Excerpt from the other sight Time has wonderful way of showing us what really matters

Rabu, 31 Januari 2024

Excerpt from these first month

Sebenarnya aku terpikir untuk menuliskan sesuatu yang lain, sudah seperempatnya. Tapi kukira harus kusimpan dulu karena aku ingin memastikan apakah tulisan itu akan masih dirasakan jika 'kubiarkan' sedikit agak lama. Aku masih menunggu itu.

Sebagai gantinya, aku tetap harus menuliskan yang lain. Jadi seperti biasa aku akan menuliskan hal-hal yang ditemukan beberapa hari ke belakang di bulan pertama tahun 2024 ini.

Januari 7, 2024. Aku masih di ruangan tempat bekerja sampai lewat sore. Aku berencana untuk mengecat pintu supaya terlihat seperti pintu zaman medieval. Tapi diurungkan dulu karena aku merasa ini agak berlebihan. Lewat petang, aku dijajani roti oleh 'anak lain'-nya si Ibu. Sejak mereka pindah rumah, aku jadi jarang bertemu dengan mereka. Yang satu sedang menempuh pendidikan master, yang satu baru masuk kuliah. Bocah-bocah ini tiba-tiba sudah sebesar ini dan sudah diizinkan 'keluar' malam. Yah.. Karena aku tahu ibu mereka agak réwél sih.

Januari 8, 2024. Mendapatkan oleh-oleh dari Pekanbaru. Seorang anak perempuan ini pernah sengaja menemuiku hanya untuk mengobrol.

Januari 10, 2024. Aku menghadiri seminar bertema 'politik' untuk pertama kalinya. Dan ini hanya karena Diwan Masnawi sebagai pembicaranya.

Mulai menggarap musikalisasi puisi baru untuk keperluan pentas di 70 tahun Yudhistira bulan Februari mendatang. Ini agak membuatku stress, pasalnya agak lama juga sejak aku mengerjakan hal seperti ini, selain itu aku akan berkolaborasi dengan Gema Isyak dari Solo dan teman-teman lain yang tidak aku kenali dan mereka semua lebih proper soal musik daripadaku. Aku mengalami kebuntuan penciptaan. Dari itu aku meminta bantuan Wawan Kurniawan untuk menemani. Kami menemukan beberapa melodi setelahnya, tapi belum paten semua. Ini akan menyita waktu Januari-Februari ku, tapi aku cukup tertantang dengan ini.

Hagoromo, Wawan dan Tacube terjebak hujan di saung sampai usai petang.

Januari 12, 2024. Aku dimintai Pa Asep untuk mengisi kelas coaching vokal dalam kegiatan Out Class Learning di SMAN 1 Cisayong, sekolah Pa Asep yang baru pasca pemindahan tugas dari Cipasung. Teman-teman lain juga ikut mengisi kelas. Nadia Nurazizah untuk kelas Tari, Wawan Kurniawan untuk kelas Teater, dan Mela Putri untuk kelas vokal. Semuanya adalah murid Pa Asep, itu berarti Pa Asep begitu berhasil mendidik kami semua. Hanya dalam setengah semester di sekolahnya yang baru, Pa Asep sudah terlihat In-Charge. Dan aku merasa reugreug dengan itu. Kompetensi tinggi Pa Asep dihargai dengan tinggi di tempatnya yang baru.

Di hari yang sama, Wa Ubed mengizinkanku untuk mengambil beberapa stek tanamannya di taman belakangnya. Aku mengambil banyak Tradescantia.

Januari 13, 2024. Shiva, gitarku minta jatah jajan. Akhirnya aku membelikannya satu set senar dan bridge pin supaya dia terdengar merdu dan terlihat lebih tampan. Bukan karena iseng jajan, Aku akan menggarap musikalisasi yang baru. Jadi ini pasti dibutuhkan karena aku pasti nantinya akan membuat sampel lagu untuk dikirimkan. Shiva banyak cidera di bagian body karena pernah jadi gitar 'liar'. Sekarang, demi kesehatannya, aku tidak lagi membiarkannya jatuh di sembarang tangan.


Januari 14, 2024. Hari itu sesuai yang direncanakan atas permintaan Hagoromo, Pt. yang mengajakku untuk ke Galunggung. Kami jadi berangkat berlima ditambah KH. Thoriq Aziz, Azmi Smith Lagos dan Tacub.


Potret tiga gondrong


Sepulangnya kami ke rumah Diwan Masnawi untuk membuat dan memakan cimol bersama. Kami sempat ditertawakan orang rumah Diwan karena kami para pemuda malah senang 'papasakan' haha..


Januari 16, 2024. Ada burung lovebird yang datang ke ruanganku dan terjebak. Akhirnya aku bawa dia ke rumah dan dipelihara oleh Mang Udi.




Januari 22, 2024. Aku sengaja pulang dari Bandung hanya untuk mengurusi pengajian Rajaban di kampung. Padahal biasanya 3 hari adalah paling sebentar aku bepergian, apalagi jika sudah di Bandung. Tapi yah.. Hal seperti inilah yang biasa dan bisa kulakukan, belum ada orang yang mau 'menggantikan' kerjaan seperti ini di Kampung. Aku tidak bisa bermanfaat banyak untuk masyarakat sih.. Jadi aku ngerjai hal seperti ini saja.



Januari 24, 2024. Tidak ada hal yang istimewa, hanya hari kamis biasa. Seperti biasa aku bergantian (saha wé nu salse) menjemput Uwa untuk pengajian tahlil keluarga yang sekarang ini paling banyak hanya bertujuh. Aku dan Uwa berhenti dulu di tempat jualan gorengan Mang Dodo untuk sajian makanan setelah tahlil. 


Januari 25, 2024. KH. Baban Sohibul Wafa, pimpinan ponpes Suryalaya wafat.


Aku bertemu beliau hanya sekali, di penghujung tahun lalu tanggal 21 Desember 2023 bersama-sama Acep Zamzam Noor dan tim saat Safari Sastra di IAILM Suryalaya. Usia-Waktu, tidak ada seorangpun yang tahu.


Januari 26, 2024. Nida Nadzifa dibawa Wawan ke saung untuk take vokal musikalisasi puisi terbaru Gayatri yang berjudul "Rindu Seperti Maut". Aku tidak punya banyak kenalan vokalis yang menurutku pas untuk lagu-laguku selain St. Choriya, Cuneng Hujan dan Michelle Yuditha. Tapi warna uara wanoja ini sudah menarik perhatian sejak pertama bertemu ketika dia masih siswa SMA. Kendati perawakannya yang kecil, Nida Nadzifa mempunyai leveling tone rendah yang mengerikan. Selain itu dia mahir membagi suara, jadi ini memudahkanku ketika mesti membuat format rekaman duet.

Januari 27, 2024. Aku memixing dan memastering rekaman musikalisasi puisi terbaru. Kukira ini porsi segini lumayan cukup. Aku menggunakan gambar watercolorku yang terakhir untuk albumart single terbaru ini.

Hari ini aku juga mengerjakan cover untuk buku puisi terbaru Yudhistira ANM Massardi. Ini membuatku bekerja sampai petang. Tapi lumayan.. Minimal hariku tidak sia-sia. Dan aku senang desain yang kubuat ini meski sederhana tapi 'dipakai' Pa Yudhis.

Januari 28, 2024. Aku mendapat kabar dari Omah bahwa Dr. Hanna Raben sedang dalam keadaan koma sejak hari rabu lalu gara-gara terjatuh dan beliau belum sadar. Omah memintaku mendoakan Dr. Hanna supaya apapun keadaan yang akan terjadi semoga memberi kebaikan.. Aku mengirimkan pada Kak Alice, puterinya salah satu teman gerejaku. Memberinya semangat tentang keadaan yang sedang terjadi. Dr. Hanna adalah seorang yang baik untukku, sangat ramah, pun saat aku pertama kali berkeliaran di gereja. Dr. Hanna tahu bahwa aku seorang muslim, dan itu tidak membuatnya 'menaruh jarak' dan perhatian, bahkan dia juga baik pada adikku yang sekarang lebih banyak dam sering berkenaan di lingkungan IES.


Januari 31, 2024. Menghadiri bedah buku "The Myth of The Lazy Native" Karya Syed Hussein Alatas oleh Muhammad Ahalla Tsauro atas permintaan Diwan Masnawi.

Pengajian tidak biasa. Aku biasanya tidak begitu sreg soal sejarah secara 'akademis', karena kukira rasanya beberapa tahun terakhir  ini sejarah buatku agak terasa menyakitkan *eaaaaaa 🤣

Tapi pembawaan Jengan Ashalla putera salah satu kyai besar lulusan National University of Singapore ini membuatku tertarik sampai rasanya aku tidak merasa ini bagian dari pembelajaran sejarah. Perspektif berbeda tentang pemilihan prilaku resistence, kolonialisme, eurosentris, orientalis, dikotomi, separatisme, peta besar dan banyak lainnya. Memperkaya diri.

Nu pinter, soleh dan bageur. Ternyata masih aya, masih aya. Dan Kukira Diwan Masnawi mesti menghadirkan lebih banyak figur-figur muda berkualitas seperti Gus Ashalla ini. Hari terakhir di bulan pertama di tahun 2024, bergizi !

-

Memasuki Februari 2024, aku harap aku dapat menemukan waktu-waktu, peristiwa yang lebih menarik !






Minggu, 28 Januari 2024

A step that written by writings

Salah satu kesulitan adalah menyediakan waktu untuk 'sengaja' menulis. Seharusnya memang dijadwalkan. Menulis buatku salah satu hal menyenangkan, bukan soal tulisannya, tapi menggunakannya sebagai pengingat.

Waktu yang berjalan murudul membuatku sulit buat sekedar menyempatkan menulis catatan. Menyambung hidup dengan kewajiban-kewajiban lain, makanya aku selalu 'nanggung' dengan subyek yang kukonsentrasikan -tidak baik.

Masalahnya karena selalu ada perbedaan perasaan ketika 'kekuatan' menulis saat ingatan dan ruh dari waktu yang dilewati masih ada dengan ketika 'menyimpannya' agak lama. Yah meskipun keduanya punya nilai lebih dan kurangnya masing-masing. Menulis spontan sangat kunikmati karena energi perasaannya dapat secara otomatis 'menyetir' kita, sedang jika diendapkan kita bisa mengingat setiap detail, tapi mesti melihat ke dalam dengan 'agak keras'. Keduanya kadang bergantian kulakukan.

Panggilan kedatangan

Safari Sastra Yudhistira ke lima dengan tajuk "Puisi Gugat Politisi". Kali ini aku sebagai bagian dari tim tidak serta ikut sebagai tim musik, sebagai gantinya aku bertugas 'ngabadal' pa Taufik Abrie untuk menulis reportase. Panggung ke lima bertempat di Perpustakan Ajip Rosidi di Bandung. Aku diminta Pa Yudhis untuk membantu. Jadi dia cover semua akomodasi perjalanan untukku kecuali soal tempat menginap, karena cuma sehari saja, dan Bandung relatif tidak terlalu jauh dari Tasik (jauh ogé sih sebenerna hehe).

Dua malam sebelumnya, Wawan dan Rijal membantuku menggarap musikalisasi puisi yang baru. Aku yang kurang referensi sekarang lebih sering butuh bantuan. Dan mengajak mereka ini tentu bukan tanpa alasan, mereka masih bersedia berproses dengan bahagia, bukan dengan 'sabaraha'. Dan kukira begitulah kreasi digunakan semestinya.



Kukira, mereka berdua sudah berkembang, mungkin setara bahkan melebihiku soal musikalitas. Wawan mendapat 'hook' pada satu bait verse pertama, jadi kami terus mengejarnya sampai alur lagu ditemukan. Merekamnya secara mentah sebagai guide supaya kami aman mengingatnya sebelum kami take recording dengan lebih baik.

Sabtu. Januari 20, 2024. Aku berangkat ke Bandung dengan bis. Budiman adalah yang paling aman setelah kehabisan tiket kereta. Aku diantar Wawan sampai terminal.



Bisku berangkat pukul 14.00, dan itu berarti aku akan sampai bandung sekitar petang. Diperjalanan, aku biasa mendengarkan musik atau membaca buku, menyelang rasa kantuk. Buku yang sedang (dan masih) kubaca kali ini adalah buku cerita-cerita pendek Anne Frank yang luput dari media besar. Berbahasa inggris, pemberian dari Omah Rosemarie tahun lalu.

Benar saja, aku sampai ke Bandung pada pukul 17.30. Aku bisa saja seperti biasa nginap di rumah Omah di Ciumbuleuit, tapi jika lewat petang mereka biasanya sudah istirahat, dan mereka pasti akan 'menyiapkan' segalanya untuk kedatanganku. Jadi aku tidak mau merepotkan mereka. Selain itu, di rumah Omah tidak boleh dan tidak bisa merokok hehe. Jadi aku memilih untuk 'merepotkan' teman lama, M. Rofi'u Darojat. Teman satu almamater dulu yang sudah jadi praktisi seni di Bandung. Biasa dipanggil Fiu, dia bahkan menjemputku ke terminal bis. Agak aneh belakangan ini, lewat petang langit masih cerah, dan gelap mulai datang pada sekitar pukul 18.30, aku merasa langit di sini seperti di luar negeri yang biasanya gelap mulai pukul 20 malam. Tapi ini pemandangan terbaik yang kubutuhkan setelah duduk lama di perjalanan.

Fiu tinggal di Balebat, Setyabudi. Tidak jauh dari Universitas Pendidikan Indonesia. Aku jadi mengingat perjalanan pertamaku ke Bandung bersama kakak perempuanku karena kami dulu menginap di sekitaran Gegerkalong. Tidak lama setelah sampai, pacarnya Fiu, Shalza berkunjung juga dikosan. Nah, mereka ini punya musik duet bernama Fuise yang core-nya adalah puisi-puisi Fiu. Tapi setelah beberapa waktu Fuise berubah menjadi format Band. Gaya musik mereka asik juga, daya orang kota memang berbeda (dan karena mereka lebih proper pengetahuan musiknya) mereka lebih produktif daripadaku sendiri. Dalam kurun waktu ini mereka sudah merampungkan beberapa lagu.

Kosan Fiu adalah kamar produksi musik, banyak sekali alat musik dan perangkat rekaman. Gara-gara ini aku malah impulsif 'ngefill' bagian bass pada guide lagu yang kugarap bersama Wawan dan Rijal. Aku ngoprék sampai pukul 2.30 pagi. Balébat memang kadang merubah siang menjadi malam. Tapi harus kuputuskan istirahat karena tujuanku datang adalah untuk acara keesokan harinya.




The art of urban slow-living.
Kehidupan rutinku di kampung yang tidak mencerminkan suasana kampung, semua dimulai sejak fajar. Tapi tidak dirasakan 'kesalséan' yang tercermin dari kehidupan kampung yang sering diceritakan. Ini makanya aku senang melakukan perjalanan. Menjadi seorang lain, dengan identitas lain. Melepaskan subyek-subyek yang 'tersemat' di kehidupanku yang sebenarnya. Bangun tidur siang rasanya sudah lama sekali untukku. Di Balebat, terbangun jam 10 pagi gara-gara hujan besar, kamar Fiu punya jendela yang menyuguhkan hehijauan yang 'cukup' untuk menyegarkan mata dipagi hari. Udara di daerah Setiabudi memang lebih dingin, dan ini sangat mengundang untuk berleha-leha.

Kesan pertama yang kudapat dari paviliun Balebat. Ruang utama yang langsung menyambut kedatangan, ini membuatku teringat suatu tempat di Vilnius.

Balebat paviliun ukurannya lumayan besar. Dan ruangan-ruangan tersambung dengan lorong-lorong tinggi yang menggunakan cahaya.

Ada beberapa kucing dan satu anjing yang sengaja dipelihara di sini.

Salah satu teman Fiu mulai bekerja jam 11 pagi. Dan dia mengatakan, "mumpung masih pagi, perasaan masih baik untuk mengerjakan sesuatu". Pukul 11 pagi ? Hehe.. Ini mungkin normal untuk mereka yang tinggal di sana. Buatku ini sangat siang sekali, pukul 11 sudah kugunakan untuk jeda istirahat jika di kampung.

Sesuai tujuanku ke sini untuk meliput Safari Sastra Yudhistira #V. Pukul 12, menuju perpustakaan Ajip Rosidi di Jl. Garut no. 02, Bandung. Setengah jam perjalanan, dan orang-orang sudah berkumpul di kedai Jante, kedai kafe di pinggir perpus. Yudhistira, Iman Soleh, Hawe Setiawan, Candra Wardani, Yuka Mandiri dan juga beberapa yang tidak kukenali mengobrol ringan sebagai pembukaan sebelum acara dimulai.

Renny & Yudhis. Sahabat lama, mereka pernah sama-sama aktif di Teater Bulungan Jakarta Selatan. Teater yang banyak melahirkan aktor-aktor kawakan pada masa itu. Diusia mereka sekarang, mereka masih punya spirit besar untuk menyebarkan kebaikan dengan menggunakan kesenian sebagai mediumnya. Ini friendship goal buatku. Kadang, aku juga ingin punya pertemanan yang bisa bertahan sampai ke tahap ini.

Hawe Setiawan, sastrawan-budayawan, dosen Universitas Pasundan sebagai fasilitator memberikan sambutan.

Yudhistira menceritakan sedikit tentang gagasan dilakukannya Safari Sastra ini. Terkait dengan keadaan politik Indonesia sekarang, sebagai penyair yang merasa gelisah. Puisi mesti digunakan sebagai media sebagai 'pencerah'. "Ketamakan bangsa ini sudah sangat memprihatinkan, dan harus ada orang yang menghentikannya.



Renny Djajoesman, aktor teater-penyanyi rock legendaris Indonesia itu selalu punya kejutan pada repertoar yang membuat audiens memberikan perhatiannya.

Yuka Mandiri, putri Renny Djajoesman dari pernikahannya dengan Putu Wijaya. Ini seperti reinkarnasi, suara dan power Yuka diwarisi sekali dari ibunya. Yuka juga adalah seorang aktor teater senior di Jakarta.

Kucing perpus yang ikut menjadi audiens.

Tata, putri Yuka-cucu Renny Djajoesman. Yang nampak malu-malu naik, tapi bagaimanapun kami semua tahu dia menahan 'jiwa kesenimanannya' karena ditodong sang nenek yang dipanggilnya Tini untuk naik panggung.

Acara selesai, barangkali audiens kali ini tidak terlalu banyak. Tapi mereka semua bukan orang-orang biasa. Panggung Bandung kali ini diisi oleh seniman-seniman senior yang ikut berpartisipasi membacakan puisi-puisi Yudhistira. Iman Soleh misalnya, belliau membacakan puisi dengan pembawaan teaternya yang khas. Lalu Hawe Setiawan yang secara spontan mebaca-menerjemahkan puisi Yudhistira ke dalam Basa Sunda.

Aku dan Balebatians, Fiu-Shalza-satu lagi aku lupa, kami berpisah di sini. Aku mesti ke Jalan Braga untuk menyusul pa Yudhis karena Bu Siska tidak ikut, jadi tugasku menemani sisa waktunya sampai petang. Selain itu aku juga mesti nengok adikku juga mumpung ke sini.

Kami berkumpul di Simpul Space. Lebih banyak mengobrol tentang progres masing-masing. Kami sedang menyiapkan acara pada 28 Februari mendatang untuk 70 tahun Yudhistira. Akan ada peluncuran buku antologi puisi barunya, dan akua akan ikut serta sebagai salah satu pengisi acara.

Berjalan-jalan di Braga usai makan malam yang dipercepat.

Foto bersama terakhir sebelum kami pisah dan pulang. Tulisan bapa ini dulu pernah kubaca saat aku usia SMA. Dan dengan entah, sekarang kami jadi sering bepergian bersama.

Pukul 17 sore aku sudah berada di stasiun untuk kembali ke Tasik.

Ini barangkali perjalanan paling singkat, aku terasa gurung gusuh. Sebenarnya perjalanannya kunikmati, hanya semua rasanya terlalu cepat saja.

Di kereta, aku malah ketemu Empal. Salah satu asuhan Pa Yudhis yang tahun lalu kami bertemu di Solo.

22.30, aku sudah berada di Tasik. Dan besoknya harus kembali kepada realita.