang memberikan warna ‘sebagian dunia’-kita, suatu saat akan sirna. “Sebelum debu menggugurkan sunyi di jalan”, purnama yang ‘menitipkan’ sesuatu, dan merubah bentuknya menjadi suara yang tidak semua bisa mendengarnya. Keadaan hati kita setelah purnama berpulang dengan Bahagia.


“Aku menanti kabarmu di balik bayang-bayang”, purnama yang selalu menunggu apapun-terlebih kebaikan-kebaikan dari kita-dari ‘sebrang’. “Kau bangunkan aku jika besok lupa pulang”, subyek yang berganti pada kita sebagai pembaca, purnama yang mengingatkan kita bahwa masih ada hal-hal yang bisa kita lakukan..


Sastra, terlebih Puisi memang sangat multi-tafsir. Dan dari yang kutulis di atas sangat memungkinkan untuk tidak tepat, apalagi dengan perangkat interpretasiku yang terbatas. Tapi barangkali dalam keadaanku yang sekarang, Sajak Purnama ini lebih menjadi pengingat-pesan untukku. Jika semisal memang benar Bapa sedikit ‘menyisipkan’ maksud puisinya seperti yang kutulis tadi, betapa Bapa sudah jauh melihat-merasakan ke depan. Kami ? hanya membaca puisinya dengan ringan. Hingga keadaan berbeda, barulah menyadari makna-makna itu bermunculan.

Karena tidak berhubungan dengan nilai akademik dan tidak menghasilkan uang dalam kultur materialisme sekarang, hal-hal yang berasal dari-mengenai perasaan dianggap tidaklah penting bagi kebanyakam. Seni memperhatikan kita sangatlah rendah. Semua orang barangkali memiliki hati, tapi apakah semuanya sudah baik menggunakannya ?

-

Suara bercerita

Musikalisasi puisi ini barangkali tidak asing untuk teman-teman yang pernah bertemu denganku pada Safari Sastra Yudhistira dari yang ke dua sampai ke lima.

Musikalisasi puisi Sajak Purnama ini mempertemukanku dengan Bapa, nama besar yang kukagumi, nama yang kukenali dari buku saat aku seusia belia. Sajak Purnama ini membawaku pada tiga tahun perjalanan yang luar biasa, membawaku penyanyi desa itu sampai berada di panggung besar ibu kota. Sajak yang membuatku semula memanggil Kang Yudhis sampai memanggilnya Bapa.


Pa, ini kerinduanku.

Ini Kado yang lebih awal yang kuberikan sebelum Februari nanti berulang tahun, biasanya kita punya hari bersama kalau Bapa ulang tahun.. Aku minta maaf masih belum bisa membuat Bapa bangga seperti anak-anak Bapa yang lain, aku juga masih sering merepotkan Bu Siska, Paaa hehe. Sekarang aku cuma bisa mendoakan Bapa dari sini.. Semoga Bapa selalu berada di tempat yang paling indah di sisi-Nya.

Ini juga penyemangat buat Bu Siska dan keluarga yang sedang menggarap buku Biografi Bapa. Semoga semua lancar, sehat dan berlimpah rizki..


Buat A Iga, jangan bandingkan sama rekaman hasil di studio barunya Aa pokonya, haha. Ini kubuat di kamar kosan dengan peralatan seadanya. Tapi yang jelas, aku dan anak-anak Bapa di Tasik membuat ini dengan penuh cinta !

Kututup tulisan kali ini dengan puisi yang kubuat untuk Bapa di tahun 2023

 

Tulisan
 
Adalah jalan. Hidupnya
Merubah perumpamaan. Menjadi kenyataan
Seperti mimpiku. Bernyanyi dengan warna-warna
Mengantarkan orang-orang. Pada kebahagiaan
 
Lagu syukurku. Adalah angin yang liris
Tanpa nada tinggi. Telah kutemukan makna
Kekecewaan Yudhistira. Padaku serupa tangis
Kasih sayang. Memupuk pucuk daun-daun muda
 
2023

-

video full bisa ditonton pada link dibawah :

Sajak Purnama - Musikalisasi Puisi Yudhistira ANM Massardi




Kangen pokoknya !


Sabtu, 18 Januari 2025

A Gift from a Writer


Suara dari dalam. Sudah sulit dikenali
Dari warna-warna yang terbit. Berulang kali
Setiap peristiwa hanya seperti laluan
Waktu. Tidak lagi memiliki ruang perenungan

Maka singgahlah. Sesekali
Kembalikan pandanganmu. Dengan jeli

Di mana langkah-langkah. Menoreh jejak sejati
Ketika kesederhanaan yang penuh kekayaan ini
Menjadi bekal. Kemanapun akan pergi
Lalu tersadar dan pulanglah. Kembali

Pada jalan kedamaian. Yang hanya bisa diciptakan sendiri


2025

-

Setahun sudah aku berhenti melukis. Banyak hal terjadi di tahun lalu. Beberapa ada yang menyenangkan.. Ada juga yang tidak. Salah satu tahun yang tersibuk buatku. Tapi kukira dari itu kebanyakan berlaluan pada arah ‘rekonstruksi’. Dari dalam dan dari luar diriku sendiri.

Mengawali dengan sakit diantara batas. Seminggu pada 2024, seminggu pada 2025. Kepalaku seperti diombang-ambing arah, pada tubuhku terdapat banyak tumpukan sampah yang tak bisa dikeluarkan secara alamiah.

Disela-sela masa kifarat itu aku memiliki banyak waktu terbaring yang seharusnya dipakai untuk istirahat. Tapi agak sulit karena kepalaku masih ingin tetap bergiat. Pun saat mencoba terpejam, Ia malah membawaku ke banyak waktu dan tempat. Mencari, menarik hal-hal yang ada dikedalaman kepada jarak yang paling dekat. -Denganku

-

Jauh sebelum istilah Art of Noticing dikenal lewat buku yang ditulis Rob Walker atau lewat konten sosial media hari ini. Aku sudah sejak saat muda melakukannya tanpa tahu apa istilahnya. Aku yang sering ‘menyendiri’, misal dengan sapedahan saat sareupna hanya untuk melihat warna awan, padi yang digoyangkan angin, atau orang-orang yang pulang dari panyawah bekerja. Ini tentang bagaimana kita memperhatikan dunia di sekitar kita, semua interaksi, dan bagaimana kita membangun makna dari hal-hal yang kita perhatikan itu.

 

Suatu pagi, aku duduk di kursi saung. Meraba-raba kepalaku yang berminggu masih terantuk. Melihat seorang tua menyusur pematang sawah mencari Keong-keong. Dibawah langit mendung memakai baju merah. Yang kutahu Keong-keong biasanya jadi hama padi yang sudah tidak asing bagi petani atau digunakan untuk orang-orang yang memelihara ternak sebagai pakan.

Tiba-tiba Keong menarik perhatianku. Aku membawa buku sketsa-ku dari kamar ke saung luar. Sampai setengah hari aku membuat tiga gambar. Rupanya aku belum sembuh benar. Tanganku masih gemetar. Aku berhenti sejenak setelah membuatnya dalam gambar kasar dengan watercolor. Yang penting aku sudah berhasil 'menyimpannya di tempat lain', tidak hanya dalam ingatanku saja.

Hari masih berjalan sama. Aku masih kepikiran untuk membuat gambar-gambar lain dengan subyek Keong-keong dalam bentuk dan komposisi yang lain. Tapi aku teringat punya hadiah set-painting dari Wulan Purwanti, teman penulisku di Garut bulan Oktober dua tahun lalu. Ini ceritanya hadiah darinya gara-gara aku membuatkan gambar untuk cover buku kumpulan puisinya. Padahal gambar yang kubuat juga nga jelas sebenarnya. Dan aku cuma minta bukunya saja jika sudah keluar cetak karena ingin membacanya. Dia malah ngasih hadiah besar ini padaku.

Aku bergegas membawa kanvas-kanvas dan cat hadiah ini ke kosan. Aku berniat 'memindahkan' gambar dari buku sketsaku ke bentuk lukisan kanvas dengan cat akrilik.

Membuat rancangan sketsa pensil untuk kupindahkan pada kanvas yang berbeda ukuran.

Sayangnya tidak banyak pilihan warna yang kupunya karena memang sudah lama tidak melukis dan 'belanja'. Tapi untungnya diantara cat hadiah dari Wulan ini terdapat warna Yellow Ochre dan Vandyke Brown yang kiranya masih bisa 'masuk' untuk mewakilkan warna objek Keong yang kukerjakan. Sebetulnya jika kubawa pada gaya abstrak atau ekspresionis yang biasa kukerjakan persoalan tentang warna ini sudah selesai, atau kubawa pada gaya fauvisme yang tidak terikat aturan warna. Tapi entahlah, aku masih naif untuk tetap menggambarkannya dengan warna yang 'cukup dekat' dengan aslinya.

-

Keong-keong itu

Ditengah kehidupan manusia yang hari ini jadi terburu-buru, Keong masih bergerak dengan lambat tapi memiliki arah untuk ia tuju. Kita yang meringkas semua hal dengan teknologi tidak lagi memiliki kesempatan dan kesadaran memaknai waktu. Kita mudah sekali bosan dan tidak sabaran, kehilangan keindahan dari menunggu (tapi bukan menunggu antrean rumah sakit dengan layanan BPJS, ya).

 Kita jadi mudah lelah, cahaya yang benam kini bukan lagi pertanda istirah.

Tentang langkah. Kita bisa saja cepat dengan melompat-lompat, memperpendek jarak mendarat. Tapi tergesa-gesa kadang membawa kita salah tempat. Yang harus lebih kita perhatikan adalah jejak-jejak yang sudah kita buat.

: Tentang apakah hal yang telah kita lakukan, kita tinggalkan.

 

Keong yang selalu membawa cangkangnya-rumahnya. Ia selalu membawa hal yang ‘dimilikinya’. Kekayaan manusia bagiku sejatinya adalah kejujuran, kebermanfaatan dan sikap penerimaan. Dari apa yang kita miliki, sedikit atau banyak, itu bukan hal yang jadi masalah, tapi ini tentang nilai moral yang memiliki arti tersendiri..

 

Secara bentuk, pola spiral pada cangkang Keong juga melambangkan awal keberadaan-penciptaan-kreasionisme. Orang-orang seni rupa yang bersinggungan dengan ilmu kosmologi dan kosmogoni barangkali sudah tidak asing dengan bentuk spiral ini.

Kreasionisme sendiri juga bagian besar untuk agama-agama samawi seperti Islam dan Kristen. Orang-orang muslim dan Kristiani meyakini bahwa penciptaan terjadi secara harafiah seperti yang digambarkan Al-Quran dan Kitab Kejadian (Genesis) dalam Alkitab.

Semisal dalam ayat Al-Quran surat Az-Dzariyat ayat 47 :

وَالسَّمَاۤءَ بَنَيْنٰهَا بِاَيْىدٍ وَّاِنَّا لَمُوْسِعُوْنَ

"Dan langit Kami bangun dengan kekuasaan (Kami), dan Kami benar-benar meluaskannya."

Atau dalam ayat pertama dalam Kitab Kejadian dalam Alkitab :

"Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi."

Kedua ayat tersebut sama-sama meyakini bahwa Allah ada sebagai pencipta -Al-Khaliq.

-

 

Keong yang sebagai hama juga seringkali dipandang remeh dan hal tidak seberapa. Hari ini orang-orang marak mengejar-ngejar eksistensi. Berlomba untuk supaya bisa banyak dikenali. Menghalalkan segala cara bahkan sampai ‘mejual diri’. Secara persona ataupun secara ‘nyata’.

 -

Banyak orang kadang berujar bahwa mereka tidak ingin berkelebihan-tidak ingin berkekurangan. Ini tentu perkataan-pernyataan yang sangat bijaksana. Tapi tidak semua tahu tentang batas diri masing-masing tentang ketidak-inginan itu. Maka bergerak lambat juga tidak apa-apa, sangat tidak apa-apa. Kukira yang pertama harus dilakukan tentang itu adalah mengenali diri sendiri lebih dulu. Kita semua hampir setiap hari bercermin saat memulai hari-hari. Tapi disadari atau tidak, kita lebih banyak memperhatikan diri kita dalam persoalan cerminan secara fisik-luar kita. Tidak secara utuh, barangkali kita jarang sekali bahkan mungkin kita tidak pernah bercermin tentang pikiran-cara berpikir kita, tidak pernah bercermin tentang hati-perasaan kita.

 


The Snails.
Acrylic on Canvas, 2025.

Tentang perjalanan-menjalani, tidak semua harus terikat pada satu arah. Terkadang kita perlu banyak singgah, di waktu dan tempat yang berbeda. Yang terpenting, jika kita merasa belum ‘selesai’ maka janganlah dulu untuk berhenti melangkah.

Bawa semua ‘kekayaan diri’ dengan jujur. Sesuatu yang benar-benar kita ‘ketahui’ tidak akan pernah memberatkan kemanapun kita akan menambatkan diri.

-

Terimakasih Wulan, aku senang dapat melukis lagi !




















Sabtu, 11 Januari 2025

The Historian Got A New Journey

Orang-orang mengumpulkan bahan-bahan
Membangun pendiriannya sendiri.
Dari perjalanan, pertemuan, laku, dan pemaknaan.
Sebagai cermin kebijaksanaan hari.

2025

Mengawali tahun ini aku menulis catatan refleksi bersama teman-teman biasa aku membuat keributan di Komunitas Kuluwung saat malam tahun baru. Salah satunya adalah tentang kedatangan dan kepergian orang-orang. Saat itu, salah satu dari lima orang yang berkumpul mengeluhkan tentang itu, aku dengan pura-pura bijak menjawabnya bahwa kita mau tidak mau harus bisa menerima itu. Hal yang alamiah dan terjadi suatu saat. Orang-orang di sekitar yang pergi, atau mungkin nanti bagian kita sendiri.

Kita tidak bisa selalu menawarkan ‘kelebih-baikan’ supaya orang-orang dapat selalu berada di sekitar kita.

Karena barangkali untuk orang-orang yang berpikir, keputusan tentang datang-tinggal dan pergi tidak semata ringan dipilihkan. Semua hal bertumbuh melewati waktu, diiring dengan pemaknaan.

Sabtu. Januari 11, 2025. Sejak berpindah ruangan kerja dari bawah ke atas sebenarnya aku sudah belajar bijak menempatkan sikap Detachment. Ini kondisi ketika Aku memilih untuk tidak begitu memilik koneksi emosional dan orang lain. Sebabnya sebenarnya bisa bermacam-macam. Semisal karena enggan menghadapi keadaan yang tidak diinginkan atau misal untuk meminimalisir kecemasan-kecemasan impact dari kegiatan bersosial. Karena disadari atau tidak, bergaul hari ini kurang-kurangnamah babari pisan nyodekaan atau dicodekaan batur. Pertemanan belakangan ini banyak kutemukan karena segan atau saling memanfaatkan. Dan aku malas berurusan dengan perasaan semacam itu. Mengulangi siklus, lagi, dan lagi. Jadi kukira soliter juga tidak terlalu buruk. 

Aku punya banyak kebiasaan aneh yang kiranya mesti tinggi toleransinya daripada yang lain. Selain itu, aku seorang yang 'tidak enakan'. Jadi sebisa mungkin aku tidak ingin merepotkan orang lain. Yang bisa kulakukan sendiri, aku lakukan sendiri.

Tapi, ternyata tidak melulu seperti itu. Ada hal-hal yang bisa memperkaya diri dengan bertemu banyak hal. Sesuatu yang hidup bahkan yang tidak hidup. Baik, kurang baik, bahkan tidak baik sekalipun. Alih-alih yang lebih penting adalah tentang menyikapi dan memaknai itu, mengolahnya untuk bagaimana selanjutnya kita akan berprilaku.

Berdasar banyak hal dalam pola bersosial, kukira aku lebih memilih sebagai penerima kedatangan sebagai ‘pintu’ daripada harus mencari pada arah yang tidak menentu.

 -

Pertemanan sudah jadi barang langka buatku beberapa tahun ini.

Nah, Aku akan sedikit bercerita tentang salah satu teman yang kukenal  hampir tiga tahun ini dan dia berhasi ‘mentoleransi’ banyak hal yang ‘kurang galib’ dariku.  Adam Mubarok, seorang guru baru yang masuk setahun setelahku ke tempat biasa aku berkegiatan sekarang. Dia mengampu pelajaran sejarah. Kendati berusia jauh lebih muda dariku, kukira dia tipikal guru yang adaptif, supel, dengan critical thinking-nya ia punya banyak ide-ide visioner (yang sayangnya tidak begitu direspon dengan baik), teu jorokan dan yang paling penting dia bertanggung jawab. Meski sok kadang nga-ngo sakapeung. Overall, dalam waktu singkat dia mudah dekat dengan siapapun. Tapi yang jelas dia berposisi sebagai hihid yang membuat obrolan ngabebela. Haha

Dua tahun setengahnya di sini, pekerjaannya selalu selesai dengan baik, sampai seringkali juga dia mengerjakan hal yang sama sekali bukan ‘tanggung jawabnya’. Seperti tahun kemarin misalnya, Adam sampai mengurusi anak didikku ke salah satu rumah sakit di Bandung gara-gara tiba-tiba sakit menjelang ujian pertunjukkan yang seharusnya jadi tanggung jawabku, gara-gara itu juga dia jadi berurusan dengan Yayasan yang ‘tidak mungkin dikalahkan’. Aku selalu berterimakasih dan masih merasa bersalah tentang ini.

Dan minggu ini tiba-tiba terbitlah kabar bahwa dia memutuskan untuk tidak lagi ‘berkegiatan’ di sini. Dia mulai pindah mulai senin ini. Alhasil, banyak yang kaget dan bertanya-tanya. Aku salah satu yang banyak kena tanya orang-orang, barangkali karena kita kentara sering kelihatan barengan di luhur. Tapi akupun tidak tahu apa-apa. Dan aku juga tidak mau usil menanyakannya, kalau memang perlu, Adam juga barangkali akan bilang padaku. Dari itu hari ini bersama Riki Hamzah temanku yang lain, Adam berkunjung ke kosanku, ‘mengkonfirmasi’ segala halnya. Usul punya usul, ternyata dia mendapati ‘kesempatan’ lain di tempat lain. Aku sih tidak begitu apa ya.. Maksudku Adam ini juga bukan tipikal impulsive yang tidak memikirkan konsekuen. Aku tidak akan menuliskan sebab apa, kenapa, atau dia akan kemana. Selama itu bisa memberikan kebermanfaatan buatnya, apalagi lebih banyak, aku sih senang-senang saja dan semoga langkah yang diambilnya adalah langkah baik buatnya dan 'banyak orang'.

Setelahnya kami bertiga, Aku, Adam dan Riki jadi banyak ngobrol tentang selama dua tahun setengahnya ini. Sejujurnya, aku lupa bagaimana kita tiba-tiba akrab membaur. Karena mungkin tingkat mobilitas sosialku yang sebenarnya sangat rendah. Tapi dengan posisi ruang kerjanya yang berpinggiran waktu kami bertemu jadi lebih sering. Selain itu Aku sering dikenal yang ceplas-ceplos-banyak bicara. Barangkali membuat dia lebih leluasa membicarakan apapun-semuanya.

-

Aku sedikit menghimpun hal-hal dengannya selama dua tahun setengah ini. Agak sulit untuk mencari foto-foto ini dari arsip, yah.. Dengan waktu sehari, hanya ini yang kutemukan. Ini sebagai sedikit ucapan terimakasih dan maafku saja.. Sedikit pandanganku tentangnya, barangkali dia masih ingat beberapa hal dan waktu-waktu yang telah dilewati bersama.


7 November 2022. Hari-hari awal dia mulai berkunjung ke ruanganku. Aku membawa gitarku ke sekolah, dan dia kadang ngoprek. Sebenarnya timbre suaranya lumayan, tapi tara on tune jadi sok sumang kadangu na teh. Aku sih membiarkannya saja haha.

15 Oktober 2022. Aku lupa ada kegiatan apa ini. Yang jelas kita membuat bakar ikan di belakang.


20 Januari 2023. Adam memberikan buket bunga padaku, ini katanya pemberian dari ‘seseorang’juga, dan mungkin bisa lebih bermanfaat kalau dikasih padaku, karena aku senang dengan bunga-bunga atau dibikin kerajinan. Aku upload di story Instagram tapi diminta ditake down karena katanya redaksi captionnya nya bisa membuat ‘kecurigaan’, haha.


22 Februari 2023. Maulid Nabi. Kami berfoto setelah kegiatan selesai, ada pa Abdul dan Pa Asep Si  Guru Agama Pangsolehna.


18 Maret 2023. Dijebak Iqbal ajak main keluar, ternyata pas datang isinya sekampung.


5 Mei 2023. Adam menerima tamu-tamu adik tingkatnya di Unsil. Mahasiswa Pendidikan Sejarah ini datang untuk konsultasi. 


6 Mei 2023. Kami memasak liwet tengah malam karena banyak hal yang dikerjakan piisukeun hajat di tempat kuli.


20 Mei 2023. Aku yang biasa nyirami tanaman-tanamanku sore hari kadang selesai sampai lewat isya di tempat kerja. Kadang jadi ngopi dan ngobrol berlama-lama. Lalu, gerbang ditutup Mang Asep. Kendaraan kami tidak bisa keluar, akhirnya kami menginap di ruanganku.

Pagi-paginya kami sarapan dan minum teh bersama.


11 Juli 2023. Aku mendapat beasiswa shortcourse dari EV-Greengate selama dua minggu. Aku sesekali menelpon teman-teman di kerjaan saat aku sedang tidak ada di sana.


6 September 2023. Ada ruangan yang biasa kupakai tari dipinggir ruanganku. Lalu Adam 'mengkudeta-nya' dengan dalih membuat laboratorium Social Studies. Bersama Pa Andri sebagai dekengnya, jadi aku tidak bisa apa-apa selain merelakan ruangan ini hahaha. Kukira dia mulai ‘pindah’ ke atas pada hari-hari ini.

8 September 2023. Tiba-tiba jadi pelukis. Adam membuat mural peta Indonesia dengan skala besar di ruangannya. ”Meh leuwih siga,”, ujarnya.

12 September 2023. Peta Indonesia yang dia buat sudah mulai kelihatan bentuknya. Aku bantu-bantu sedikit saat detailing. Karena banyak objek kecil yang mesti diblok, kesian dia kalau ulukutek sendiri.

23 September 2023. Kami ada perjalanan ke Yogya. Aku ketemu temanku, Adam ketemu temannya. Jadilah kami ngopi berempat di Malioboro.

2 November 2023. Adam wisuda dari Universitas Siliwangi, bukan tanggal ini. Aku dan Iqbal tidak bisa menemui pas waktunya, jadi kami merayakannya dengan berfoto dengan toga bersama-sama.


17 Oktober 2023. Tiba-tiba sok aya kajian di depan ruanganku. Tapi ini sepertinya gara-gara Iqbal membawa hasil praktek tata boga anak-anaknya sih hehe.

27 November 2023. Dia sering dapat hadiah-hadiah begini. Fans-nya buanyak soalnya. Aku kadang kebagian sakereut, pajak membongkar hadiah di ruanganku haha.

15 Desember 2023. Aku kadang dikunjungi teman-temanku dari luar ke ruanganku. Dengan Adam yang sering berkunjung juga, biasanya aku mengenalkannya pada siapapun yang datang. Begitupun sebaliknya dia, kadang dia membawa teman-temanya dan dikenalkan padaku.

23 Desember 2023. Pembagian rapot. Kami pernah sama-sama menjadi wali kelas untuk kelas X.

30 Desember 2023. Sela-sela liburan. Adam membantuku membuat pot-pot kecil dari limbah botol-botol plastic (nu tara diceboran, padahal itu jatah wilayah dia huee).


17 Februari 2024. Saat senggang kadang dia cari-cari kegiatan. Kebetulan aku sedang sedikit menggambari kaos-kaosku. Dia nimrung ikutan menggambar.


21 Februari 2024. Teh Ai tangannya terluka. Adam yang katempuhan sebagai ‘dokter sekolah’ akhirnya ambil tindakan medis.

Melayani anak-anak PMR asuhannya.

3 Maret 2024. Perkumpulan tidak sehat. Adam dan Riki sudah cukup meresahkan buatku. Dan kadang ditambah kedatangan Pa Andri dan Danny, selesai sudah kedamaian ruanganku haha. Untungnya ada Pa Asep sang ‘penyeimbang’. Di foto ini aku mengajak mereka berdoa bersama, tapi sarangsieun, teu percaya sugan mah, kalah saleseurian geura.

22 Juni 2024. Sekolah dapat hibah bantuan buku dari BAIS lewat Oma Rosemarie. Aku, Adam dan Pa Ilham menyortir buku-buku semobil itu berdasarkan kategori. Ini perlu secepatnya kami bereskan, karena ada banyak buku ‘berbahaya’ yang kurang pas pada tempatnya di sini. Kami melakukannya sampai hampir pukul sembilan malam.


24 Oktober 2024. Diwan membawa tamunya Fiona Calaghan ke ruanganku.

26 November 2024. Adam si paling kurmer. Kami para fasilitator ‘selesai tugas’ pada tema P5  pertama. Kerujitan hari-hari 'kekagetan' adaptasi dengan kurikulum merdenying.

11 Januari 2025. Aku tidak masuk kerja hampir lima hari. Adam dan Riki berkunjung ke saung dengan tujuan ngalongok dan 'konfirmasi' perihal kepindahannya. Kami jadi ngobrol banyak hal dari yang aman sampai paling 'berbahaya'. Tapi sekali lagi, tingkah kami hanya segini saja, berakhir jadi bahan canda.

"Moal pamit ka Pa Riki jeung Eki mah. Da ke ge panggih deui.", Ujar Adam sebelum mereka berdua bergegas pulang. Memang baiknya tidak ada selamat tinggal, hanya sampai bertemu lagi. Hampir berakhir dengan baik Adam berucap lagi, "Sok sing saralametnya !", Diterima dengan kepala Riki dan Aku, 'salamet' di sini punya 'arti yang lain', kami jadi menertawai segala keadaan ini bersama-sama. Lalu kami saling berpisah setelahnya..

-

Perjalanan bukan hanya tentang penemuan tempat-tempat atau hal-hal lain.
Tapi untuk mendapat 'penglihatan' yang baru.

-
هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ ذَلُوْلًا فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِبِهَا وَكُلُوْا مِنْ رِّزْقِهٖۗ وَاِلَيْهِ النُّشُوْرُ

"It is He who made the earth tame for you - so walk among its slopes and eat of His provision - and to Him is the resurrection"
Al-Mulk : 15

“The heart of man plans his way, but the Lord establishes his steps.”
- Proverb 16:9

Terimakasih sudah menjadi teman yang baik. Selamat mengembara !

2025