Excerpt from the other sight Time has wonderful way of showing us what really matters

Sabtu, 27 Juli 2024

“Awal dan Mira”. Sanggar Harsa : dari pinggir Masjid, ke Gedung Kesenian Tasikmalaya.

 


“Dia sudah lama merindukan manusia.”
-Mira

 


Sabtu. Juli 27, 2024. Universitas Islam KH. Ruhiat-Cipasung membawakan pertunjukan teater dengan salah satu naskah terbaik Utuy Tatang Sontani, Awal dan Mira. Sengaja mengosongkan jadwal ditanggal ini, hadir sebagai undangan, aku menonton pada sesi dua selepas isya.

Tidak dengan tiba-tiba. Pasalnya aku secara pribadi tahu sepak terjang Sanggar Harsa ini. Semula sebagai kegiatan ‘underground’ dengan nama Komunitas Ngampar. Karena kegiatan mereka berada dipinggir masjid dengan cara ngampar. Dengan keterbatasan sumber daya dan ‘birokrasi’, saat itu mereka lebih konsen pada wilayah sastra karena lebih minim resiko, teknis dan pembiayaan, semua bergerak hanya karena tulus cinta. Penyair-penyair muda (saat itu, sekarang mulai tua) seperti Romli Burhani, Galih M. Rosyadi, Zulfi Rosdiani, Laila Nurbarkah, musisi Hasan Asyari, pelukis Muhammad Muhib Ruslan juga Filsuf Jajang Indra lahir di sana. Barangkali itu hanya sederet nama yang kukenal, masih banyak lainnya.


Sedari awal, aku yang memang ‘orang luar’ hanya ikut-ikutan saja mencari ‘penghidupan’. Selama itu berkaitan dengan proses kreatif, aku menyenangi itu. Karena saat itu tempat yang menawarkan hal seperti ini, disini, masih sangat terbatas. Waktu berjalan, namanya berubah menjadi Sanggar Harsa yang berarti kebahagiaan ini mulai terlihat cahayanya, memasuki berbagai jenis seni, melahirkan regenerasi.

Separuh tidak percaya. ‘Giroh’ kesenian khususnya kali ini teater di Kabupaten Tasikmalaya disulut oleh para mahasiswa Universitas ‘Islam’. Sanggar Harsa mendobrak pintu Gedung Kesenian Tasikmalaya dengan perdana. Beberapa mahasiswa-mahasiswa yang seringkali dipandang sebelah mata dan sering ‘buron’ ini membanggakan kampusnya dengan ‘jalan lain’. Sangat mengisi energi, dan membanggakan. Seperti yang dikatakan pa Ahyan Hairu Tamam, kampus ini sekarang mulai hidup di semua lini. Keagamaan, keilmuan juga kesenian. Semoga ini juga bisa menyadarkan bahwa di sini ada banyak jenis-jenis ‘kecerdasan lain’ yang mesti diwadahi.

Lalu, agak malu. Karena jadinya ikut merepotkan numpang main di ‘kota’ (terimakasih, ya !). Kabupaten tidak punya sarana memadai untuk hal semacam ini, malah banyak gedung yang tidak jelas fungsinya, tidak tahu juga orangnya ada atau tidak di dalamnya. Lalu katanya sih baru-baru ini ulang tahun, tidak ada salahnya padahal memberi ‘kado’ pada diri sendiri semisal dengan membuat sarana-sarana publik seperti GKT ini. Oh yaa, sekalian, Kabupaten juga tidak punya perpustakaan yang proper, aya kur sagéwok, eta gé teu weléh dipundah-pindahkeun buhahahah.

“Jika kita tidak bisa hidup bersama, lebih baik kita mati bersama”
-Mira

Utuy Tatang Sontani memang menyebalkan buatku pribadi yang anak kemarin sore. Utuy mempunyai mata yang sangat bagus yang melihat realitas dengan berbagai arah. Interpretasi naskahnya bisa jadi bermacam-macam. Pura-pura menuliskan naskah percintaan tapi isinya peperangan. Awal dan Mira, yang terlihat olehku adalah pergolakan dua hal yang berkebalikan. Bisa jadi keadaan, ideologis, dan mungkin lainnya yang memiliki keinginan bersatu-bersama. Adegan dihancurkannya warung kopi Mira oleh Awal ini juga bisa jadi sebagai simbol tindakan pemberontakan tokoh Awal untuk meruntuhkan ‘penghalang’ diantara keduanya yang pada akhirnya tetap tidak bisa. Pengrusakan kadang dibutuhkan untuk pembuktian : Tidak bisa semuanya bahagia. Menyedihkan memang.

Entah apa sebab pemilihan naskah ini oleh Sanggar Harsa. Bisa jadi arahan sutradara, atau barangkali, mereka menemukan relevansi naskah ini dengan keadaan mereka ‘sekarang’.

Pada diskusi sesi kedua selepas pementasan yang kebanyakan dihadiri seniman-budayawan, banyak  kritik yang dilontarkan terkait teknis jalannya pementasan yang bisa membangun untuk perbaikan-perbaikan kedepannya. Jika diibaratkan, barangkali pementasan ini adalah seperti seorang anak yang baru bisa berjalan, mereka sangat antusias untuk ngaléngkah, tapi masih seredeug. Tapi lepas dari apapun, untukku yang hanya penikmat, pementasan perdana teater Sanggar Harsa di Gedung Kesenian ini sangat menyenangkan. Hal seperti ini mestilah dilanjutkan.

 -

Pementasan teater ini juga tiba-tiba menjadi tempat silaturahmi. Aku ketemu banyak orang dari waktu-waktu lalu. Jabo Widyanto, Kido, Pongkir Wijaya, Andy Otot, Orock Kapas, Ria Arista Budhiarti, Murti Widyaningsih, Alexandreia Indri Wibawa, dan masih banyak lagi.

Beberapa dari aktor dan tim pementasan ini adalah mahasiswa yang dulu saat SMA pernah berada di kelasku. Wawan Baswara Kurniawan misalnya. Anak ini dulu kukenal berandal dan ‘kosong’ soal kesenian. Hanya berselang beberapa tahun setelah lulus SMA, tiba-tiba dia sudah menjadi guru ekskul seni, aktor, musisi, pimpro. Melihat mereka di panggung besar seperti ini sangat membahagiakan. Mereka berkembang dengan baik, bahkan melebihiku !

Abdul Ijaz, dulu kukenal sebagai seorang introvert di kelas,  tapi sudah kelihatan potensi dan ketertarikannya pada keaktorannya sejak berkecimpung di sanggar. Dua kali sebagai main actor, yang pertama sebagai Suminta pada naskah Sayang Ada Orang Lain, kini Ijaz berperan sebagai Awal. Akting yang mengesankan !

Diantara Wawan dan Syaiful Ghifari yang akrab dipanggil ‘Ju’. Seorang yang eksentrik dan ‘rada-rada’. Berkuliah di UIN Bandung, Ju juga adalah seorang actor yang mengerikan aktingnya di Teater Awal-UIN Bandung.

Firman Imong juga hadir sebagai apresiator. Pemain suling Sunda ini menuturkan bahwa ini pertama kalinya dia menonton teater. Dan dia menyukainya !

Azmi Lagos Alfirano. Kendati bukan mahasiswa UNIK, sebagai penunggu saung Suryashvara, dia ikut berpartisipasi berperan sebagai kerabat pentas Sanggar Harsa kali ini. Bridging actor yang dengan keahliannya memberi sentuhan akting komedi, pementasan kali jadi lebih ‘kena’ pada adegan sisi ini dituturkan oleh Irma Normalia, salah satu penonton undangan senior yang hadir. Semua apresiator tidak ada yang tidak melepaskan tawa.

Ai Siti Mardiyah yang lebih akrab dipanggil ‘Kerang’. Kalau yang ini aktor Teater 28 UNSIL. Kami saling mengenal cukup lama tapi hanya dari media sosial. Kali ini kami bertemu dengan nyata. Influencer, tutor bahasa inggris ini memang cerdas, sangat kelihatan dari pertemuan pertama.

Apresiasi untuk semua unsur tim produksi dan tim artistik. Para aktor, sutradara, juga Pa Imam Muhtadi, teman baruku dua tahun ke belakang ini sebagai Pembina sanggar Harsa. Aku sangat tahu kesulitan yang dihadapi teman-teman semua saat berproses untuk pementasan ini ! Terimakasih  pada kerabat pentas Teater 28 UNSIL, juga semua sponsor dan pihak-pihak yang kenan memberikan ‘kanyaahna’, membantu tumbuhnya proses para mahasiswa ini. Semoga pementasan ini menjadi awal untuk kekaryaan Sanggar Harsa kedepannya, tabik !


Selamat !


Rabu, 24 Juli 2024

To the man who also loves the smell of jasmine


“Éki téh nu sok nyandak seseungitan téa nya..”

 -

Aku menjalani hari kemarin dengan sangat biasa-sesuai jobdesc. Tidak berharap banyak karena sudah tentu akan biasa sekali. Padahal ada sebaran helaran pawai dari desa untuk memperingati hari besar Islam. Tapi tempat berkegiatanku, pada kepemimpinan ini ah salah, pemerintahah saat ini, tidak begitu menghiraukannya. Mengganggu proses kegiatan, katanya. Berbeda dengan dulu yang selalu mementingkan hal seperti ini. Padahal, pun hanya ikut jalan-jalan kecil saja. Tapi esensinya bukan itu. Untuk membuat kita supaya merasakan ‘sebagai bagian’ dari itu.

Tapi dengan ini aku jadinya tidak heran kalau sekarang banyak nilai yang secara sadar jadi tidak semestinya. Implementasinya sudah gugur : kami kehilangan figur. Sekarang label ‘Islam’ juga tidak membuat tempat ini menjadi lebih menjadikan ‘sebagai’. Tapi sebagai identitas yang dapat digunakan dengan bebas abai.

Barangkali iya, ini hanya pawai.

Baginya, hal yang sia-sia, : yang dapat mengeluarkan tambahan biaya, mengurangi harta.

Bagiku, sangat sederhana, : mengurangi rasa percaya.

Tapi yasudahlah, aku tidak berniat menuliskan itu kali ini.

-

Pertemanan yang ‘benar-benar’ pertemanan barangkali adalah suatu yang berharga yang sudah langka ditemukan hari ini. Apalagi diusia sepertiku yang probabilitas bersosialnya sudah mulai mengecil jika tidak mencari ‘tempat’ yang baru. Itupun masih sangat bisa tidak cocok. Dan mengulangi proses adaptasi berkali-kali, kadang juga melelahkan. Barangkali aku yang memang tidak pandai bergaul.

Entah tahun berapa aku dibawa Ganjar temanku saat SMA ke Garut dan diperkenalkan dengan teman-temannya, itu sudah lama sekali. Kami menyebutnya Wanakumbara. Ini sebenarnya komunitas pecinta alam, tapi sebenarnya aku ‘masuk’ pada mereka tidak gara-gara embel-embel ini.  Meskipun saat awal masuk aku satu-satunya outsider, hanya aku yang bukan native orang Garut. Mendapat pergaulan yang sehat dan bisa mendapatkan self-enrichment, bagiku tujuannya cukup itu saja. Tapi ternyata yang kudapatkan lebih dari itu. Beberapa dari banyak anggota itu menjadi lebih dari teman bahkan saudara-keluarga buatku. Yang kenan berbagi hal yang bermanfaat, kadang sampai tidak bermanfaat. Kami juga tidak selamanya baik. Kadang berselisih satu sama lain, sebentar sampai menahun. Tapi keterpanggilan untuk pulang dan kembali bersama selalu jadi pemenangnya, : rindu mengalahkan belenggu.


Dari banyak teman-teman itu, Jimi adalah salah satunya yang langsung klop bersamaku. Selain karena berusia sama, Jimi juga adalah seorang kreatif. Tidak berlebihan jika menyebutnya seniman. Dia gitaris tulen, menyenangi menggambar dan fotografi, belakangan dia berwirausaha dengan mengerjakan kerajinan kulit, tangannya banyak melahirkan karya. Banyak kesamaannya denganku, termasuk tentang goreng adatna. Tapi mungkin karena itu kami bisa dengan cepat akrab.

Aku punya kebiasaan jika berteman ingin juga kenal dengan orang tuanya, atau mengenalkan orang tuaku pada teman-temanku. Pun dengan Jimi, karena aku sering juga kunjung ke rumahnya, apalagi setelah Ganjar menikah, aku lebih banyak merepotkan teman teman lain di Garut sana. Akhirnya aku juga kenal dengan keluarganya Jimi. Selain supaya orang tuanya ‘percaya’ padaku (meski bukan tipikal teman yang baik), ini membuatku mengetahui bagaimana kultur keluarganya, bagaimana treatment yang dia dapatkan di rumahnya. Ini akan jadi akumulasi untukku saat bersikap bersamanya, terlebih di lingkungan rumah dan keluarganya.

Ibunya Jimi adalah seorang yang baik, salah satu mamah semua teman-teman Wanakumbara. Juga ayahnya Pa Iwan, salah satu bapak-bapak nyentrik-berkarakter buatku. Aku mengenalnya sejak lama saat Pa Iwan masih jagjag. Aku dikenali ayahnya Jimi sebagai orang yang senang dengan tanaman-tanaman karena sempat kunjung ke saung, lalu sebagai orang yang selalu membawa dupa melati kemana-mana. Sampai akhirnya setiap aku berkunjung apalagi belakangan setelah sempat sakit-sakitan Pa Iwan selalu menyapaku dengan, “Eki téh nu sok nyandak seseungitan téa nya..”. Rupanya Pa Iwan juga menyenangi harum dupa Melati. Aku kadang malu jika kebetulan berkunjung dan sedang tidak membawanya. Pertemuan terakhir, aku sengaja membawakannya dupa melati kemasan besar, piparantieun dan supaya tidak malu ketika disapa seperti itu lagi. Sebagai semah yang cologog yang selalu lengoh, aku memang belum bisa membawakan sesuatu yang lebih berharga, bagi semuanya.

-

Rabu, 24 Juli 2024. Aku bekerja seperti biasa. Dan setiap melakukannya aku tidak pernah membawa handphone. Itu mengganggu konsentrasi. Mendapati jeda saat setengah hari, aku mengecek notifikasi. Tiga panggilan dan satu pesan diterima. 9.34, “Kiw, Pa Iwan pupus. Bapa na Jimi.” , sontak aku kaget. Karena seminggu sebelumnya aku berkunjung ke rumah temanku itu di Garut, dan beliau nampak sehat. Menelpon beberapa teman lainnya dengan maksud mengkonfirmasi berita, ternyata sudah soheh. Tidak banyak pikir, aku langsung membereskan barang-barangku lalu izin untuk pergi.

Bersiap-siap dan menghubungi Mang Jajang yang juga kenalan Jimi, aku berangkat setelah dzuhur dan sampai di Garut sekitar pukul dua siang. Keadaan rombongan Jenazah masih dalam perjalanan, karena ternyata Pa Iwan wafat di Jakarta. Menunggu kedatangan, teman-teman lain mulai berkumpul di rumah Frendy sebagai titik kumpul. Komunikasi selalu terpantau, kabar rombongan sudah mendekat kami bergegas ke rumah Jimi.

Mobil ambulans datang hampir pada waktu ashar. Jenazah Pa Iwan sudah rapi dibungkus kain kafan langsung dipindah ke masjid untuk disolatkan. Wajah-wajah duka, cemas dan linang air mata mulai kelihatan.

Para makmum menyolatkan ayahnya Jimi dengan riuh do’a-do’a, aku yakin juga dengan ingatan masing-masing bersamanya. Semula jenazah Pa Iwan akan dikebumikan malam hari karena menunggu putrinya yang lain yang belum datang juga dari Jakarta dengan rombongan terpisah, dengan pertimbangan cuaca yang mendung melihat kondisi jalanan macet, Pa Iwan dikuburkan tidak lama setelah disolatkan. Semua lancar, tanpa sedikitpun halangan. Alhamdulillah.

-

Maghrib setelah semua kewajiban terhadap mayit tunai sudah, aku dan teman-teman masih berkumpul di rumahnya Jimi. Menemui ibunya Jimi, dan keluarganya. Saling menguatkan. Sampai putrinya tiba dari Jakarta, kami baru pergi dari rumah duka. Bukan meninggalkan. Kami bisa bertemu, akan berusaha untuk bertemu lagi saat dibutuhkan.

-

Sepulangnya dari rumah Jimi, aku dan teman-teman berkumpul di rumah Ganjar. Masih bercerita tentang kejadian. Dulu sebelum Ganjar menikah, tempat ini digunakan kami untuk berkumpul, kami menyebutnya Sekre. Sampai kami pernah memiliki kegiatan dengan judul “Mondok Sekre”, kami menginap di sini untuk berbagi banyak hal, pengetahuan, rizki, apapun yang intinya silaturahmi. Selain itu beberapa dari kami yang berkumpul hari ini memang baru bertemu lagi sejak lama. Pun dari hal kepergian, Allah masih memberikan kebaikan. Kami mengobrol banyak. Tapi yang penting ada yang kami dapatkan.

Tapi ada tiga hal yang kucatat dari obrolan. Satu, Ikhlas adalah perbuatan kita sebagai subyek. Lalu Ridla, adalah sikap kita sebagai objek. Ini seringkali tertukar atau kurang tepat penggunaannya. Seperti contoh hari ini, saat kita melayat pada orang yang berduka atau terkena musibah, gunakan Ridla. Bukan Ikhlas.

Lalu yang kedua, tentang memberi, apapun. Kadang sesuatu yang bagi kita sama sekali tidak bernilai bisa jadi sangat bernilai untuk yang lain.

Lalu yang ketiga, keberhargaan waktu. Bagiku yang tidak lahir dengan harta, ini adalah kekayaan yang nyata. Seringkali kita menyia-nyiakannya, padahal kita tidak tahu entah sampai kapan kita memilikinya. Selain itu, nilainya dapat berubah dengan sangat kebalikan, jika kita tidak menggunakannya dengan bijak dan disiplin. Jadi gunakanlah dengan baik, sebisa mungkin kita tidak mendapatkan kata hanjakal gara-gara sikap kita sendiri. Kecuali, dengan halangan yang memang tidak bisa kita hindari.

-

Terakhir, aku mau minta kenan mendoakan pada semuanya.

Semoga almarhum Pa Iwan Rudi Sukmawan bin Kanta Wijaya wafat dalam keadaan khusnul khatimah. Diterima Iman serta Islamnya, mendapat tempat mulia di sisi Allah.

-

Kepergian sejati,
Akan saling mempertemukan kesejatian lainnya.
Berbeda dengan meninggalkan,
Sisa-sisanya dapat menyimpan ketidakselesaian.
Sekejap, bahkan selamanya.
 
: Berpisahlah dengan benar.

 

وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ

“Never say that those martyred in the cause of Allah are dead—in fact, they are alive! But you do not perceive it.”

-Al-Baqara : 154

 

“The righteous man perishes, and no one lays it to heart; devout men are taken away, while no one understands. For the righteous man is taken away from calamity; he enters into peace; they rest in their beds who walk in their uprightness.”

-Isaiah 54: 1-2

 


Jumat, 19 Juli 2024

Strength from within, to beyond

Udara terasa dingin seminggu terakhir ini. Orang-orang bilang ini salah satu tanda memasuki kemarau panjang. Sangat mengundang untuk digunakan berleha-leha, berdiam di atas tempat tidur dengan selimut dan pikiran yang hangat. Ketika udara dingin aku merasa ruang jadi semakin sempit, dan minimal itu membuatku bisa lebih memusatkan kepala pada hal yang ingin dipikirkan saja. Apalagi aku tidak bisa bertahan dengan cuaca panas. Sok jadi ambek-ambekan.

 

Jumat pagi. Mendengarkan lagu Waltz of Solitude – Matthew Adam. Aku berencana ikut jadwal ziarah dari tempat kerja, tapi urung karena jadi lebih memilih beres-beres. Dengan tidak adanya hujan berminggu kosanku di saung yang relatif ruang terbuka semua dan atap bilik yang sudah rapuh, debu-debu lebih cepat berserakan. Lanjut mengurus tanaman-tanamanku. Kegiatan seperti ini biasanya cukup efektif meredakan emosi ketika naik.

Juli. Tahun lalu aku menghabiskannya dengan belajar. Karena saat itu aku mendapatkan beasiswa dari EV untuk belajar bahasa inggris dengan lebih intensif. Waktu yang menyenangkan dan menantang. Sedang tahun ini, hanya tersisa menantangnya saja. Pekerjaan sampinganku berakhir pada Juni, dari itu aku mesti mencari kegiatan lain, supaya setidaknya Juli kali ini ada sesuatu yang baik yang dialami.

Keadaan di rumah juga lumayan tidak biasa, semuanya seperti sedang ‘bergerak’. Adikku sudah memasuki semester akhir diperkuliahannya. Resign dari kerjaannya di café, dia sedang menggarap penelitian untuk bahan-bahan skripsinya. Kebetulan Sebagian datanya diambil di daerah Tasik. Jadi dia pulang dan menghabiskan hampir dua minggu di rumah. Ini hal baik, karena minimal ada ‘orang’ di rumah.

: Kami punya banyak orang tua yang mesti diperhatikan.

Adikku juga punya seabreg kegiatan selain urusan kuliahnya. Aku kadang iri dengannya yang bisa menuliskan hari-harinya dengan lebih menarik. Mungkin karena dia tipikal ‘pembaca’ yang lebih baik dariku. Dan dia bisa lebih pandai ‘memulai’ untuk menulis. Ini hal paling berat, biasanya aku sok lama kalau mengumpulkan mood untuk itu. Ieu heula, itu heula. Padahal kalau sudah mulai ‘panas’ mah sok ngageleyeung. Lalu keahliannya adalah kadang bisa mentolelir untuk melakukan hal yang dia tidak senangi, hanya untuk mencari ‘bahan’.


Dari Seberang, kakakku yang di batam punya hari-hari kebimbangan yang baru dialami. Si Suhay masuk ke TK, sedang bapa dan ibunya juga mesti bekerja. Galib diurang lamun budak mimitian sakola sok dianteurkeun ku kolotna ningan. Ini mungkin jadi waktu untuk keluarga kecil mereka untuk belajar berkompromi dengan keadaan. Berumah tangga memang level kehidupan yang lain. Makanya aku tidak mau buru-buru soal ini, selain can aya picaloneuna sih. Tapi di sisi lain semua senang karena si Suhay terlihat ‘tertarik’ dengan kegiatan hari-harinya yang baru. Dia selalu rame dengan bibi-bibinya, tapi selalu malu-malu banteng setiap kali melihatku. Padahal aku yang nemani dia waktu masih orok bereum dulu, hahaha. Tapi kuakui, dari yang kulihat si Suhay ini kecerdasannya memang diatas rata-rata anak seumurannya, dan biasanya anak yang seperti ini selalu punya ‘kejutan lain’ seiring bertambah usianya nanti. Yah.. Kita lihat saja nanti.

 


Kakakku yang paling tua juga Juli ini sedang mendapat pelatihan di instansi yang namanya panjang dan ribet untuk diingat. Jadi dia akan tinggal di Cimahi sampai awal Agustus. Playlist lagu-lagu cadasnya tidak terdengar di rumah seminggu ini, membuat rumah lebih ‘damai suara’ tapi membuat suasana jadi dingin. Dia kentara mulai mengupload status hari-hari kegiatannya di sana. Berbeda dengan pelatihannya yang pertama yang membuat dia tertekan bahkan sampai sakit. Yang kali ini dia terlihat lebih enjoy. Mungkin kali ini ada efek ‘energi yang lain’ juga. Karena akhir-akhir ini dia sedang membara soal asmara, hmmeh. Dia yang ‘terkenal’ sering gonta-ganti pacar ini sekarang mulai publish bagian kehidupannya tentang itu. Cinta masih sangat mungkin untuk bermekar tanpa terikat usia haha. Yah, aku sih senang-senang saja. Karena buat kami, kebahagiaan yang didapatkan ‘dari luar’ semacam ini jatahnya memang tidak sebanyak dan mesti dicari lebih keras dari orang lain. Dan juga, diusia yang segini desire kami untuk terus belajar ternyata masih besar.

 

Balik lagi kepadaku, seperti yang kubilang diawal, tahun ini hanya menyisakan ‘menantangnya’ saja. Menyenangkannya belum kutemukan. Sistem tempat kerjaku semakin aneh, sampai guru seniorku dikeluarkan. Jadi aku akan mulai hal-hal di tempat kerja sendirian sekarang. Sudah kukatakan konsekuensinya pada ‘para petinggi’, jadi seharusnya tidak repot ngurusi itu-ini. Tapi kenyataannya tentu tidak. Awal-awal saja aku sudah ditugasi kerjaan yang bukan kerjaanku. Tempat kerjaku ini entah dengan sadar atau tidak peduli sudah melaksanakan praktek ‘stratifikasi’, sangat minim apresiasi, di sisi lain keadaanya sudah mulai kritis. Tapi orang-orang ‘atas’ masih saja acuh dan menganggap semuanya baik-baik saja. Satu-satunya alasanku di sini adalah soal tinggal amanah, jadi aku tidak bisa apa-apa selain mengerjakan yang kubisa, meski sambil mengeluh.

Juli tahun ini aku memutuskan untuk kuliah lagi. Ini sebenarnya whistlist-ku dari tahun 2021 lalu, tapi baru bisa ku-’judi’kan tahun sekarang.  Mengejar beasiswa luar negeri yang agak susah dikompromikan dengan waktu dan bekelna, kali ini aku berakhir di sekolah yang biasa-biasa saja. Bukan sekolah besar apalagi bagus sih. Tapi aku merindukan enrichment semacam ini sejak lama. Aku tidak tahu keadaan akan seperti apa nanti, biar kucoba dulu. Yang penting aku punya ‘bacaan’, hal yang kulihat, keadaan baru. Aku butuh bahan buat berimajinasi dan mengasah perasaan. Aku tidak pilih-pilih perasaan sih mau menyenangkan ataupun tidak sebenarnya tetap bisa kugunakan sebagai bahan. Tapi yah semoga yang menyenangkan.


Semester baru ini barangkali aku akan mencoba mengurangi banyak bicara. Aku susah bergaul, tapi kalau sudah bicara seringkali tidak kontrol. Lalu.. Mau ngurangi nongkrong-nongkrong tidak jelas. Hehe, ada kalimat yang agak kurang menyenangkan yang kudapat saat nongkrong minggu-minggu terakhir ini. Temanku bilang begini, “Sulit bicara dengan orang yang selalu pakai perasaan”, lalu, “Berhentilah hidup dalam imajinasi”. Aku sedikit bergumam, apakah orang-orang memang hidup tidak memakai perasaan ya ? hehe. Kuakui aku memang sedikit berlebihan menggunakannya, tapi untuk yang sudah banyak kehilangan hidup, cara itu membuat hidup jadi lebih ‘hidup’.

 

Lalu tentang imajinasi. Harapan buatku bukannya sudah tidak berlaku, tapi memang probabilitasnya lebih sedikit untuk dapat tercapai. Lalu, sebagian besar perjalanan yang nyata kualami sampai sekarang adalah berasal dari imajinasi. Meskipun seperti ujaran adikku, imajinasi buat kita akan suatu saat tercapai meskipun dalam versi ‘kecilnya’. Itu mungkin gara-gara do’a kita tidak lengkap, tidak sistematis. Tapi kukira Tuhan yang maha tahu apa yang dikereteg-kan hambanya. Jadi ketercapaian yang kudapat adalah yang barangkali mampu kuupayakan-kudapat dan kupertanggungjawabkan menurut-Nya. Kecuali kalau mau main jahat, mengambil ‘jalan pintas’ misalnya. Tapi aku malas bersih-bersihnya nanti.

 

Imajinasi buatku seperti jatah dari Tuhan. Yang bisa membawaku ke dunia yang mungkin, yang tidak ada-belum ada dalam realita. Itu bisa begitu liar. Lalu Ketika kembali sadar ke dunia nyata ini membantuku mengurai-lebih memaknai hidup yang terang redup.

 

Beberapa orang berubah bukan karena ceramah-ceramah seorang pemuka. Tapi yang lebih mudah diterima adalah dengan menggunakan sisi afeksi, emosionalnya. Tapi sayangnya hari ini tidak banyak yang menyadari dan menggunakan kekuatan besar itu dengan baik. Membayangkan menjadi seorang lain, dalam kondisi lain. Buatku, Imajinasi berperan besar dalam itu.


إِنَّ رَبَّكُمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ فِى سِتَّةِ أَيَّامٍۢ ثُمَّ ٱسْتَوَىٰ عَلَى ٱلْعَرْشِ ۖ يُدَبِّرُ ٱلْأَمْرَ ۖ مَا مِن شَفِيعٍ إِلَّا مِنۢ بَعْدِ إِذْنِهِۦ ۚ ذَٰلِكُمُ ٱللَّهُ رَبُّكُمْ فَٱعْبُدُوهُ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

"Surely your Lord is Allah Who created the heavens and the earth in six Days,1 then established Himself on the Throne, conducting every affair. None can intercede except by His permission. That is Allah—your Lord, so worship Him ˹alone˺. Will you not then be mindful?"
-Yunus : 3

"However, as it is written:'What no eye has seen, what no ear has heard, and what no human mind has conceived', the things God has prepared for those who love him"
-Corinthians 2:9

Minggu, 07 Juli 2024

Sleepless July first week


Aku tidak melihat tanda-tanda apapun pada waktu ini. Ini seharusnya menenangkan. Bahwa tidak ada yang mesti dihadapi. Tapi aku memang tidak biasa berdiam diri. Aku senang membuat sesuatu, meski aku jadi kerepotan gara-gara itu. Tapi dengan catatan : aku yang memilih untuk memulainya, lalu aku menyukainya, dan itu akan kuselesaikan. Seperti minggu ini yang membuatku banyak begadang dan merasa dikejar hal yang tidak kelihatan. Dalam waktu yang bisa kugunakan 'bebas', perasaan gelisah seperti ini membuatku bergairah untuk dapat kutemukan muaranya.


Juli 1, 2024. Bunga-bunga dari Fahrezi sudah gugur sebagian kubuang, aku pilah yang masih segar hingga tersisa satu vas. Menyalakan dupa melati dari Cep Thoriq, lalu membuat kopi hitam pahit. Akhirnya aku bisa kembali menikmati pagi hari dengan 'rasa saung' yang sudah diidamkan sejak bulan lalu.

Aku menulis highlight-highlight minggu terakhir bulan juni sampai sekitar pukul sembilan pagi. Tidak lama Lutfi mengirimkanku pesan punya beberapa Sansivera yang tidak terurus. Tentu aku memintanya, biar kutanam di saung ujarku. Aku mengambilnya ke rumah Cep Najmi. Sansivera ini benar-benar manjur membuat udara segar setiap pagi. Apalagi di saung dan kamarku yang penuh debu. Jadi, mereka ini salah satu tanaman favoritku.


Kembali ke saung, tempatku menulis sudah dipenuhi geng bapa-bapa. Ini sebenarnya jarang terjadi. Mang Cucu biasanya menerima tamunya di saung sebelahku yang memang parantina. Kali ini yang datang adalah Pa Barli, seniman lukis dan pahat asal Salopa. Jadi mereka memang berteman sejak lama saat era ke-seni rupa-an Tasik sedang bagus-bagusnya. Aku tidak mengenalinya, jadi tidak ikut nimrung, membiarkan mereka saling mengobrol karena sudah lama. Tidak boleh ada lagi minuman beralkohol diantara mereka, jadi aku menyuguhinya dengan cola haha.


Sore hari mendapat kabar duka dari Jerman, Hans-Jorg Waskowski yang akrab dipanggil Pa Wasko telah berpulang. Pa Wasko ini adalah seniman lukis dari daerah Gera-Jerman. Aku sempat mendapat workshop penggunaan cat air darinya pada tahun 2017, saat aku belum belajar bahasa Jerman, memang sayang sekali, tapi saat itu beliau ditemani koleganya yang bisa berbahasa inggris jadi dia membantunya. Itu sudah lama sekali..

Malam. Aku pergi lagi ke rumah a Izoel untuk melanjutkan proses rekaman garapan musikalisasi puisiku yang baru. Memang sangat berbeda sekali dengan rekaman yang biasa dan sederhana kulakukan.


Rekaman yang dikerjakan a Izoel ini jauh lebih kompleks. Aku sebenarnya meminta a Izoel untuk membuatkan guide-nya saja, biar nanti aku yang ngefill vokal dan biolanya di saung jika diperlukan. Yah.. Aku tidak sabar menunggu hasilnya. Aku pulang ke saung pukul dua pagi, lalu beristirahat.

Juli 3, 2024. Guide kasar lagu yang dibuat a Izoel sudah selesai. Aku ngefill vocal seharian. Ini membuatku pusing. Sebabnya, pertama aku bukan penyanyi, lalu gaya nyanyiku yang ngaheos yang boros renghap. Sempat mengambil jeda beberapa kali, akhirnya selesai saat menuju petang.


Aku mandi untuk menyegarkan tubuh dan pikiran. Tapi teu jadi seger. Bu Yani Yulia, guru kimia-ku, wali kelasku saat SMA menelponku setelah maghrib. Aku kira ada apa, setelah menanyakan soal kabarku beliau menanyakanku soal pernikahan. Bu Yani khawatir melihatku tidak begitu 'tertarik' soal pernikahan, dan memang ku-iyakan. Pernikahan, untuk orang sepertiku tidak pernah 'sederhana'. Kehidupanku yang sekarang cukup menyulitkanku sendiri. Aku tidak mau jika sampai membagi ini kepada seorang lain. Kalau soal kesepian, saat ini aku masih bisa mengatasinya dengan banyak hal dan kesibukan meski entah sampai kapan.Yah, kita lihat saja nanti. Masih ada hal yang masih harus kukejar dan kuselesaikan. Tapi bagaimanapun aku tetap berterimakasih pada Bu Yani, atau siapapun itu. Perhatian semacam ini buatku sudah semacam kasih sayang, meski tanpa solusi. Aku masih mau kok menerimanya, dengan senang hati.


Petikan melodi ending lagu yang dibuat a Izoel terngiang-ngiang di kepalaku. Aku sampai mencoba memainkannya dengan keyboard saat jeda merekam vokal malam hari sebelum istirahat..


Juli 4, 2024. Hujan seharian. Aku mesti menembusnya untuk menghadiri pernikahan Arya & Lilis. Arya ini adik kelasku saat SMA, Lilis ini akanya Ajengan Dodo Ahmad Syuhada, guru semua orang di Cipasung. Selain waktuku senggang, keduanya orang-orang baik, jadi tidak ada alasan untukku untuk tidak datang. 


Sore hari, Firmansjah Imong berkunjung ke saung membantuku ngefill interlude lagu dengan flute-nya.


Bagian tengah lagu yang menjadi jembatan ke chorus kedua.


Juli 5, 2024. Kembali ke Amizoe Creatone studio. Guide lagu ada yang harus diperbaiki. Sekalian nganterin 'sogokan' yang tidak seberapa. Rekaman begini tidak murah, dan aku tahu sendiri bagaimana repotnya. Dan A Izoel kenan membantu, jadi ini pertolongan besar buatku.


Kukira guide-nya diputuskan selesai. Kami berfoto di depan studio-nya sebelum aku pulang karena awan sudah mulai gelap. Sebenarnya masih ada yang ingin kuperbaiki, tapi aku sudah segan memintanya membantu lagi. Segini juga sudah nuhun pisan. 


Ini waktu liburan yang aneh. Kepalaku malah tidak berhenti bekerja, telingaku sudah giung milah suara. Dikirimi Latte dari pacarnya si Iyan, aku tidak mau malam hari terbuang sia-sia. Aku mencoba ngefill biola dan anehnya, aku nyoba bermain sulit sekali kali ini bahkan menghabiskan puluhan take yang akhirnya selesai meski tidak begitu bagus.


Pada akhirnya aku mesti berhenti dulu pukul dua malam karena senar biolaku putus. Dipikir-pikir, biolaku bekerja sejak lebih dua bulan lalu tanpa aku memberikan 'perhatian' padanya juga. Akhirnya aku meminta maaf karena memaksanya bekerja sampai dia memberikan 'tanda-tanda' kelelahan. Padaku dan padanya.


Juli 6, 2024. Setelah begadang, aku nyelang ke nikahan Iqbal Ahmad Nugraha yang biasa dipanggil Ewok di Sanggar Harsa. Aku berangkat bersama Wildan, Azmi, dan si Neng.


Malam hari, Fiu mengirimkan artwork-nya. Gambar saung yang biasa kutempati dengan perspektifnya. Tempat ini lebih dari sekedar Home Living Studio buatku. Aku bisa melakukan kekaryaan apapun, menerima tamu teman-temanku di sini dengan biaya kos yang sangat murah. Orang-orang menyangka ini adalah rumahku, tapi sebenarnya bukan. Aku dulu diizinkan almarhum Ma Haji untuk menempati satu kamar di belakang. Tapi keadaan sekarang membuatku mengurus semua rumah bagian belakangnya.


Juli 7, 2024. Sejujurnya aku ingin menggunakan hari ini untuk beristirahat. Tapi aku tidak bisa menolak permintaan Bu Yeni Rahayu, tetangga ibuku, juga guruku saat SMA yang menikahkan anaknya de Andi yang ternyata menjadi temanku saat kita sama-sama SMA. Jadi aku membantu 'meramaikan' prosesi pernikahannya dengan Pa Rais dan teman-teman Sanggar Kobong. Yah.. Yang bisa kulakukan hanya sebatas ini sih..


Kabar bahagia lain datang malam hari, Yudi Guntara & Neng Mela Putri resmi bertunangan. Mereka memang kentara sudah bersama sejak lama. Selain itu mereka memang sudah sangat cocok dalam banyak hal, pemain kecapi handal dan sinden bersuara merdu. Mereka berencana menikah pada bulan Desember yang akan datang.

-

Hari-hari bergantian. Sebenarnya banyak hal yang kukerjakan, dan kukira tidak ada hal tidak baik selain mengabaikan banyak pesan-pesan whatsapp yang masuk, mohon maaf untuk itu. Kerujitan hari-hariku cukup dengan hal yang ingin kerjakan saja sekarang. Tidak perlu menghadapi hal yang 'setengah nyata' yang perlu kukonfirmasi untuk menjadi 'nyata'. Lagipula ini waktu jeda liburan. Jadi.. Aku ingin menggunakan waktuku untuk diri sendiri dulu. Karena ada juga yang mesti diselesaikan dalam kepalaku.

قُلْ أَؤُنَبِّئُكُم بِخَيْرٍۢ مِّن ذَٰلِكُمْ ۚ لِلَّذِينَ ٱتَّقَوْا۟ عِندَ رَبِّهِمْ جَنَّـٰتٌۭ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَـٰرُ خَـٰلِدِينَ فِيهَا وَأَزْوَٰجٌۭ مُّطَهَّرَةٌۭ وَرِضْوَٰنٌۭ مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ بَصِيرٌۢ بِٱلْعِبَادِ

"Say, ˹O Prophet,˺ “Shall I inform you of what is better than ˹all of˺ this? Those mindful ˹of Allah˺ will have Gardens with their Lord under which rivers flow, to stay there forever, and pure spouses,1 along with Allah’s pleasure.” And Allah is All-Seeing of ˹His˺ servants,"

-'Ali-Imran : 15

"Come to me, all you who are weary and burdened, and I will give you rest."

-Matthew 11:28