Excerpt from the other sight Time has wonderful way of showing us what really matters

Selasa, 28 November 2023

Ran out of sight


Pada gerejaku. Diantara rimbun dedaunan taman
Warnanya mulai berubah pudar. Setelah satu tahun kepergian
Hanya karena merasa. Badai datang terlalu tiba-tiba
Melenyapkan kedamaian. Yang telah ada lama sebelumnya

Senin 27 November 2023. Suasana hari guru itu masih terasa. Anak-anak menyiapkan 'resepsi' kejutan untuk semua guru, tapi tidak untukku yang dimintai tugas mengiringi perayaan dengan lagu-lagu.

Salah seorang diantara kami masih ada saja yang membuat keributan. Mengatakan bahwa ini adalah perayaan yang sia-sia. Aku juga setuju, tapi opini gaya penulisan yang dia sebar lebih mengiring para warga sekolah pada pendapat negatif. Padahal bisa juga kita tetap mengapresiasi, tapi sambil mengevaluasi. Dan kita sangat memungkinkan melakukannya dengan kalimat yang membangun dan positif. Tujuannya sama, tapi cara penyampaiannya akan sama sekali berbeda.

Adam Mubarok, guru sejarah idola anak-anak satu sekolah ini mendapat banyak bingkisan. Dia membagi-bagi kebahagiaannya dengan memotong kue hadiahnya ke beberapa ruangan. Dia cukup mudah kentara diantara kami meskipun sama-sama masih dua tahun di tempat ini. Selain karena kinerjanya bagus, dia juga memiliki perangai menyenangkan. Tidak sulit untuk orang-orang untuk bisa mengenalnya.

Entah kenapa menuju siang hari aku agak mengantuk. Tapi aku menahannya supaya malam bisa tidur lebih awal, karena jika tidur siang aku akan melek sampai dini hari, lalu mengganggu aktivitas keesokannya.

Hari ini depan ruangan ramai sampai sore. Sampai aku ngungsi ngurusi tanaman-tanamanku. Ada anak yang mengunjungiku, anak ini tidak pernah bertemu di kelas denganku karena dia anak tahun kedua. Aku tidak begitu mengenalnya. Bernama Eksan, dia jadi agak sering berkunjung ke ruanganku sejak mengikuti paduan suara acara minggu lalu.

Dia kentara sering meminjam gitarku. Tapi hari ini dia lebih banyak berbicara, aku hanya menyahutinya dan menjawabnya sesuai yang kutahu. Dua hari ini dia jadi bolos mengaji. "Sedang tidak mood, Pa", ujarnya saat kutanya. Kulihat dari matanya, sepertinya dia memiliki hal yang ingin diungkapkan berdasar perasaannya, tapi belum berani bilang.  Dia tinggal sampai sore di ruanganku dan akhirnya jadi membereskan depan ruanganku sampai menyirami tanaman-tanamanku semua.

Selasa 28 November 2023. Jadwalku hanya pagi sampai jam sembilan. Libur setengah hari yang nanggung. Jadi aku menggunakannya untuk memecah tanaman-tanamanku yang sudah tumbuh menjalar liar melewati potnya.

Aku meminta izin Pa Diki, salah satu guru biologi. Untuk menggunakan satu blok lahan taman yang ada di sebelah lab-nya, karena ini sudah bukan teritorialku. Aku berencana menanam pecahan tanaman-tanamanku dengan cara perma. Bukan untuk taman, tapi buat stok tanaman-tanamanku jika yang di depan ruanganku sudah tua dan tidak produktif. Jadi nanti aku tinggal memotong stek darisana. Kalau aku sempat sih maunya membenahi semuanya, tapi kita lihat nanti saja.

Pa Asep Kurniawan. Guru pelajaran agama Islam ini berkunjung lagi. Bercerita tentang pertemuannya pertama kali dengan kg. Godi Suwarna dan teh Neng Rachmayati Nilakusumah pada seminar kebahasaan yang diadakan BI sehari sebelumnya. Mengobrol perihal kebudayaan yang aku juga tidak tahu, proses kreatif, urusan pemikiran dan sampai konflik global. Aku merasa beberapa hari ini aku terlalu banyak bicara, sial.

Aku paling senang dengan bunga-bungaan. Untuk seorang laki-laki, hal ini seringkali jadi bully-an. Bunga sering dikatai perlambangan feminisime. Jauh dari itu, aku hanya ingin punya pandangan yang bagus. Karena di tempat ini yang malah sering kulihat hanya bibit-bibit permasalahan.

Aku merecah buket bunga. Bunga Krisan Putih yang tidak tahu akan kugunakan untuk apa. Dan bunga mawar merah, kelopak-kelopaknya ku lepas satu persatu. Aku berencana membuat warna untuk menggambar dari ini setelah nanti dia kering. Aku juga punya beberapa tangkainya untuk distek, aku tapi aku tidak tahu tangkai dari buket bunga begini akan tumbuh atau tidak.

Setelah turun hujan, malam menampakan bulan dengan pelan.

Dua hari ini aku terus menerus mendengarkan lagu In The Light of Love dari Deva Premal & Manose Newa. Sekedar untuk meringankan kepalaku. Lumayan bekerja, aku jadi melakukan semua yang kukerjakan dengan pelan. Bahkan nafasku bisa kusadari disetiap tarikannya.

Keadaan waktu ini tidak memungkinkanku melakukan bepergian, pekerjaan yang banyak itu akan segera menyambutku dua minggu kedepan. Sedangkan perasaan sedang tidak baik, kegelisahan demi kegelisahan sudah diminta untuk segera dikembarakan. Jadi.. Aku tidak punya pilihan lain selain menyibukan diri sendiri. Yah.. Minimal supaya ada yang tetap dituliskan di waktu-waktu ini.




Minggu, 26 November 2023

Nyanyian dari luar jendela

 

Angin dan hujan merenung. Saling bicara
Dalam lirih badai yang dipendam. Melewati pergantian
Kegelisahan semakin ngungun. Menghabiskan warna jingga
Seperti hari yang menguras ingatanku. Menjadikannya dua

Selepas acara terakhir aku dehidrasi. Setelah dua hari istirahat ternyata ketahuan tekanan darahku sedikit naik lagi. Kawan setiaku yang lama, Amlodipine besilate kembali masuk ke tubuhku.

Sampai hari kamis aku hanya baringan saja, tapi suara hujan besar hari itu sungguh sangatlah menggoda. Aku hujan-hujanan di pinggir saung.Memang menyenangkan meskipun setelahnya badan jadi meriang. Harga kebahagiaan. Akhirnya aku benar-benar cuti lima hari, lebih sehari dari yang kurencanakan.


Perhatian

25 November diperingati sebagai hari guru, katanya. Tapi jadi agak klise. Karena hanya jadi sehari euforia, tanpa ada pemaknaan tindak lanjut atau evaluasi dari dipandang remehnya 'tenaga'. Percobaan kurikulum yang dari dulu yang tidak pernah selesai dan tidak bisa diterapkan ideal secara merata. Pendidikan kita memang tidak pernah bisa benar-benar menyala.

Guru sering dikatai sebagai posisi 'aman' dalam dunia kerja. Padahal ini cukup krusial jika mengingatnya sebagai 'pengarah' generasi baru untuk menyambut zaman yang penuh tanda tanya. Bersedia (atau tidak punya pilihan lain) untuk ditekan meski tidak jelas kesejahteraan. Apalagi buat yang bukan pegawai negeri, komo deui untuk orang sepertiku yang salah jalan. Kalau di sekolah swasta, nanti akan ditambah lagi dengan kebijaksanaan nan aheng yang ditetapkan yayasan, haha.

Indonesia juga kukira masih tidak adil dalam soal pekerjaan. Requierement yang berbelit-belit dan muluk-muluk. Upah yang tidak sebanding dengan tanggung jawab yang bertumpuk-tumpuk. Menilai orang-orang dari gelar yang tertera, bukan dari kompetensi yang tepat guna.

Buatku yang tidak terikat apapun, alasanku tinggal sih cuma soal amanah dan anak-anak ini. Meski pernah dapat amanah sebagai pengajar, aku tidak pernah merasa aku pantas untuk dipanggil-dianggap sebagai seorang guru. Pertama, karena aku memang masih fakir ilmu, selama ini aku hanya berbagi tentang sebatas yang aku tahu. Kedua, free-spirited soul appereance-ku ini tidak bisa diterima oleh kalangan kebanyakan pendidik-pendidik lokal di tempatku berkegiatan yang masih memandang tinggi norma ‘tua’. Aku tidak menyalahkan mereka. Karena bagi mereka barangkali idealnya seorang pendidik mestilah terlihat layaknya seorang ‘guru’ yang lumrah seperti ditanamkan dalam kultur kita, sejak lama. Dan aku juga tidak mau memaksakan mereka menerimaku yang ‘rada-rada’. Masih butuh heug, tidak pun silakan buang. Begitu saja. Tapi sedikit menyedihkan sih, kalau kita sering dinasihati jangan melihat buku dari sampulnya itu hanya jadi kata-kata indah. Mereka tidak menerapkan nasihat itu pada hal lain yang mesti lebih teliti dipandang. Belakangan, sebaliknya malah jadi hobi yang cukup populer, ‘menilai orang’.

Bocah-bocah ini ‘menyerang’ ke ruanganku berkegiatan saat aku bolos tepat di hari sabtu pada jadwal mereka. Karena aku mesti membantu mengurusi aliran listrik yang mati sebelah, termasuk ruanganku. Mereka berbondong membawakanku hadiah.


Anak-anak kelas yang katanya dinilai tidak baik, yang katanya gara-gara gurunya ‘tidak baik’. Yah.. Kalau memang benar begitu, anak-anak ini kurang begitu beruntung karena mesti mendapatkan orang yang sepertiku. Lagi pula kalau benar, solusinya juga mudah, silakan ambil alih. Jangan tambah mengatakan hal yang tidak menyenangkan. Melihat apa yang anak-anak ini lakukan, mereka tentu lebih baik daripada orang-orang yang mengataiku ‘tidak baik’. Mereka bisa menghargai seseorang karena ilmu dan usia, bukan dari apa yang terlihat dari luar oleh mata. Dan aku sangat berterimakasih, jauh dari apa yang anak-anak ini berikan, untukku hadiah yang lebih besar dari mereka adalah penerimaan.

Hari itu kuhabiskan sampai sore, karena tanaman-tanamanku tidak kusiram lima hari, kulanjutkan dengan nyapu dan ngepel. Kebetulan area ruangan kegiatanku ini tidak dibersihkan oleh petugas khusus, jadi selalu kubersihkan sendiri. Salah seorang teman menyarankanku untuk mengajukannya pada ‘atasan’, tapi akhirnya malah dapat balasan tidak menyenangkan. Untuk menambah tugas itu, katanya tidak ada anggaran, haha. Yah.. Lagipula aku masih bisa mengatasinya sendiri sih.

Aku masih punya waktu dua jam sebelum pulang. Maklum, sejak bapakku sakit aku jadi punya ‘tugas’ tambahan (yang sebenarnya bukan tanggung jawabku, atau juga bapakku, kemanakah orang-orang ooooo, sudahlah haha). Jadi aku hanya punya waktu ‘hidup’ sampai sekitar jam delapan malam. Kembali soal hari guru..Tentu aku harus berterimakasih kepada guruku yang satu ini.. Sisa hari itu aku gunakan untuk berkunjung ke makam Bapa, Kyai Abunyamin Ruhiat. Hal seperti ini orang-orang biasa menyebutnya berziarah. Sebagai alumni sekolah Islam, agak menyedihkan memang bahwa aku tidak tahu cara berziarah yang benar. Tawasul-tahlil ge teu katalar. Jadi kalau ke sini aku paling curhat saja. Mengatakan semuanya, terlebih soal kesulitanku tentang hari-hari melakukan-menjalani amanah terakhirnya Bapa kepadaku. Mendoakan Bapa dengan Bahasa Sunda atau Indonesia, dan diakhiri dengan do’a Allahumaghfirlahu. Almarhum Bapa pasti seseurian kalau tahu tentang ini dari dulu. Maaf ya Paaa hehe..

Aku diantar Cep Thoriq yang kebetulan bertemu saat aku hendak lewat kompleks pesantren. Dia ini salah satu Putera mahkota yang tersisa, yang sedang memperjuangkan‘cinta-nya’.

 

Merawat hadiah


Minggu, 26 November 2023. Mengawali hari ini aku tiba-tiba ingin bernyanyi dulu. Membawakan potongan lagu Pie Jesu versi Andrew Lloyd-Robert Fripp yang tentu dikenal khalayak orang-orang kristiani. Aku hanya ingin mengingat waktu-waktu awal ketika mulai bernyanyi di gereja 2012 dulu, dan lagu ini salah satu dari tujuh lagu yang tiba-tiba kunyanyikan gara-gara harus menghandel temanku yang kecelakaan. Cara bernyanyi begini sebenarnya lebih ‘fit’ buatku, tipe-tipe music spiritual (daripada nyanyi pop sih), dan aku juga merasa lebih nyaman saja nyanyi di paduan suara Gregorian (jadi, teu pati kadangu mun kabeneran sumang da lobaan pan, haha). Dan aku ternyata masih bisa nyanyi dengan cara ini. Yah.. Meski bagi beberapa hal ini pasti akan membuat ‘kontroversi’. Sosial kita ini memang selalu aranéh, nanaon jadi piomongeun wééé. Teu pira nyanyi, komo bangun arédan gedé sigana mun uing mabok jeung judi. Hahaa

 


Hari ini kurencanakan untuk memindahkan dan mengatur layout tanaman-tanaman yang diberikan alumni sanggar M. Zainal Fikri yang mengelola bisnis tanaman-tanamannya, Otong Green-House Lembang. Jadi aku mesti mencari-mengolah tanah untuk media tanam. Aku mengambilnya dari balong yang sedang berhenti ‘beroperasi’ sementara. Lalu memindahkannya ke pot-pot yang sudah kubeli tiga hari sebelum ini.

Lumayan melelahkan, aku baru bisa istirahat pukul satu siang, mulai mengerjakan sedari jam sembilan pagi. Batu-batu juga sedikit kurapikan, dan setelah selesai malah jadi tempat main si Ayang. Kucing baru si Ibu yang membuat si Challa cemburu.

Baiklah, hari ini Aku cukup lega, menjalani hari sesuai rencana.

Lalu, besok senin. Sial, haha



Senin, 20 November 2023

Mengeja waktu

Nyanyian dari cinta yang masih murni

Menolong seseorang. Dari penglihatannya

Menjadi nyala bara. Membakar dalam diri

Tentang percaya yang disalah guna


 2023


Dua minggu sudah waktuku tersita. Kewajiban-kewajiban kutinggalkan sebagai harga kebahagiaan pertemuan. Bukan untukku tapi bagi mereka yang pernah ada di sini. Ini agak berat karena sebagai seorang yang tinggal di sini kami harus memperlihatkan keadaan yang baik-baik saja.

 


Reuni akbar SMA Islam Cipasung 1962-2023. Ini sejak awal memang sudah ide gila. Mengumpulkan orang-orang sebanyak 61 angkatan itu pada satu hari kepulangan. Dan sudah kuperkirakan permasalahan-permasalahan yang akan timbul gara-gara ini. Aku sempat biasa saja, sebenarnya aku ingin tinggal hadir saja sebagai alumni. Tapi framing yang timbul dari hal-hal yang biasa kukerjakan membuatku jadi teu walakaya mendapat amanah sebagai salah satu panitia penyelenggara. Akhirnya yasudah, toh akupun tidak bisa memberikan prestasi apa-apa sebagai seorang dari sini.

Kerujitanku dimulai dari penggarapan mars SMA Islam Cipasung yang sebenarnya lagu ini sudah ada dari zaman dulu, tapi tidak pernah ada rekaman dalam bentuk digital, memang ironi untuk sekolah sebesar ini yang telah meluluskan 61 angkatan. Salwa Inaya dan Yiyih kuambil sebagai guide sampel, supaya teman-temannya dapat menghafal. Ini butuh waktu 4 hari untukku, karena aku juga tidak begitu mengerti proses recording yang bagus. Jadi kukerjakan sebisaku saja.

Aku berperan sebagai penghubung tim talent lokal kepada tim besar seksi acara yang dilead kang Taufik Aryadewa dari angkatan 1997.


Jadi aku mesti ngurusi sebatalyon bocah-bocah dalam tiga segmen pertunjukkan. Tugas yang agak kurang cocok untukku yang tidak begitu piawai dalam bersosial. 38 orang untuk paduan suara, 20 orang untuk tari dan 15 orang untuk tim music tradisi.


Untungnya aku dibantu beberapa alumni sanggar yang potensial dan teman-teman proses kreatif, Rijal, Pa Asep, Yudi, Neng Mela & Imong, jadi kami bisa bagi-bagi tugas. Kalau saja tidak sepertinya aku akan kewalahan.

 

Tim Tari, ini yang ngurusi adalah alumni sanggar, Desty, Ica dan Nadia. Pertolongan besar yang lain..

Latihan-latihan jadi lebih intens seminggu terakhir. Satu hari sebelum pelaksanaan tim padus mendapat vocal coaching dari Henny Raf Iroh Hendrayani, alumni dari tahun 1981. Bu Henny ini kiranya adalah seorang aktris dan penyanyi senior. Bersama Bu Henny, tim padus menjadi chor saat Bu Henny menyanyikan shalawat.



Tim paduan suara saat acara


Kami berfoto setelah selesai bagian pertunjukkan

 


Bapaku bisa bertemu dengan teman-temannya kembali, hampir sebulan dia sakit. Dan dia terlihat senang. Itu sudah cukup buatku.

 

Teman-teman dekat si Bapa sewaktu SMA. Kurang Om Dedi

Teh Mia Faiza Imran & Bu Henny. Bertiga dari lebih dari se-kodi tim acara. Teh Mia ini kakak dari temanku semasa Aliyah, dan almarhum ayahnya pernah mengajar juga di SMA Islam Cipasung.

 


Adule ‘Otong’ Zainal Fikri, melihatku yang suka dengan tanaman, eks ketua Sanggar Gama ini datang dan memberiku setengah kolbak tanaman hias dari Bandung.

 


Bertemu dengan ibunya Jamil, sahabatku semasa MTs 


Yang tidak kalah mengambil perhatianku adalah Pembacaan puisi dari Harris Samudera-Henny Hendrayani-Acep Zamzam Noor. Sungguh langka melihatnya di panggung yang sebenarnya ‘miliknya’ ini. Membawakan pembacaan puisi ditengah-tengah acara reuni yang pasti chaos sangatlah beresiko. Tapi itu tidak menjadi halangan orang-orang senior ini. Karena orang-orang yang mencintainya, pasti tetap akan mendengarkan meski dalam kegaduhan.

Aku semakin  mendekat pada kepunahan yang disimpan bumi

Pada lahan-lahan kepedihan masih kutanam bijian hari

Segala tumbuhan dan pohonan membuahkan pahala segar

Bagi pagar-pagar bambu yang dibangun keimananku

Mendekatlah padaku dan dengarkan kasidah ikan-ikan

Kini hatiku kolam yang menyimpan kemurnianmu

Penggalan puisi berjudul Cipasung ini tetap membuatku bergetar. Semakin lama tinggal di sini, makna puisinya semakin terasa. Puisi ini dibuat tahun 1989, tapi betapa Acep sudah dapat ‘ngirong’ apa yang akan terjadi di tempat ini kemudian hari. Kukira Acep menuliskannya dari dua perspektif, sebagai seorang dari dalam dan sebagai seorang yang dari luar memandang tempat kelahiran dan tumbuhnya itu.

Hari reuni juga bertepatan dengan Haul KH. Abunyamin Ruhiat yang pertama. Jadi.. Bapa sudah meninggalkanku setahun.. Aku sebenarnya ingin mengikutinya dengan khidmat, tapi dengan segala kerujitan hari itu aku hanya ngelol sebentar saja. Aku benar-benar kelelahan dan butuh waktu mengejar tidur untuk istirahat.


Aku pergi ke makam Bapa di waktu yang tepat, karena orang-orang lebih terpusat di area sekitaran masjid tempat venue haul. Aku diantar Cep Thoriq sekedar buat curhat ke Bapa tentang hari itu.

 

Aku juga bertemu dengan Cep Rijal, putra bungsu KH. Dudung Abdul Halim. Nilai-nilai lama tentu selalu baik, tapi nilai baru juga mesti mulai diadopsi supaya dapat ‘menyesuaikan’. Ini cukup menenangkan juga, mengetahui mereka mulai bergerak untuk tempat yang mereka ‘miliki’ itu. Yang mesti digenosida harusnya bukan Palestina, tapi orang-orang yang mendapat kepercayaan tapi salah digunakan.

Deden Muammar Khadafi. Dulu Bapa menyukai dan memiliki kedekatan dengan beberapa orang santrinya. Salah satunya dia, yang jelas shaleh, pinter ditambah lagi suaranya bagus. Kami pernah Bersama-sama saat diamanahi untuk berbagi ilmu di SMA. Dia sekarang sudah tinggal di rumahnya, di Cileungsi Bogor. Dia tetap mengajar di Pesantrennya selain itu dia bercerita tentang kegiatannya yang terakhir mengikuti pengkaderan ulama muda. Yah.. Itu sudah ‘fit’ sama dia sih.. Hehe


Tepat dihari yang sama, kabar duka juga sampai dari A Rais. Salah satu guruku berkesenian ibunya wafat. Aku dan teh Oci baru bisa berkunjung sehari setelahnya.


Menelpon Ririn Oktorida, temanku semasa belajar di EV. Perempuan Nusa Tenggara Timur yang senyum lebarnya selalu membuat orang bahagia.. 20 November ulang tahunnya. Jadi kami teman-teman sekelas menelponnya bersama.

Waktu yang sangat padat. Reuni akbar SMA Islam Cipasung & Haul KH. Abunyamin Ruhiat pertama digelar. Aku tidak pernah sesibuk ini. Banyak pertemuan-pertemuan baik.. Tapi daripada pertemuan, aku lebih mendapat penglihatan-penglihatan..


2023

 

 


Jumat, 10 November 2023

Anak yang terjebak, cara seseorang dibesarkan dan masa tua.

 


Hari yang agak panjang. keadaan pertengahan bulan yang mulai mencekik keadaan, setengah hari sabtu kemarin ini kupakai untuk ‘ngamen’ translating naskah, yah.. Lumayanlah buat jajan, aku jadi tidak tahu kerjaanku yang jelas ini sebenarnya apa sih haha. Lalu mengejar online meeting pukul satu siang karena harus membantu guru Bahasa Inggris di sekolahku yang dulu sampai menjelang sore. Aku menghubungkan para pelajar ekstrakurikuler Bahasa pada kenalanku di IES untuk memberikan pengalaman tentang English speaking. ‘Percobaan’ pertama ini tidak terlalu buruk, terlebih untuk tempat pendidikan yang katanya ingin ‘berkembang’ tapi selalu saja setengah-setengah. Padahal bagaimanapun semua sadar penuh akar permasalahannya. Tentang ini.. Sebenarnya aku sedikit menyayangkan nama besarnya yang sudah dikenal dimana-mana, dikenal sejak lama. Terlebih Sekolah ini akan merayakan reuni, ini agak ironi dengan keadaannya yang masih dibuat gonjang-ganjing masa transisi.

Pulang ke Saung. Musim panas panjang, aku tidak punya pilihan tempat lain yang paling cocok untuk mendinginkan tubuh dan pikiran yang perlu dibasuh. Menunggu petang datang, duduk sebentar dan membaca buku meski hanya dua lembar. Bapakku sedang sakit sudah masuk tiga minggu, jadi aku mesti melakukan ‘tugas’ yang biasa dia lakukan sementara ini. Padahal ini malam minggu, aku juga kadang ingin punya waktu keluar untuk bercumbu, hehe. Tapi yah.. Hal begitu sudah tidak kumiliki sejak lama. Lagipula hari ini cukup melelahkan, jadi kuputuskan untuk menulis hal yang ada di kepalaku saja, ini akan jadi tulisan Panjang yang tidak menyenangkan, tapi yah.. Namanya juga kegelisahan.

-

Anak yang 'terjebak' di kampung.

Aku memang sering mendapatkan kesempatan perjalanan-perjalanan. Dari yang terdekat sampai terjauh, sebentar bahkan bisa sampai berbulan. Dan itu seringkali tanpa biaya, aku selalu dipertemukan orang-orang 'baik'. Framing tentangku sebagai pemuda non-future oriented tukang ngador barangkali sudah lama lalu lalang terdengar di telingaku. Bekerja ‘sagala’ dan seadanya dengan 'asal bisa bertahan esok hari' ini sebenarnya bukan tanpa alasan. Aku bisa saja kesana-kemari meski semisal jadi seorang kuli, lalu beberapa kolega menawariku 'pekerjaan' dengan maksud menolong sisi finansialku. Tapi mekanisme keseharianku nyatanya tidak sesederhana itu, aku tidak bisa mudah mengambil keputusan dan kesempatan itu tanpa memikirkan ‘pinggir-pinggir-ku’. Ada yang mesti 'kulakukan', dengan atau tanpa persetujuanku.

Moralitas, meski dibesarkan di keluarga yang tidak subur secara ekonomi, kukira aku masih cukup beruntung dibesarkan oleh orang tua yang relatif 'liberal' di dalam keluarga besar yang konservatif akut. Gara-gara ini Aku sering didalih soal agama oleh saudara-saudaraku sendiri, itu hal yang tentu saja baik, sangat-sangat baik, dan aku sangat menerimanya. Tapi sebenarnya ini nihil juga jika diterapkan dikeadaan keluargaku. Barangkali benar Aku bukan seorang muslim yang baik, tapi aku masih menjunjung tinggi nilai adab. Di hari ini, hal-hal yang kulakukan ini, Aku tidak pernah menganggap hal yang kulakukan ini dengan istilah balas budi. Karena dalam agama yang kuyakini, ini adalah salah satu bentuk kewajiban dalam berkehidupan. Itu yang kudapatkan, dan tidak perlu lagi untuk diucapkan pada lain orang jika kita sendiri ada dalam keadaan ketidak-mampuan. Mohon hati-hati kalua bicara. Sesuaikan dengan siapa, dan bagaimana keadaanya.

Meski ada yang ingin kukejar, tapi masih ada hal lain yang tidak bisa ditawar.

Setelah kakak laki-laki ku pindah dan tinggal di luar pulau, aku satu-satunya anak yang diandalkan mengurusi hal-hal fisik dan mobilitas di rumah, yang sebenarnya bukan tidak mungkin pun dilakukan oleh perempuan. Tapi yaa.. Karena aku juga tidak begitu berguna di sisi lain, minimal ini hal yang bisa dilakukan sekarang. Ini seringkali membuatku bimbang, saat usiaku ini yang seharusnya sudah mulai atau cukup 'mapan', aku mesti tetap 'tinggal' di kampung halaman. Mungkin iya Aku masih bisa bermekar, tapi Aku tidak pernah bisa melewati pagar taman. Masa-masa keliaranku sekarang mesti dibatasi, dan mau tidak mau harus mengambil 'tugas' yang sebenarnya bukan sepenuhnya tanggung jawabku. Tapi sekali lagi moralitas, aku berterimakasih kepada ibu-bapakku yang 'orang-orang' katai tidak lebih baik itu, yang sudah mendidikku soal ini.

“Batur jadi dulur, dulur jadi batur”. Kiranya khazanah pribahasa ini tidak berlebihan dan bukan tanpa alasan dibuat oleh leluhur orang Sunda zaman dahulu. Soal kehidupan, sejauh ini kurasa Aku lebih banyak mendapat bantuan dari orang-orang yang tidak berhubungan secara keluarga. Seperti sekitaran tahun 2019 aku diurus dengan baik oleh salah satu keluarga kebangsaan Brazil saat berada di titik bawah. Tradisi 'Familie first value' Amerika Latin yang dimiliki oleh mereka tidak begitu mengagetkanku. Karena di rumahku, sejak dulu kukira sudah begitu. Kami sudah biasa bahu-membahu, bahkan sampai giliran ngutang untuk dapat memenuhi 'kebutuhan' diantara kami atas perhitungan tingkat urgensi. Jadi waktu itu tidak sulit buatku saat aku mulai berbaur-beradaptasi hidup dengan keluarga ini. Mereka semua Kristen tapi tidak ada sedikitpun indikasi-distraksi 'keagamaan' yang kurasakan dari mereka mengingat aku yang memeluk agama Islam. Sesuatu yang bernilai baik, akan tetap bernilai baik. Tapi itu mesti dibersamai dengan 'pelaksanaannya', bukan hanya lisan semata.

 -

Bagaimana seorang berlaku dipengaruhi oleh bagaimana ia dibesarkan.

Ada pertanyaan menarik yang kudapat dari kakak perempuanku saat makan malam petang bersama di rumah, “Kenapa kalian (Aku dan Bapakku) senang memelihara luka ?”. Aku tidak menyangkalnya karena memang sering kulakukan dengan kesadaran penuh, kalau buatku, karena sering kupakai buat bahan-bahan menulis, menggambar atau bikin lagu. Tapi dipikir-pikir setelah kususur, ternyata banyak juga dari keluargaku yang melakukannya itu, jadi ini bukan perkara yang ‘hanya aku saja’. Mungkin tidak hanya tentang luka, tapi juga pada memelihara ingatan lainnya, yah itu bisa ingatan yang baik atau pula tidak baik. Apakah penting ?, buatku yang tidak memiliki apapun, itu tentu penting.

Aku cukup beruntung karena bisa menceritakan apapun pada keluarga dengan leluasa. Dari yang penting sampai yang paling anjing. Kami yang tidak punya apapun untuk dibagikan ketika pulang, seringkali hanya bisa membagikan cerita-cerita tentang keseharian. Karena kultur kerucut masalah kehidupan di Indonesia hanya tiga, kami anak-anak dari keluarga yang biasa-biasa ini sejak kecil sudah ditanami mesti mengganti pesona dengan karakter, uang dengan etika, privilege dengan isi kepala. Dan itu benar-benar bekerja.

Usia tua bisa jadi sangat tidak menyenangkan. Aku dapat menerima bahwa setiap manusia suatu saat akan ditinggalkan. Secara alami ataupun buatan. Bisa ditinggalkan karena wafat, atau ditinggalkan dengan alasan permasalahan. Di ranah pendidikan, kita sering sekali dijejal tentang teori yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Keberadaan yang selalu membutuhkan orang lain. Sejak dulu, sejak usia sekolah menengah, aku sudah berpikir, bagaimana mengatasi teori itu. Ini sama sekali bukan tentang soal jenis kepribadianku yang pernah menjadi seorang Introvert, tapi saat itu aku lebih berpikir pada bagaimana aku akan menghadapi keadaan ‘ditinggalkan’ itu suatu saat nanti.

Aku berkali-kali mendengar cerita yang sama dari seorang sepuh di keluargaku yang sekarag tinggal sendirian. Dan beliau tidak sadar bercerita tentang itu padaku berkali-kali, bahkan setelah kemarin malam hari. Tapi aku tidak pernah memotongnya meski aku sudah tau persis kemana arah jalan ceritanya. Pelupa, pikun ? Syukurnya tidak, beliau masih sehat secara ingatan. Di usia lanjut, aktivitasnya jadi berkurang dan intensitas komunikasinya sangat sedikit. Jadi yang beliau 'temukan' setiap hari bisa jadi tidak begitu banyak. Kurasa ini sebabnya yang diceritakan masih hal yang sama atau tidak begitu jauh dari yang sebelum-sebelumnya. Tentang yang beliau ceritakan, terlepas dari nilai perasaannya yang bahagia atau tidak, barangkali baginya, itulah waktu terbaik semasa hidupnya yang tetap melekat dalam ingatannya. Dan ini kukira bisa jadi karena beliau tidak punya cukup waktu atau tidak punya siapapun untuk sekedar hanya bisa bercerita, dengan ‘leluasa’.

Birrul Walidain, kewajiban mengurus orang tua.

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال سمعتُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم يقول رَغِمَ أنْفُهُ، رَغِمَ أنْفُهُ، رَغِمَ أنْفُهُ قيل مَنْ يا رسولَ اللهِ؟ قال مَنْ أدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدُهُما أَوْ كِلَاهما ثمَّ لَمْ يَدْخُلِ الجَنَّةَ

Artinya, “Dari sahabat Abu Hurairah ra, ia mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Celakalah seseorang, celakalah, dan celakalah.’ Sahabat bertanya, ‘Siapa ya Rasul?’ Rasul menjawab, ‘Orang yang mendapati kedua orang tuanya menua baik salah satu maupun keduanya, lalu ia tidak masuk ke surga,’”(HR Muslim).

Jarang sekali aku mengutip hal-hal seperti ini di tulisanku. Karena keagamaan sama sekali bukan field-ku dan aku tidak kapabel tentang ini. Ini hanya satu dari sekian banyak hadits tentang merawat orang tua, aku memilih yang ini karena kebanyakan orang Islam disekitarku yang terdiri dari beberapa jenis Islam, Islam lekoh, Islam bijak, bahkan Islam ktp sampai Islam protestan selalu berbicara surga dan neraka sebagai tujuan. Aku tidak berfokus soal surga di hadits itu, itu urusan lain. Buatku yang penting adalah perasaan kedamaian ketika kita-semua merasa sama-sama baik.

Kakakku yang paling tua tinggal di Yogya. Dia seorang Katolik dan aktif dalam divisi lingkungan gereja-nya. Salah satu tugasnya adalah mengecek keadaan orang-orang dalam komuni-nya, terutama orang tua dan anak-anak yatim. Memperhatikan kesehatan, kebutuhan, bahkan hanya untuk sekedar mengajaknya berbicara. Dan kebanyakan, mereka tidak ada sangkut paut kekeluargaan secara biologis, dalam keadaan lingkungan kosmopolit-beraneka ragam tempat berasal. Dan mereka melakukan itu hanya dengan asas bakti dan titah ajaran. Ironi lain buatku yang hidup di kampung yang lekat dengan nilai-nilai Islam, tapi implementasinya malah kulihat dari seberang. Saling mengasihi terkesan hanya digunakan sebagai kepentingan, diambil fotonya sebagai pencitraan.

Dengan melihat itu-dengan keadaan bapaku yang sakit segini saja aku sudah tidak nyaman kemana-mana atau melakukan apa. Tapi gara-gara ini Aku jadi sedikit kepikiran, bahwa banyak juga anak-anak yang bisa meninggalkan orang tuanya dengan atau saat keadaannya kurang baik. Aku jadi bertanya-tanya bagaimana mereka bisa mengatasi kegelisahan semacam itu sambil melanjutkan kehidupannya. Jika semisal meninggalkan orang tua dengan alasan sudah menikah, maka gara-gara ini juga aku tidak begitu melihat pernikahan bukan hanya soal indah penyatuan, tapi juga cara pemisahan dengan pelan-pelan. Mengganti kedatangan dengan kepergian, ini yang kumaksudkan meninggalkan dengan ‘alasan’ di paragraph sebelumnya, dan menurut ibuku itu ‘teu nanaon’, meski kurasa masih ‘nanaon’ (seoranh guru ngaji pernah kutanyai ini, tapi jawabannya hanya dengan "Apa boleh buat", yang membuatku tidak puas). Aku tidak bermaksud atau berprasangka apapun pada mereka tentang ini, tapi kalau mereka punya jawaban yang bagus tentang pola meninggalkan ini, aku mau minta tips untuk penyelesaian permasalahanku, tapi jika semisal jawabannya adalah uang, maka aku akan berhenti bertanya, karena itu sudah bukan bagianku, dan agak menyedihkan. Aku kurang puas kalau bisa menggadaikan perasaan hanya dengan ukuran itu.

Tapi sebagai catatan, tidak semua orangtua yang sudah lanjut usia butuh diurus, ataupun ingin terus-menerus tinggal di rumah anak-anak mereka. Mereka mungkin lebih memilih tinggal di panti jompo. Atau, mereka mungkin saja masih bisa hidup mandiri. Terlepas apapun pilihannya, kita tetap bertanggung jawab atas mereka.

-

29. Banyak hal berubah, kepalaku juga bekerja dengan cara lain, tubuhku kadang tidak mendengarkanku. Ibu-bapakku dulu seorang perokok yang cukup parah, dan sewaktu aku kecil aku membenci kebiasaan mereka itu. Tapi ternyata sekarang malah aku yang melakukannya. Sejak dulu, aku selalu dan sudah terbiasa terlambat mendapatkan apapun, termasuk dalam 'ketidak-baikan'. Kukira aku masih pemula tentang masalah merokok, baru masuk tahun ketiga, dan aku sudah merasakan bagaimana efek ketergantungannya. Tapi aku cukup puas bahwa prilaku ini kuputuskan sendiri, bukan ajakan dari seseorang atau keterpengaruhan lingkungan, jadi Aku tidak perlu menyalahkan siapapun selain diriku sendiri. Sifat adiktif Ini dipandang kebanyakan buruk, tapi kiranya sekarang aku agak mengerti soal kebiasaan orangtuaku yang dulu candu merokok, barangkali hal itu saja 'kemewahan' yang memungkinkan didapatkan oleh mereka saat itu. Meski hari ini mereka harus menukarnya dengan harga kesehatan.

Masa kecilku dulu tinggal di rumah dengan 4 kepala keluarga. Ruang 'bertemu' menyatu dengan dapur mereka semua. Pisau-pisau yang disimpan berjejer di meja itu menjadi pemandangan setiap hari. Sejak usia itu aku sudah punya imajinasi liar untuk bunuh diri, padahal rasanya dulu cuma gara-gara masalah sepele (tapi belum pernah juga berani kulakukan), maksudku sejak seusia itu aku sudah melihat kematian sebagai jalan akhir yang lebih mudah. Tidak seperti anak yang lain yang hari-harinya penuh bermain, seusia itu Aku sudah dapat memikirkan kehidupan dengan cara yang lain.

Melihat pola kehidupan di sekitarku sekarang aku jadi agak terpikir masa tentang masa tua. Kukira jika aku memang sudah tidak bermanfaat, aku tidak keberatan jika semisal mati diusia yang masih muda. 'Kamu tidak mau menikah ?', aku sih tidak keberatan jikapun ditakdirkan untuk tidak, ini cikal bakal dari perasaan kehilangan yang akan timbul untuk istri dan anak-anakku jika aku wafat, perasaan yang akan merepotkan mereka suatu saat nanti. Meski di lain sisi tentu sepertinya akan menyenangkan jika memiliki seseorang dihari-hari ketika rambutku berubah warna. Tentang perihal ini kuserahkan Kumaha Alloh saja.

Aku kadang menginginkan cara pergi seperti almarhumah temanku Desy, dia memiliki cara pergi yang menurutku paling indah, dikelilingi oleh orang-orang yang menyayanginya. Tapi kadang aku ingin mati seperti seekor kucing saja yang ujug-ujug ngaleungit. Tidak ada yang tahu, bisa pergi kapan saja.

Tapi lepas dari itu, yang penting Aku tidak mau jika masa tuaku malah jadi sampai merepotkan orang lain. Aku tidak mau ada seorang yang waktunya terenggut gara-gara aku yang bukan tanggung jawabnya. Aku tidak mau ada seorang yang mesti memilihku atau masa depannya.

 

 

.