Minggu, 28 Januari 2024

A step that written by writings

Salah satu kesulitan adalah menyediakan waktu untuk 'sengaja' menulis. Seharusnya memang dijadwalkan. Menulis buatku salah satu hal menyenangkan, bukan soal tulisannya, tapi menggunakannya sebagai pengingat.

Waktu yang berjalan murudul membuatku sulit buat sekedar menyempatkan menulis catatan. Menyambung hidup dengan kewajiban-kewajiban lain, makanya aku selalu 'nanggung' dengan subyek yang kukonsentrasikan -tidak baik.

Masalahnya karena selalu ada perbedaan perasaan ketika 'kekuatan' menulis saat ingatan dan ruh dari waktu yang dilewati masih ada dengan ketika 'menyimpannya' agak lama. Yah meskipun keduanya punya nilai lebih dan kurangnya masing-masing. Menulis spontan sangat kunikmati karena energi perasaannya dapat secara otomatis 'menyetir' kita, sedang jika diendapkan kita bisa mengingat setiap detail, tapi mesti melihat ke dalam dengan 'agak keras'. Keduanya kadang bergantian kulakukan.

Panggilan kedatangan

Safari Sastra Yudhistira ke lima dengan tajuk "Puisi Gugat Politisi". Kali ini aku sebagai bagian dari tim tidak serta ikut sebagai tim musik, sebagai gantinya aku bertugas 'ngabadal' pa Taufik Abrie untuk menulis reportase. Panggung ke lima bertempat di Perpustakan Ajip Rosidi di Bandung. Aku diminta Pa Yudhis untuk membantu. Jadi dia cover semua akomodasi perjalanan untukku kecuali soal tempat menginap, karena cuma sehari saja, dan Bandung relatif tidak terlalu jauh dari Tasik (jauh ogé sih sebenerna hehe).

Dua malam sebelumnya, Wawan dan Rijal membantuku menggarap musikalisasi puisi yang baru. Aku yang kurang referensi sekarang lebih sering butuh bantuan. Dan mengajak mereka ini tentu bukan tanpa alasan, mereka masih bersedia berproses dengan bahagia, bukan dengan 'sabaraha'. Dan kukira begitulah kreasi digunakan semestinya.



Kukira, mereka berdua sudah berkembang, mungkin setara bahkan melebihiku soal musikalitas. Wawan mendapat 'hook' pada satu bait verse pertama, jadi kami terus mengejarnya sampai alur lagu ditemukan. Merekamnya secara mentah sebagai guide supaya kami aman mengingatnya sebelum kami take recording dengan lebih baik.

Sabtu. Januari 20, 2024. Aku berangkat ke Bandung dengan bis. Budiman adalah yang paling aman setelah kehabisan tiket kereta. Aku diantar Wawan sampai terminal.



Bisku berangkat pukul 14.00, dan itu berarti aku akan sampai bandung sekitar petang. Diperjalanan, aku biasa mendengarkan musik atau membaca buku, menyelang rasa kantuk. Buku yang sedang (dan masih) kubaca kali ini adalah buku cerita-cerita pendek Anne Frank yang luput dari media besar. Berbahasa inggris, pemberian dari Omah Rosemarie tahun lalu.

Benar saja, aku sampai ke Bandung pada pukul 17.30. Aku bisa saja seperti biasa nginap di rumah Omah di Ciumbuleuit, tapi jika lewat petang mereka biasanya sudah istirahat, dan mereka pasti akan 'menyiapkan' segalanya untuk kedatanganku. Jadi aku tidak mau merepotkan mereka. Selain itu, di rumah Omah tidak boleh dan tidak bisa merokok hehe. Jadi aku memilih untuk 'merepotkan' teman lama, M. Rofi'u Darojat. Teman satu almamater dulu yang sudah jadi praktisi seni di Bandung. Biasa dipanggil Fiu, dia bahkan menjemputku ke terminal bis. Agak aneh belakangan ini, lewat petang langit masih cerah, dan gelap mulai datang pada sekitar pukul 18.30, aku merasa langit di sini seperti di luar negeri yang biasanya gelap mulai pukul 20 malam. Tapi ini pemandangan terbaik yang kubutuhkan setelah duduk lama di perjalanan.

Fiu tinggal di Balebat, Setyabudi. Tidak jauh dari Universitas Pendidikan Indonesia. Aku jadi mengingat perjalanan pertamaku ke Bandung bersama kakak perempuanku karena kami dulu menginap di sekitaran Gegerkalong. Tidak lama setelah sampai, pacarnya Fiu, Shalza berkunjung juga dikosan. Nah, mereka ini punya musik duet bernama Fuise yang core-nya adalah puisi-puisi Fiu. Tapi setelah beberapa waktu Fuise berubah menjadi format Band. Gaya musik mereka asik juga, daya orang kota memang berbeda (dan karena mereka lebih proper pengetahuan musiknya) mereka lebih produktif daripadaku sendiri. Dalam kurun waktu ini mereka sudah merampungkan beberapa lagu.

Kosan Fiu adalah kamar produksi musik, banyak sekali alat musik dan perangkat rekaman. Gara-gara ini aku malah impulsif 'ngefill' bagian bass pada guide lagu yang kugarap bersama Wawan dan Rijal. Aku ngoprék sampai pukul 2.30 pagi. Balébat memang kadang merubah siang menjadi malam. Tapi harus kuputuskan istirahat karena tujuanku datang adalah untuk acara keesokan harinya.




The art of urban slow-living.
Kehidupan rutinku di kampung yang tidak mencerminkan suasana kampung, semua dimulai sejak fajar. Tapi tidak dirasakan 'kesalséan' yang tercermin dari kehidupan kampung yang sering diceritakan. Ini makanya aku senang melakukan perjalanan. Menjadi seorang lain, dengan identitas lain. Melepaskan subyek-subyek yang 'tersemat' di kehidupanku yang sebenarnya. Bangun tidur siang rasanya sudah lama sekali untukku. Di Balebat, terbangun jam 10 pagi gara-gara hujan besar, kamar Fiu punya jendela yang menyuguhkan hehijauan yang 'cukup' untuk menyegarkan mata dipagi hari. Udara di daerah Setiabudi memang lebih dingin, dan ini sangat mengundang untuk berleha-leha.

Kesan pertama yang kudapat dari paviliun Balebat. Ruang utama yang langsung menyambut kedatangan, ini membuatku teringat suatu tempat di Vilnius.

Balebat paviliun ukurannya lumayan besar. Dan ruangan-ruangan tersambung dengan lorong-lorong tinggi yang menggunakan cahaya.

Ada beberapa kucing dan satu anjing yang sengaja dipelihara di sini.

Salah satu teman Fiu mulai bekerja jam 11 pagi. Dan dia mengatakan, "mumpung masih pagi, perasaan masih baik untuk mengerjakan sesuatu". Pukul 11 pagi ? Hehe.. Ini mungkin normal untuk mereka yang tinggal di sana. Buatku ini sangat siang sekali, pukul 11 sudah kugunakan untuk jeda istirahat jika di kampung.

Sesuai tujuanku ke sini untuk meliput Safari Sastra Yudhistira #V. Pukul 12, menuju perpustakaan Ajip Rosidi di Jl. Garut no. 02, Bandung. Setengah jam perjalanan, dan orang-orang sudah berkumpul di kedai Jante, kedai kafe di pinggir perpus. Yudhistira, Iman Soleh, Hawe Setiawan, Candra Wardani, Yuka Mandiri dan juga beberapa yang tidak kukenali mengobrol ringan sebagai pembukaan sebelum acara dimulai.

Renny & Yudhis. Sahabat lama, mereka pernah sama-sama aktif di Teater Bulungan Jakarta Selatan. Teater yang banyak melahirkan aktor-aktor kawakan pada masa itu. Diusia mereka sekarang, mereka masih punya spirit besar untuk menyebarkan kebaikan dengan menggunakan kesenian sebagai mediumnya. Ini friendship goal buatku. Kadang, aku juga ingin punya pertemanan yang bisa bertahan sampai ke tahap ini.

Hawe Setiawan, sastrawan-budayawan, dosen Universitas Pasundan sebagai fasilitator memberikan sambutan.

Yudhistira menceritakan sedikit tentang gagasan dilakukannya Safari Sastra ini. Terkait dengan keadaan politik Indonesia sekarang, sebagai penyair yang merasa gelisah. Puisi mesti digunakan sebagai media sebagai 'pencerah'. "Ketamakan bangsa ini sudah sangat memprihatinkan, dan harus ada orang yang menghentikannya.



Renny Djajoesman, aktor teater-penyanyi rock legendaris Indonesia itu selalu punya kejutan pada repertoar yang membuat audiens memberikan perhatiannya.

Yuka Mandiri, putri Renny Djajoesman dari pernikahannya dengan Putu Wijaya. Ini seperti reinkarnasi, suara dan power Yuka diwarisi sekali dari ibunya. Yuka juga adalah seorang aktor teater senior di Jakarta.

Kucing perpus yang ikut menjadi audiens.

Tata, putri Yuka-cucu Renny Djajoesman. Yang nampak malu-malu naik, tapi bagaimanapun kami semua tahu dia menahan 'jiwa kesenimanannya' karena ditodong sang nenek yang dipanggilnya Tini untuk naik panggung.

Acara selesai, barangkali audiens kali ini tidak terlalu banyak. Tapi mereka semua bukan orang-orang biasa. Panggung Bandung kali ini diisi oleh seniman-seniman senior yang ikut berpartisipasi membacakan puisi-puisi Yudhistira. Iman Soleh misalnya, belliau membacakan puisi dengan pembawaan teaternya yang khas. Lalu Hawe Setiawan yang secara spontan mebaca-menerjemahkan puisi Yudhistira ke dalam Basa Sunda.

Aku dan Balebatians, Fiu-Shalza-satu lagi aku lupa, kami berpisah di sini. Aku mesti ke Jalan Braga untuk menyusul pa Yudhis karena Bu Siska tidak ikut, jadi tugasku menemani sisa waktunya sampai petang. Selain itu aku juga mesti nengok adikku juga mumpung ke sini.

Kami berkumpul di Simpul Space. Lebih banyak mengobrol tentang progres masing-masing. Kami sedang menyiapkan acara pada 28 Februari mendatang untuk 70 tahun Yudhistira. Akan ada peluncuran buku antologi puisi barunya, dan akua akan ikut serta sebagai salah satu pengisi acara.

Berjalan-jalan di Braga usai makan malam yang dipercepat.

Foto bersama terakhir sebelum kami pisah dan pulang. Tulisan bapa ini dulu pernah kubaca saat aku usia SMA. Dan dengan entah, sekarang kami jadi sering bepergian bersama.

Pukul 17 sore aku sudah berada di stasiun untuk kembali ke Tasik.

Ini barangkali perjalanan paling singkat, aku terasa gurung gusuh. Sebenarnya perjalanannya kunikmati, hanya semua rasanya terlalu cepat saja.

Di kereta, aku malah ketemu Empal. Salah satu asuhan Pa Yudhis yang tahun lalu kami bertemu di Solo.

22.30, aku sudah berada di Tasik. Dan besoknya harus kembali kepada realita. 



0 comments:

Posting Komentar