“Éki téh nu sok nyandak seseungitan téa nya..”
Aku menjalani hari kemarin dengan sangat biasa-sesuai jobdesc.
Tidak berharap banyak karena sudah tentu akan biasa sekali. Padahal ada sebaran
helaran pawai dari desa untuk memperingati hari besar Islam. Tapi tempat berkegiatanku,
pada kepemimpinan ini ah salah, pemerintahah saat ini, tidak begitu
menghiraukannya. Mengganggu proses kegiatan, katanya. Berbeda dengan dulu yang
selalu mementingkan hal seperti ini. Padahal, pun hanya ikut jalan-jalan kecil
saja. Tapi esensinya bukan itu. Untuk membuat kita supaya merasakan ‘sebagai bagian’
dari itu.
Tapi dengan ini aku jadinya tidak heran kalau sekarang banyak
nilai yang secara sadar jadi tidak semestinya. Implementasinya sudah gugur :
kami kehilangan figur. Sekarang label ‘Islam’ juga tidak membuat tempat ini
menjadi lebih menjadikan ‘sebagai’. Tapi sebagai identitas yang dapat digunakan
dengan bebas abai.
Barangkali iya, ini hanya pawai.
Baginya, hal yang sia-sia, : yang dapat mengeluarkan tambahan
biaya, mengurangi harta.
Bagiku, sangat sederhana, : mengurangi rasa percaya.
Tapi yasudahlah, aku tidak berniat menuliskan itu kali ini.
-
Pertemanan yang ‘benar-benar’ pertemanan barangkali adalah suatu yang berharga yang sudah langka ditemukan hari ini. Apalagi diusia sepertiku yang probabilitas bersosialnya sudah mulai mengecil jika tidak mencari ‘tempat’ yang baru. Itupun masih sangat bisa tidak cocok. Dan mengulangi proses adaptasi berkali-kali, kadang juga melelahkan. Barangkali aku yang memang tidak pandai bergaul.
Entah tahun berapa aku dibawa Ganjar temanku saat SMA ke Garut dan diperkenalkan dengan teman-temannya, itu sudah lama sekali. Kami menyebutnya Wanakumbara. Ini sebenarnya komunitas pecinta alam, tapi sebenarnya aku ‘masuk’ pada mereka tidak gara-gara embel-embel ini. Meskipun saat awal masuk aku satu-satunya outsider, hanya aku yang bukan native orang Garut. Mendapat pergaulan yang sehat dan bisa mendapatkan self-enrichment, bagiku tujuannya cukup itu saja. Tapi ternyata yang kudapatkan lebih dari itu. Beberapa dari banyak anggota itu menjadi lebih dari teman bahkan saudara-keluarga buatku. Yang kenan berbagi hal yang bermanfaat, kadang sampai tidak bermanfaat. Kami juga tidak selamanya baik. Kadang berselisih satu sama lain, sebentar sampai menahun. Tapi keterpanggilan untuk pulang dan kembali bersama selalu jadi pemenangnya, : rindu mengalahkan belenggu.
Aku punya kebiasaan jika berteman ingin juga kenal dengan
orang tuanya, atau mengenalkan orang tuaku pada teman-temanku. Pun dengan Jimi,
karena aku sering juga kunjung ke rumahnya, apalagi setelah Ganjar menikah, aku
lebih banyak merepotkan teman teman lain di Garut sana. Akhirnya aku juga kenal
dengan keluarganya Jimi. Selain supaya orang tuanya ‘percaya’ padaku (meski bukan
tipikal teman yang baik), ini membuatku mengetahui bagaimana kultur
keluarganya, bagaimana treatment yang dia dapatkan di rumahnya. Ini akan jadi
akumulasi untukku saat bersikap bersamanya, terlebih di lingkungan rumah dan
keluarganya.
Ibunya Jimi adalah seorang yang baik, salah satu mamah semua teman-teman Wanakumbara. Juga ayahnya Pa Iwan, salah satu bapak-bapak nyentrik-berkarakter buatku. Aku mengenalnya sejak lama saat Pa Iwan masih jagjag. Aku dikenali ayahnya Jimi sebagai orang yang senang dengan tanaman-tanaman karena sempat kunjung ke saung, lalu sebagai orang yang selalu membawa dupa melati kemana-mana. Sampai akhirnya setiap aku berkunjung apalagi belakangan setelah sempat sakit-sakitan Pa Iwan selalu menyapaku dengan, “Eki téh nu sok nyandak seseungitan téa nya..”. Rupanya Pa Iwan juga menyenangi harum dupa Melati. Aku kadang malu jika kebetulan berkunjung dan sedang tidak membawanya. Pertemuan terakhir, aku sengaja membawakannya dupa melati kemasan besar, piparantieun dan supaya tidak malu ketika disapa seperti itu lagi. Sebagai semah yang cologog yang selalu lengoh, aku memang belum bisa membawakan sesuatu yang lebih berharga, bagi semuanya.
-
Rabu, 24 Juli 2024. Aku bekerja seperti biasa. Dan setiap melakukannya aku tidak pernah membawa handphone. Itu mengganggu konsentrasi. Mendapati jeda saat setengah hari, aku mengecek notifikasi. Tiga panggilan dan satu pesan diterima. 9.34, “Kiw, Pa Iwan pupus. Bapa na Jimi.” , sontak aku kaget. Karena seminggu sebelumnya aku berkunjung ke rumah temanku itu di Garut, dan beliau nampak sehat. Menelpon beberapa teman lainnya dengan maksud mengkonfirmasi berita, ternyata sudah soheh. Tidak banyak pikir, aku langsung membereskan barang-barangku lalu izin untuk pergi.
Bersiap-siap dan menghubungi Mang Jajang yang juga kenalan
Jimi, aku berangkat setelah dzuhur dan sampai di Garut sekitar pukul dua siang.
Keadaan rombongan Jenazah masih dalam perjalanan, karena ternyata Pa Iwan wafat
di Jakarta. Menunggu kedatangan, teman-teman lain mulai berkumpul di rumah
Frendy sebagai titik kumpul. Komunikasi selalu terpantau, kabar rombongan sudah
mendekat kami bergegas ke rumah Jimi.
Mobil ambulans datang hampir pada waktu ashar. Jenazah Pa
Iwan sudah rapi dibungkus kain kafan langsung dipindah ke masjid untuk
disolatkan. Wajah-wajah duka, cemas dan linang air mata mulai kelihatan.
Para makmum menyolatkan ayahnya Jimi dengan riuh do’a-do’a, aku yakin juga dengan ingatan masing-masing bersamanya. Semula jenazah Pa Iwan akan dikebumikan malam hari karena menunggu putrinya yang lain yang belum datang juga dari Jakarta dengan rombongan terpisah, dengan pertimbangan cuaca yang mendung melihat kondisi jalanan macet, Pa Iwan dikuburkan tidak lama setelah disolatkan. Semua lancar, tanpa sedikitpun halangan. Alhamdulillah.
-
Maghrib setelah semua kewajiban terhadap mayit tunai sudah,
aku dan teman-teman masih berkumpul di rumahnya Jimi. Menemui ibunya Jimi, dan
keluarganya. Saling menguatkan. Sampai putrinya tiba dari Jakarta, kami baru pergi
dari rumah duka. Bukan meninggalkan. Kami bisa bertemu, akan berusaha untuk
bertemu lagi saat dibutuhkan.
-
Sepulangnya dari rumah Jimi, aku dan teman-teman berkumpul di rumah Ganjar. Masih bercerita tentang kejadian. Dulu sebelum Ganjar menikah, tempat ini digunakan kami untuk berkumpul, kami menyebutnya Sekre. Sampai kami pernah memiliki kegiatan dengan judul “Mondok Sekre”, kami menginap di sini untuk berbagi banyak hal, pengetahuan, rizki, apapun yang intinya silaturahmi. Selain itu beberapa dari kami yang berkumpul hari ini memang baru bertemu lagi sejak lama. Pun dari hal kepergian, Allah masih memberikan kebaikan. Kami mengobrol banyak. Tapi yang penting ada yang kami dapatkan.
Tapi ada tiga hal yang kucatat dari obrolan. Satu, Ikhlas
adalah perbuatan kita sebagai subyek. Lalu Ridla, adalah sikap kita sebagai
objek. Ini seringkali tertukar atau kurang tepat penggunaannya. Seperti contoh
hari ini, saat kita melayat pada orang yang berduka atau terkena musibah,
gunakan Ridla. Bukan Ikhlas.
Lalu yang kedua, tentang memberi, apapun. Kadang sesuatu
yang bagi kita sama sekali tidak bernilai bisa jadi sangat bernilai untuk yang
lain.
Lalu yang ketiga, keberhargaan waktu. Bagiku yang tidak lahir
dengan harta, ini adalah kekayaan yang nyata. Seringkali kita menyia-nyiakannya,
padahal kita tidak tahu entah sampai kapan kita memilikinya. Selain itu, nilainya
dapat berubah dengan sangat kebalikan, jika kita tidak menggunakannya dengan bijak
dan disiplin. Jadi gunakanlah dengan baik, sebisa mungkin kita tidak
mendapatkan kata hanjakal gara-gara sikap kita sendiri. Kecuali, dengan
halangan yang memang tidak bisa kita hindari.
-
Terakhir, aku mau minta kenan mendoakan pada semuanya.
Semoga almarhum Pa Iwan Rudi Sukmawan bin Kanta Wijaya wafat dalam keadaan khusnul khatimah. Diterima Iman serta Islamnya, mendapat tempat mulia di sisi Allah.
-
Akan saling mempertemukan kesejatian lainnya.
Berbeda dengan meninggalkan,
Sisa-sisanya dapat menyimpan ketidakselesaian.
Sekejap, bahkan selamanya.
وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ
“Never say that those martyred in the cause of Allah are
dead—in fact, they are alive! But you do not perceive it.”
-Al-Baqara : 154
“The righteous man perishes, and no one lays it to heart;
devout men are taken away, while no one understands. For the righteous man is
taken away from calamity; he enters into peace; they rest in their beds who
walk in their uprightness.”
-Isaiah 54: 1-2
0 comments:
Posting Komentar