Sabtu, 06 Januari 2024

We can't deny : That words are just not enough.


Tawaran 'perayaan' masih banyak yang tersisa. Tapi aku memilih untuk belum mau kemana-mana. Meski seringkali mudah merasa sepi, tapi kadang aku tidak mau bertemu siapa-siapa. Keramaian sama sekali bukan solusi. Dan hehe, aku masih berutopia untuk mendapatkan pertemuan yang romantik. Sebenarnya Aku sendiri lumayan kerepotan dengan sikapku ini-tidak baik.


Januari 4, 2024. Kamis, langit cerah pada pagi. Kuisi dengan sedikit membaca dan menulis. Tapi udara terasa gerah sampai pukul sepuluh, barangkali pertanda kedatangan politisi ke kampung tetangga, lalu cuaca mendung, dan hujan turun dengan deras saat mulai menuju pertengahan hari tepat sepulangnya. Alam seketika membersihkan udara dari ilusi omongan dan janji-janji manis mereka.

Pertemuan kali ini adalah pengecualian, karena sudah jauh-jauh hari direncanakan, aku akan berkunjung ke rumah salah satu kenalan yang lama tidak bertemu berbulan-bulan. Rencana awalnya adalah sehabis natal, tapi tidak bisa, karena aku mesti membantu Diwan Masnawi tentang Jauns Solis-nya. Jadilah hari ini aku pergi menemui teh Indri.


Alexandria Indri Wibawa, pelukis, penulis dan seorang notaris berparas antagonis (untuk beberapa, untukku sih tidak, karena dia baik bangeeet, belum pernah kena api kemarahannya). Untuk seorang anak yang culangung, Teh Indri tidak pernah mengomentari 'gayaku' berteman dengannya. Padahal di kalangannya dia sangat dihormati sesuai dengan namanya, ber-wibawa. Saling kenal cukup lama membuat kami tidak berjarak untuk membicarakan semuanya.


Aku tidak ada masalah pergi sendirian sebenarnya, tapi aku ingat Jajang Indra yang akrab dipanggil MJ (bukan Mary Jane) berkata padaku sesekali ingin diajak jika hendak menemui teh Indri. Akhirnya kami berangkat berdua, menuju Sindangkasih menembus hujan yang tak kunjung reda dari Singaparna.

Kembali ke Sindangkasih. Aku melewati jalan yang dulu pernah kusinggahi dengan seseorang-juga keluarganya ke tempat ini. Meski itu waktu yang baik, tapi cukup memuakkan untuk mengingatnya kembali pada waktu  sekarang-pada waktu yang berbeda, dengan keadaan yang berbeda pula.


Perlu satu jam untuk sampai, disambut dua anjing kecil yang berisik, Daster dan Emeng. Memasuki rumah teh Indri yang berinterior klasik. Hiburan di sini hanya buku-buku, radio dan pemandangan alam. Memaksaku untuk kembali seperti kepada zaman dulu, kecuali tentang distraksi notifikasi whatsapp yang kuabaikan semua karena bukan pesan darimu. *Utah


Suster Cecillia, yang akrab dipanggil teh Uci juga menyusul datang. Kebetulan teh Uci baru sebulan pindah ke kompleks yang sama dengan teh Indri, hanya beda blok saja. Akhirnya kita berempat, berkumpul bersama.

-

Kami sebenarnya berharap untuk duduk-duduk di halaman rumah, tapi hujan belum jua berhenti. Teh Uci membawa selusin donat yang dia buat sendiri. Dan ini adalah sumber energi kami satu-satunya selain rokok dan kopi. Bertopik-topik obrolan kita bicarakan. Dari yang ringan menuju petang obrolan mulai sampai ke tepi jurang.


Pembicaraan mulai menarik saat teh Indri menggiring kami tentang buku yang akhir-akhir ini dia baca. Salah satunya buku Outgrowing God - Richard Dawkins. Penulis Britania raya yang dikenal ateis. Buku filsafat pemikiran ini benar-benar bahaya dibaca telanjang-tanpa fundamen spiritual. Dan sangat beresiko dibaca ketika dalam keadaan psikologi rentan atau dalam fase yang lemah keimanan.

Bagaimana tidak, dalam awal-awal buku ini dapat dibaca pernyataan menarik seperti, "Apakah manusia akan tetap berbuat baik pada sesama (juga lingkungan) jika tidak ada entitas 'pencipta', tanpa embel-embel surga dan neraka ?". Ini semakin menarik, ketika Dawkins menuliskan kutipan-kutipan dari Alkitab, Al-Quran atau cerita-cerita keteladanan tokoh-tokoh dalam perjalanan besar agama. Kami jadi saling berargumen dari perspektif Islam dan Kristen, menyahuti tulisan-tulisan Dawkins. Tapi filsafat adalah pemikiran, dan tidak ada satupun dari kami yang seorang filsuf (kecuali teh Indri, mereun). Jadi semua dikembalikan pada sudut pandang masing-masing. Kami tidak mengiyakan atau menolak tentang argumen yang berterbangan diantara kami, tiada pertentangan. Malah kami sambil sesekali menertawai keadaan.

Gara-gara buku ini, ada imbasnya. Membicarakan keadaan sosio-kultur di negara tercinta. Belakangan kami mengakui sering 'diceramahi' gara-gara hanya kami sedikit agak berbeda dari kebanyakan 'manusia' di lingkungan kami berkehidupan fana. Dewasa ini orang-orang jadi lebih senang berbicara tinggi-tanpa diiringi oleh pengindahan pelaksanaanya, atau tanpa ketauladanan yang ada pada dirinya.

-Aku juga bukan orang baik. Sedang berusaha untuk lebih baik.

Lebih menjijikan lagi, mereka 'mengandalkan' dalil-dalil agama sebagai senjata. Kami yang menerima hal seperti itu seperti mendapati kebohongan dengan jujur kata. Hanya melewat sebagai kebisingan di telinga.

Seperti yang diketahui semua, bahwa berbuat tentu lebih sukar daripada bertutur dengan panjang lebar.

Hal-hal baik dari buku apapun bahkan kitab suci tidak akan berfungsi jika tanpa pengamalan sebagai darma. Karena ayat yang benar-benar hidup adalah dengan prilaku yang nyata.

Refleksi awal tahun, rasanya malah kudapat dari pertemuan pada hari keempat di tahun dua ribu dua empat. Berfaedah, keputusan menghabiskan hari-hari akhir liburan ini dengan ke sini memang tepat sudah.


Aku dapat oleh-oleh Epipermum dari teh Indri untuk kusimpan di Saung.



0 comments:

Posting Komentar