-Mira
Sabtu. Juli 27, 2024. Universitas Islam KH. Ruhiat-Cipasung membawakan pertunjukan teater dengan salah satu naskah terbaik Utuy Tatang Sontani, Awal dan Mira. Sengaja mengosongkan jadwal ditanggal ini, hadir sebagai undangan, aku menonton pada sesi dua selepas isya.
Tidak dengan tiba-tiba. Pasalnya aku secara pribadi tahu sepak terjang Sanggar Harsa ini. Semula sebagai kegiatan ‘underground’ dengan nama Komunitas Ngampar. Karena kegiatan mereka berada dipinggir masjid dengan cara ngampar. Dengan keterbatasan sumber daya dan ‘birokrasi’, saat itu mereka lebih konsen pada wilayah sastra karena lebih minim resiko, teknis dan pembiayaan, semua bergerak hanya karena tulus cinta. Penyair-penyair muda (saat itu, sekarang mulai tua) seperti Romli Burhani, Galih M. Rosyadi, Zulfi Rosdiani, Laila Nurbarkah, musisi Hasan Asyari, pelukis Muhammad Muhib Ruslan juga Filsuf Jajang Indra lahir di sana. Barangkali itu hanya sederet nama yang kukenal, masih banyak lainnya.
Sedari awal, aku yang memang ‘orang luar’ hanya ikut-ikutan saja mencari ‘penghidupan’. Selama itu berkaitan dengan proses kreatif, aku menyenangi itu. Karena saat itu tempat yang menawarkan hal seperti ini, disini, masih sangat terbatas. Waktu berjalan, namanya berubah menjadi Sanggar Harsa yang berarti kebahagiaan ini mulai terlihat cahayanya, memasuki berbagai jenis seni, melahirkan regenerasi.
Separuh tidak percaya. ‘Giroh’ kesenian khususnya kali ini teater di Kabupaten Tasikmalaya disulut oleh para mahasiswa Universitas ‘Islam’. Sanggar Harsa mendobrak pintu Gedung Kesenian Tasikmalaya dengan perdana. Beberapa mahasiswa-mahasiswa yang seringkali dipandang sebelah mata dan sering ‘buron’ ini membanggakan kampusnya dengan ‘jalan lain’. Sangat mengisi energi, dan membanggakan. Seperti yang dikatakan pa Ahyan Hairu Tamam, kampus ini sekarang mulai hidup di semua lini. Keagamaan, keilmuan juga kesenian. Semoga ini juga bisa menyadarkan bahwa di sini ada banyak jenis-jenis ‘kecerdasan lain’ yang mesti diwadahi.
Lalu, agak malu. Karena jadinya ikut merepotkan numpang main
di ‘kota’ (terimakasih, ya !). Kabupaten tidak punya sarana memadai untuk hal
semacam ini, malah banyak gedung yang tidak jelas fungsinya, tidak tahu juga
orangnya ada atau tidak di dalamnya. Lalu katanya sih baru-baru ini ulang tahun,
tidak ada salahnya padahal memberi ‘kado’ pada diri sendiri semisal dengan
membuat sarana-sarana publik seperti GKT ini. Oh yaa, sekalian, Kabupaten juga
tidak punya perpustakaan yang proper, aya kur sagéwok, eta gé teu
weléh
dipundah-pindahkeun buhahahah.
-Mira
Utuy Tatang Sontani memang menyebalkan buatku pribadi yang anak kemarin sore. Utuy mempunyai mata yang sangat bagus yang melihat realitas dengan berbagai arah. Interpretasi naskahnya bisa jadi bermacam-macam. Pura-pura menuliskan naskah percintaan tapi isinya peperangan. Awal dan Mira, yang terlihat olehku adalah pergolakan dua hal yang berkebalikan. Bisa jadi keadaan, ideologis, dan mungkin lainnya yang memiliki keinginan bersatu-bersama. Adegan dihancurkannya warung kopi Mira oleh Awal ini juga bisa jadi sebagai simbol tindakan pemberontakan tokoh Awal untuk meruntuhkan ‘penghalang’ diantara keduanya yang pada akhirnya tetap tidak bisa. Pengrusakan kadang dibutuhkan untuk pembuktian : Tidak bisa semuanya bahagia. Menyedihkan memang.
Entah apa sebab pemilihan naskah ini oleh Sanggar Harsa. Bisa jadi arahan sutradara, atau barangkali, mereka menemukan relevansi naskah ini dengan keadaan mereka ‘sekarang’.
Pada diskusi sesi kedua selepas pementasan yang kebanyakan dihadiri seniman-budayawan, banyak kritik yang dilontarkan terkait teknis jalannya pementasan yang bisa membangun untuk perbaikan-perbaikan kedepannya. Jika diibaratkan, barangkali pementasan ini adalah seperti seorang anak yang baru bisa berjalan, mereka sangat antusias untuk ngaléngkah, tapi masih seredeug. Tapi lepas dari apapun, untukku yang hanya penikmat, pementasan perdana teater Sanggar Harsa di Gedung Kesenian ini sangat menyenangkan. Hal seperti ini mestilah dilanjutkan.
Pementasan teater ini juga tiba-tiba menjadi tempat silaturahmi. Aku ketemu banyak orang dari waktu-waktu lalu. Jabo Widyanto, Kido, Pongkir Wijaya, Andy Otot, Orock Kapas, Ria Arista Budhiarti, Murti Widyaningsih, Alexandreia Indri Wibawa, dan masih banyak lagi.
Beberapa dari aktor dan tim pementasan ini adalah mahasiswa yang dulu saat SMA pernah berada di kelasku. Wawan Baswara Kurniawan misalnya. Anak ini dulu kukenal berandal dan ‘kosong’ soal kesenian. Hanya berselang beberapa tahun setelah lulus SMA, tiba-tiba dia sudah menjadi guru ekskul seni, aktor, musisi, pimpro. Melihat mereka di panggung besar seperti ini sangat membahagiakan. Mereka berkembang dengan baik, bahkan melebihiku !
Abdul Ijaz, dulu kukenal sebagai seorang introvert di kelas, tapi sudah kelihatan potensi dan ketertarikannya pada keaktorannya sejak berkecimpung di sanggar. Dua kali sebagai main actor, yang pertama sebagai Suminta pada naskah Sayang Ada Orang Lain, kini Ijaz berperan sebagai Awal. Akting yang mengesankan !
Diantara Wawan dan Syaiful Ghifari yang akrab dipanggil ‘Ju’. Seorang yang eksentrik dan ‘rada-rada’. Berkuliah di UIN Bandung, Ju juga adalah seorang actor yang mengerikan aktingnya di Teater Awal-UIN Bandung.
Firman Imong juga hadir sebagai apresiator. Pemain suling Sunda ini menuturkan bahwa ini pertama kalinya dia menonton teater. Dan dia menyukainya !
Azmi Lagos Alfirano. Kendati bukan mahasiswa UNIK, sebagai penunggu saung Suryashvara, dia ikut berpartisipasi berperan sebagai kerabat pentas Sanggar Harsa kali ini. Bridging actor yang dengan keahliannya memberi sentuhan akting komedi, pementasan kali jadi lebih ‘kena’ pada adegan sisi ini dituturkan oleh Irma Normalia, salah satu penonton undangan senior yang hadir. Semua apresiator tidak ada yang tidak melepaskan tawa.
Ai Siti Mardiyah yang lebih akrab dipanggil ‘Kerang’. Kalau yang ini aktor Teater 28 UNSIL. Kami saling mengenal cukup lama tapi hanya dari media sosial. Kali ini kami bertemu dengan nyata. Influencer, tutor bahasa inggris ini memang cerdas, sangat kelihatan dari pertemuan pertama.
Apresiasi untuk semua unsur tim produksi dan tim artistik. Para aktor, sutradara, juga Pa Imam Muhtadi, teman baruku dua tahun ke belakang ini sebagai Pembina sanggar Harsa. Aku sangat tahu kesulitan yang dihadapi teman-teman semua saat berproses untuk pementasan ini ! Terimakasih pada kerabat pentas Teater 28 UNSIL, juga semua sponsor dan pihak-pihak yang kenan memberikan ‘kanyaahna’, membantu tumbuhnya proses para mahasiswa ini. Semoga pementasan ini menjadi awal untuk kekaryaan Sanggar Harsa kedepannya, tabik !
Selamat !