Selasa, 28 November 2023
Ran out of sight
Minggu, 26 November 2023
Nyanyian dari luar jendela

Angin dan hujan merenung. Saling bicara
Dalam lirih badai yang dipendam. Melewati pergantian
Kegelisahan semakin ngungun. Menghabiskan warna jingga
Seperti hari yang menguras ingatanku. Menjadikannya dua
Selepas acara terakhir aku dehidrasi. Setelah dua hari istirahat ternyata ketahuan tekanan darahku sedikit naik lagi. Kawan setiaku yang lama, Amlodipine besilate kembali masuk ke tubuhku.
Sampai hari kamis aku hanya baringan saja, tapi suara hujan besar hari itu sungguh sangatlah menggoda. Aku hujan-hujanan di pinggir saung.Memang menyenangkan meskipun
setelahnya badan jadi meriang. Harga kebahagiaan. Akhirnya aku benar-benar cuti
lima hari, lebih sehari dari yang kurencanakan.
Perhatian
25 November diperingati sebagai hari guru, katanya. Tapi jadi agak klise. Karena hanya jadi sehari euforia, tanpa ada pemaknaan tindak lanjut atau evaluasi dari dipandang remehnya 'tenaga'. Percobaan kurikulum yang dari dulu yang tidak pernah selesai dan tidak bisa diterapkan ideal secara merata. Pendidikan kita memang tidak pernah bisa benar-benar menyala.
Guru sering dikatai sebagai posisi 'aman' dalam dunia kerja. Padahal ini cukup krusial jika mengingatnya sebagai 'pengarah' generasi baru untuk menyambut zaman yang penuh tanda tanya. Bersedia (atau tidak punya pilihan lain) untuk ditekan meski tidak jelas kesejahteraan. Apalagi buat yang bukan pegawai negeri, komo deui untuk orang sepertiku yang salah jalan. Kalau di sekolah swasta, nanti akan ditambah lagi dengan kebijaksanaan nan aheng yang ditetapkan yayasan, haha.
Indonesia juga kukira masih tidak adil dalam soal pekerjaan. Requierement yang berbelit-belit dan muluk-muluk. Upah yang tidak sebanding dengan tanggung jawab yang bertumpuk-tumpuk. Menilai orang-orang dari gelar yang tertera, bukan dari kompetensi yang tepat guna.
Buatku yang tidak terikat apapun, alasanku tinggal sih cuma soal amanah dan anak-anak ini. Meski
pernah dapat amanah sebagai pengajar, aku tidak pernah merasa aku pantas untuk
dipanggil-dianggap sebagai seorang guru. Pertama, karena aku memang masih fakir
ilmu, selama ini aku hanya berbagi tentang sebatas yang aku tahu. Kedua,
free-spirited soul appereance-ku ini tidak bisa diterima oleh kalangan
kebanyakan pendidik-pendidik lokal di tempatku berkegiatan yang masih memandang
tinggi norma ‘tua’. Aku tidak menyalahkan mereka. Karena bagi mereka barangkali
idealnya seorang pendidik mestilah terlihat layaknya seorang ‘guru’ yang lumrah
seperti ditanamkan dalam kultur kita, sejak lama. Dan aku juga tidak mau
memaksakan mereka menerimaku yang ‘rada-rada’. Masih butuh heug, tidak pun
silakan buang. Begitu saja. Tapi sedikit menyedihkan sih, kalau kita sering
dinasihati jangan melihat buku dari sampulnya itu hanya jadi kata-kata indah.
Mereka tidak menerapkan nasihat itu pada hal lain yang mesti lebih teliti dipandang. Belakangan, sebaliknya malah jadi hobi yang cukup
populer, ‘menilai orang’.
Bocah-bocah ini ‘menyerang’ ke ruanganku berkegiatan saat aku bolos tepat di hari sabtu pada jadwal mereka. Karena aku mesti membantu mengurusi aliran listrik yang mati sebelah, termasuk ruanganku. Mereka berbondong membawakanku hadiah.
Anak-anak kelas yang katanya dinilai tidak baik, yang katanya gara-gara gurunya ‘tidak baik’. Yah.. Kalau memang benar begitu, anak-anak ini kurang begitu beruntung karena mesti mendapatkan orang yang sepertiku. Lagi pula kalau benar, solusinya juga mudah, silakan ambil alih. Jangan tambah mengatakan hal yang tidak menyenangkan. Melihat apa yang anak-anak ini lakukan, mereka tentu lebih baik daripada orang-orang yang mengataiku ‘tidak baik’. Mereka bisa menghargai seseorang karena ilmu dan usia, bukan dari apa yang terlihat dari luar oleh mata. Dan aku sangat berterimakasih, jauh dari apa yang anak-anak ini berikan, untukku hadiah yang lebih besar dari mereka adalah penerimaan.
Hari itu kuhabiskan sampai sore, karena tanaman-tanamanku tidak kusiram lima hari, kulanjutkan dengan nyapu dan ngepel. Kebetulan area ruangan kegiatanku ini tidak dibersihkan oleh petugas khusus, jadi selalu kubersihkan sendiri. Salah seorang teman menyarankanku untuk mengajukannya pada ‘atasan’, tapi akhirnya malah dapat balasan tidak menyenangkan. Untuk menambah tugas itu, katanya tidak ada anggaran, haha. Yah.. Lagipula aku masih bisa mengatasinya sendiri sih.
Aku masih punya waktu dua jam sebelum pulang. Maklum, sejak bapakku sakit aku jadi punya ‘tugas’ tambahan (yang sebenarnya bukan tanggung jawabku, atau juga bapakku, kemanakah orang-orang ooooo, sudahlah haha). Jadi aku hanya punya waktu ‘hidup’ sampai sekitar jam delapan malam. Kembali soal hari guru..Tentu aku harus berterimakasih kepada guruku yang satu ini.. Sisa hari itu aku gunakan untuk berkunjung ke makam Bapa, Kyai Abunyamin Ruhiat. Hal seperti ini orang-orang biasa menyebutnya berziarah. Sebagai alumni sekolah Islam, agak menyedihkan memang bahwa aku tidak tahu cara berziarah yang benar. Tawasul-tahlil ge teu katalar. Jadi kalau ke sini aku paling curhat saja. Mengatakan semuanya, terlebih soal kesulitanku tentang hari-hari melakukan-menjalani amanah terakhirnya Bapa kepadaku. Mendoakan Bapa dengan Bahasa Sunda atau Indonesia, dan diakhiri dengan do’a Allahumaghfirlahu. Almarhum Bapa pasti seseurian kalau tahu tentang ini dari dulu. Maaf ya Paaa hehe..
Aku diantar Cep Thoriq yang kebetulan bertemu saat aku
hendak lewat kompleks pesantren. Dia ini salah satu Putera mahkota yang
tersisa, yang sedang memperjuangkan‘cinta-nya’.
Merawat hadiah
Minggu, 26 November 2023. Mengawali hari ini aku tiba-tiba
ingin bernyanyi dulu. Membawakan potongan lagu Pie Jesu versi Andrew Lloyd-Robert
Fripp yang tentu dikenal khalayak orang-orang kristiani. Aku hanya ingin
mengingat waktu-waktu awal ketika mulai bernyanyi di gereja 2012 dulu, dan lagu
ini salah satu dari tujuh lagu yang tiba-tiba kunyanyikan gara-gara harus
menghandel temanku yang kecelakaan. Cara bernyanyi begini sebenarnya lebih
‘fit’ buatku, tipe-tipe music spiritual (daripada nyanyi pop sih), dan aku juga
merasa lebih nyaman saja nyanyi di paduan suara Gregorian (jadi, teu pati
kadangu mun kabeneran sumang da lobaan pan, haha). Dan aku ternyata masih bisa
nyanyi dengan cara ini. Yah.. Meski bagi beberapa hal ini pasti akan membuat
‘kontroversi’. Sosial kita ini memang selalu aranéh, nanaon jadi piomongeun wééé.
Teu pira nyanyi, komo bangun arédan gedé sigana mun uing mabok jeung
judi. Hahaa
Hari ini kurencanakan untuk memindahkan dan mengatur layout tanaman-tanaman yang diberikan alumni sanggar M. Zainal Fikri yang mengelola bisnis tanaman-tanamannya, Otong Green-House Lembang. Jadi aku mesti mencari-mengolah tanah untuk media tanam. Aku mengambilnya dari balong yang sedang berhenti ‘beroperasi’ sementara. Lalu memindahkannya ke pot-pot yang sudah kubeli tiga hari sebelum ini.
Lumayan melelahkan, aku baru bisa istirahat pukul satu siang, mulai mengerjakan sedari jam sembilan pagi. Batu-batu juga sedikit kurapikan, dan setelah selesai malah jadi tempat main si Ayang. Kucing baru si Ibu yang membuat si Challa cemburu.
Baiklah, hari ini Aku cukup lega, menjalani hari sesuai
rencana.
Lalu, besok senin. Sial, haha
Senin, 20 November 2023
Mengeja waktu
Nyanyian dari cinta yang masih murni
Menolong seseorang. Dari penglihatannya
Menjadi nyala bara. Membakar dalam diri
Tentang percaya yang disalah guna
Dua minggu sudah waktuku tersita. Kewajiban-kewajiban kutinggalkan
sebagai harga kebahagiaan pertemuan. Bukan untukku tapi bagi mereka yang pernah
ada di sini. Ini agak berat karena sebagai seorang yang tinggal di sini kami
harus memperlihatkan keadaan yang baik-baik saja.
Reuni akbar SMA Islam Cipasung 1962-2023. Ini sejak awal memang
sudah ide gila. Mengumpulkan orang-orang sebanyak 61 angkatan itu pada satu
hari kepulangan. Dan sudah kuperkirakan permasalahan-permasalahan yang akan
timbul gara-gara ini. Aku sempat biasa saja, sebenarnya aku ingin tinggal hadir
saja sebagai alumni. Tapi framing yang timbul dari hal-hal yang biasa
kukerjakan membuatku jadi teu walakaya mendapat amanah sebagai salah satu panitia
penyelenggara. Akhirnya yasudah, toh akupun tidak bisa memberikan prestasi apa-apa
sebagai seorang dari sini.
Kerujitanku dimulai dari penggarapan mars SMA Islam Cipasung yang sebenarnya lagu ini sudah ada dari zaman dulu, tapi tidak pernah ada rekaman dalam bentuk digital, memang ironi untuk sekolah sebesar ini yang telah meluluskan 61 angkatan. Salwa Inaya dan Yiyih kuambil sebagai guide sampel, supaya teman-temannya dapat menghafal. Ini butuh waktu 4 hari untukku, karena aku juga tidak begitu mengerti proses recording yang bagus. Jadi kukerjakan sebisaku saja.
Aku berperan sebagai penghubung tim talent lokal kepada tim besar seksi acara yang dilead kang Taufik Aryadewa dari angkatan 1997.
Jadi aku mesti ngurusi sebatalyon bocah-bocah dalam tiga segmen pertunjukkan. Tugas yang agak kurang cocok untukku yang tidak begitu piawai dalam bersosial. 38 orang untuk paduan suara, 20 orang untuk tari dan 15 orang untuk tim music tradisi.
Untungnya
aku dibantu beberapa alumni sanggar yang potensial dan teman-teman proses kreatif, Rijal, Pa Asep, Yudi, Neng Mela & Imong, jadi kami bisa bagi-bagi
tugas. Kalau saja tidak sepertinya aku akan kewalahan.
Latihan-latihan jadi lebih intens seminggu terakhir. Satu
hari sebelum pelaksanaan tim padus mendapat vocal coaching dari Henny Raf Iroh
Hendrayani, alumni dari tahun 1981. Bu Henny ini kiranya adalah seorang aktris
dan penyanyi senior. Bersama Bu Henny, tim padus menjadi chor saat Bu Henny menyanyikan
shalawat.
Tim paduan suara saat acara
Kami berfoto setelah selesai bagian pertunjukkan
Bapaku bisa bertemu dengan teman-temannya kembali, hampir
sebulan dia sakit. Dan dia terlihat senang. Itu sudah cukup buatku.
Teh Mia Faiza Imran & Bu Henny. Bertiga dari lebih dari
se-kodi tim acara. Teh Mia ini kakak dari temanku semasa Aliyah, dan almarhum ayahnya
pernah mengajar juga di SMA Islam Cipasung.
Adule ‘Otong’ Zainal Fikri, melihatku yang suka dengan
tanaman, eks ketua Sanggar Gama ini datang dan memberiku setengah kolbak
tanaman hias dari Bandung.
Yang tidak kalah mengambil perhatianku adalah Pembacaan puisi dari Harris Samudera-Henny Hendrayani-Acep Zamzam Noor. Sungguh langka melihatnya di panggung yang sebenarnya ‘miliknya’ ini. Membawakan pembacaan puisi ditengah-tengah acara reuni yang pasti chaos sangatlah beresiko. Tapi itu tidak menjadi halangan orang-orang senior ini. Karena orang-orang yang mencintainya, pasti tetap akan mendengarkan meski dalam kegaduhan.
Aku semakin
mendekat pada kepunahan yang disimpan bumi
Pada lahan-lahan kepedihan masih kutanam bijian hari
Segala tumbuhan dan pohonan membuahkan pahala segar
Bagi pagar-pagar bambu yang dibangun keimananku
Mendekatlah padaku dan dengarkan kasidah ikan-ikan
Kini hatiku kolam yang menyimpan kemurnianmu
Penggalan puisi berjudul Cipasung ini tetap membuatku bergetar. Semakin lama tinggal di sini, makna puisinya semakin terasa. Puisi ini dibuat tahun 1989, tapi betapa Acep sudah dapat ‘ngirong’ apa yang akan terjadi di tempat ini kemudian hari. Kukira Acep menuliskannya dari dua perspektif, sebagai seorang dari dalam dan sebagai seorang yang dari luar memandang tempat kelahiran dan tumbuhnya itu.
Hari reuni juga bertepatan dengan Haul KH. Abunyamin Ruhiat yang pertama. Jadi.. Bapa sudah meninggalkanku setahun.. Aku sebenarnya ingin mengikutinya dengan khidmat, tapi dengan segala kerujitan hari itu aku hanya ngelol sebentar saja. Aku benar-benar kelelahan dan butuh waktu mengejar tidur untuk istirahat.
Aku pergi ke makam Bapa di waktu yang tepat, karena orang-orang
lebih terpusat di area sekitaran masjid tempat venue haul. Aku diantar Cep
Thoriq sekedar buat curhat ke Bapa tentang hari itu.
Aku juga bertemu dengan Cep Rijal, putra bungsu KH. Dudung Abdul Halim. Nilai-nilai lama tentu selalu baik, tapi nilai baru juga mesti mulai diadopsi supaya dapat ‘menyesuaikan’. Ini cukup menenangkan juga, mengetahui mereka mulai bergerak untuk tempat yang mereka ‘miliki’ itu. Yang mesti digenosida harusnya bukan Palestina, tapi orang-orang yang mendapat kepercayaan tapi salah digunakan.
Deden Muammar Khadafi. Dulu Bapa menyukai dan memiliki
kedekatan dengan beberapa orang santrinya. Salah satunya dia, yang jelas shaleh,
pinter ditambah lagi suaranya bagus. Kami pernah Bersama-sama saat diamanahi
untuk berbagi ilmu di SMA. Dia sekarang sudah tinggal di rumahnya, di Cileungsi
Bogor. Dia tetap mengajar di Pesantrennya selain itu dia bercerita tentang
kegiatannya yang terakhir mengikuti pengkaderan ulama muda. Yah.. Itu sudah ‘fit’
sama dia sih.. Hehe
Tepat dihari yang sama, kabar duka juga sampai dari A Rais. Salah satu guruku berkesenian ibunya wafat. Aku dan teh Oci baru bisa berkunjung sehari setelahnya.
Menelpon Ririn Oktorida, temanku semasa belajar di EV. Perempuan Nusa Tenggara Timur yang senyum lebarnya selalu membuat orang bahagia.. 20 November ulang tahunnya. Jadi kami teman-teman sekelas menelponnya bersama.
Waktu yang sangat padat. Reuni akbar SMA Islam Cipasung & Haul KH. Abunyamin Ruhiat pertama digelar. Aku tidak pernah sesibuk ini. Banyak pertemuan-pertemuan baik.. Tapi daripada pertemuan, aku lebih mendapat penglihatan-penglihatan..
2023
Jumat, 10 November 2023
Anak yang terjebak, cara seseorang dibesarkan dan masa tua.
Hari yang
agak panjang. keadaan pertengahan bulan yang mulai mencekik keadaan, setengah
hari sabtu kemarin ini kupakai untuk ‘ngamen’ translating naskah, yah..
Lumayanlah buat jajan, aku jadi tidak tahu kerjaanku yang jelas ini sebenarnya apa sih haha. Lalu mengejar online meeting pukul satu siang karena harus membantu guru
Bahasa Inggris di sekolahku yang dulu sampai menjelang sore. Aku menghubungkan
para pelajar ekstrakurikuler Bahasa pada kenalanku di IES untuk memberikan
pengalaman tentang English speaking. ‘Percobaan’ pertama ini tidak terlalu
buruk, terlebih untuk tempat pendidikan yang katanya ingin ‘berkembang’ tapi
selalu saja setengah-setengah. Padahal bagaimanapun semua sadar penuh akar
permasalahannya. Tentang ini.. Sebenarnya aku sedikit menyayangkan nama
besarnya yang sudah dikenal dimana-mana, dikenal sejak lama. Terlebih Sekolah
ini akan merayakan reuni, ini agak ironi dengan keadaannya yang masih dibuat gonjang-ganjing
masa transisi.
Pulang ke Saung. Musim panas panjang, aku tidak punya pilihan tempat lain yang paling cocok untuk mendinginkan tubuh dan pikiran yang perlu dibasuh. Menunggu petang datang, duduk sebentar dan membaca buku meski hanya dua lembar. Bapakku sedang sakit sudah masuk tiga minggu, jadi aku mesti melakukan ‘tugas’ yang biasa dia lakukan sementara ini. Padahal ini malam minggu, aku juga kadang ingin punya waktu keluar untuk bercumbu, hehe. Tapi yah.. Hal begitu sudah tidak kumiliki sejak lama. Lagipula hari ini cukup melelahkan, jadi kuputuskan untuk menulis hal yang ada di kepalaku saja, ini akan jadi tulisan Panjang yang tidak menyenangkan, tapi yah.. Namanya juga kegelisahan.
-
Anak yang
'terjebak' di kampung.
Aku memang
sering mendapatkan kesempatan perjalanan-perjalanan. Dari yang terdekat sampai
terjauh, sebentar bahkan bisa sampai berbulan. Dan itu seringkali tanpa biaya,
aku selalu dipertemukan orang-orang 'baik'. Framing tentangku sebagai pemuda
non-future oriented tukang ngador barangkali sudah lama lalu lalang terdengar
di telingaku. Bekerja ‘sagala’ dan seadanya dengan 'asal bisa bertahan esok
hari' ini sebenarnya bukan tanpa alasan. Aku bisa saja kesana-kemari meski
semisal jadi seorang kuli, lalu beberapa kolega menawariku 'pekerjaan' dengan
maksud menolong sisi finansialku. Tapi mekanisme keseharianku nyatanya tidak
sesederhana itu, aku tidak bisa mudah mengambil keputusan dan kesempatan itu
tanpa memikirkan ‘pinggir-pinggir-ku’. Ada yang mesti 'kulakukan', dengan atau
tanpa persetujuanku.
Moralitas, meski dibesarkan di keluarga yang tidak subur secara ekonomi, kukira aku masih cukup beruntung dibesarkan oleh orang tua yang relatif 'liberal' di dalam keluarga besar yang konservatif akut. Gara-gara ini Aku sering didalih soal agama oleh saudara-saudaraku sendiri, itu hal yang tentu saja baik, sangat-sangat baik, dan aku sangat menerimanya. Tapi sebenarnya ini nihil juga jika diterapkan dikeadaan keluargaku. Barangkali benar Aku bukan seorang muslim yang baik, tapi aku masih menjunjung tinggi nilai adab. Di hari ini, hal-hal yang kulakukan ini, Aku tidak pernah menganggap hal yang kulakukan ini dengan istilah balas budi. Karena dalam agama yang kuyakini, ini adalah salah satu bentuk kewajiban dalam berkehidupan. Itu yang kudapatkan, dan tidak perlu lagi untuk diucapkan pada lain orang jika kita sendiri ada dalam keadaan ketidak-mampuan. Mohon hati-hati kalua bicara. Sesuaikan dengan siapa, dan bagaimana keadaanya.
Meski ada
yang ingin kukejar, tapi masih ada hal lain yang tidak bisa ditawar.
Setelah
kakak laki-laki ku pindah dan tinggal di luar pulau, aku satu-satunya anak yang
diandalkan mengurusi hal-hal fisik dan mobilitas di rumah, yang sebenarnya
bukan tidak mungkin pun dilakukan oleh perempuan. Tapi yaa.. Karena aku juga
tidak begitu berguna di sisi lain, minimal ini hal yang bisa dilakukan
sekarang. Ini seringkali membuatku bimbang, saat usiaku ini yang seharusnya
sudah mulai atau cukup 'mapan', aku mesti tetap 'tinggal' di kampung halaman.
Mungkin iya Aku masih bisa bermekar, tapi Aku tidak pernah bisa melewati pagar
taman. Masa-masa keliaranku sekarang mesti dibatasi, dan mau tidak mau harus
mengambil 'tugas' yang sebenarnya bukan sepenuhnya tanggung jawabku. Tapi
sekali lagi moralitas, aku berterimakasih kepada ibu-bapakku yang 'orang-orang'
katai tidak lebih baik itu, yang sudah mendidikku soal ini.
“Batur
jadi dulur, dulur jadi batur”. Kiranya khazanah pribahasa ini tidak berlebihan dan bukan tanpa alasan
dibuat oleh leluhur orang Sunda zaman dahulu. Soal kehidupan, sejauh ini kurasa
Aku lebih banyak mendapat bantuan dari orang-orang yang tidak berhubungan
secara keluarga. Seperti sekitaran tahun 2019 aku diurus dengan baik oleh salah
satu keluarga kebangsaan Brazil saat berada di titik bawah. Tradisi 'Familie
first value' Amerika Latin yang dimiliki oleh mereka tidak begitu
mengagetkanku. Karena di rumahku, sejak dulu kukira sudah begitu. Kami sudah
biasa bahu-membahu, bahkan sampai giliran ngutang untuk dapat memenuhi
'kebutuhan' diantara kami atas perhitungan tingkat urgensi. Jadi waktu itu
tidak sulit buatku saat aku mulai berbaur-beradaptasi hidup dengan keluarga
ini. Mereka semua Kristen tapi tidak ada sedikitpun indikasi-distraksi
'keagamaan' yang kurasakan dari mereka mengingat aku yang memeluk agama Islam. Sesuatu
yang bernilai baik, akan tetap bernilai baik. Tapi itu mesti dibersamai dengan
'pelaksanaannya', bukan hanya lisan semata.
Bagaimana
seorang berlaku dipengaruhi oleh bagaimana ia dibesarkan.
Ada
pertanyaan menarik yang kudapat dari kakak perempuanku saat makan malam petang
bersama di rumah, “Kenapa kalian (Aku dan Bapakku) senang memelihara luka ?”.
Aku tidak menyangkalnya karena memang sering kulakukan dengan kesadaran penuh,
kalau buatku, karena sering kupakai buat bahan-bahan menulis, menggambar atau
bikin lagu. Tapi dipikir-pikir setelah kususur, ternyata banyak juga dari
keluargaku yang melakukannya itu, jadi ini bukan perkara yang ‘hanya aku saja’.
Mungkin tidak hanya tentang luka, tapi juga pada memelihara ingatan lainnya,
yah itu bisa ingatan yang baik atau pula tidak baik. Apakah penting ?, buatku
yang tidak memiliki apapun, itu tentu penting.
Aku cukup
beruntung karena bisa menceritakan apapun pada keluarga dengan leluasa. Dari
yang penting sampai yang paling anjing. Kami yang tidak punya apapun untuk
dibagikan ketika pulang, seringkali hanya bisa membagikan cerita-cerita tentang
keseharian. Karena kultur kerucut masalah kehidupan di Indonesia hanya tiga, kami
anak-anak dari keluarga yang biasa-biasa ini sejak kecil sudah ditanami mesti
mengganti pesona dengan karakter, uang dengan etika, privilege dengan isi
kepala. Dan itu benar-benar bekerja.
Usia tua
bisa jadi sangat tidak menyenangkan. Aku dapat menerima bahwa setiap manusia
suatu saat akan ditinggalkan. Secara alami ataupun buatan. Bisa ditinggalkan
karena wafat, atau ditinggalkan dengan alasan permasalahan. Di ranah
pendidikan, kita sering sekali dijejal tentang teori yang mengatakan bahwa
manusia adalah makhluk sosial. Keberadaan yang selalu membutuhkan orang lain.
Sejak dulu, sejak usia sekolah menengah, aku sudah berpikir, bagaimana mengatasi
teori itu. Ini sama sekali bukan tentang soal jenis kepribadianku yang pernah menjadi
seorang Introvert, tapi saat itu aku lebih berpikir pada bagaimana aku akan
menghadapi keadaan ‘ditinggalkan’ itu suatu saat nanti.
Aku
berkali-kali mendengar cerita yang sama dari seorang sepuh di keluargaku yang sekarag
tinggal sendirian. Dan beliau tidak sadar bercerita tentang itu padaku
berkali-kali, bahkan setelah kemarin malam hari. Tapi aku tidak pernah
memotongnya meski aku sudah tau persis kemana arah jalan ceritanya. Pelupa,
pikun ? Syukurnya tidak, beliau masih sehat secara ingatan. Di usia lanjut,
aktivitasnya jadi berkurang dan intensitas komunikasinya sangat sedikit. Jadi
yang beliau 'temukan' setiap hari bisa jadi tidak begitu banyak. Kurasa ini
sebabnya yang diceritakan masih hal yang sama atau tidak begitu jauh dari yang
sebelum-sebelumnya. Tentang yang beliau ceritakan, terlepas dari nilai
perasaannya yang bahagia atau tidak, barangkali baginya, itulah waktu terbaik
semasa hidupnya yang tetap melekat dalam ingatannya. Dan ini kukira bisa jadi
karena beliau tidak punya cukup waktu atau tidak punya siapapun untuk sekedar
hanya bisa bercerita, dengan ‘leluasa’.
Birrul
Walidain, kewajiban mengurus orang tua.
عن
أبي هريرة
رضي الله
عنه قال
سمعتُ رسولَ
الله صلى
الله عليه
وسلم يقول
رَغِمَ أنْفُهُ،
رَغِمَ أنْفُهُ،
رَغِمَ أنْفُهُ
قيل مَنْ
يا رسولَ
اللهِ؟ قال
مَنْ أدْرَكَ
وَالِدَيْهِ عِنْدَ
الْكِبَرِ أَحَدُهُما
أَوْ كِلَاهما
ثمَّ لَمْ
يَدْخُلِ الجَنَّةَ
Artinya, “Dari sahabat Abu Hurairah ra, ia mendengar
Rasulullah saw bersabda, ‘Celakalah seseorang, celakalah, dan celakalah.’
Sahabat bertanya, ‘Siapa ya Rasul?’ Rasul menjawab, ‘Orang yang mendapati kedua
orang tuanya menua baik salah satu maupun keduanya, lalu ia tidak masuk ke
surga,’”(HR Muslim).
Jarang sekali aku mengutip hal-hal seperti ini di
tulisanku. Karena keagamaan sama sekali bukan field-ku dan aku tidak
kapabel tentang ini. Ini hanya satu dari sekian banyak hadits tentang merawat
orang tua, aku memilih yang ini karena kebanyakan orang Islam disekitarku yang
terdiri dari beberapa jenis Islam, Islam lekoh, Islam bijak, bahkan Islam ktp sampai
Islam protestan selalu berbicara surga dan neraka sebagai tujuan. Aku
tidak berfokus soal surga di hadits itu, itu urusan lain. Buatku yang penting
adalah perasaan kedamaian ketika kita-semua merasa sama-sama baik.
Kakakku yang paling tua tinggal di Yogya. Dia seorang
Katolik dan aktif dalam divisi lingkungan gereja-nya. Salah satu tugasnya
adalah mengecek keadaan orang-orang dalam komuni-nya, terutama orang tua dan
anak-anak yatim. Memperhatikan kesehatan, kebutuhan, bahkan hanya untuk sekedar
mengajaknya berbicara. Dan kebanyakan, mereka tidak ada sangkut paut
kekeluargaan secara biologis, dalam keadaan lingkungan kosmopolit-beraneka
ragam tempat berasal. Dan mereka melakukan itu hanya dengan asas bakti dan
titah ajaran. Ironi lain buatku yang hidup di kampung yang lekat dengan
nilai-nilai Islam, tapi implementasinya malah kulihat dari seberang. Saling
mengasihi terkesan hanya digunakan sebagai kepentingan, diambil fotonya sebagai
pencitraan.
Dengan melihat
itu-dengan keadaan bapaku yang sakit segini saja aku sudah tidak nyaman
kemana-mana atau melakukan apa. Tapi gara-gara ini Aku jadi sedikit kepikiran,
bahwa banyak juga anak-anak yang bisa meninggalkan orang tuanya dengan atau
saat keadaannya kurang baik. Aku jadi bertanya-tanya bagaimana mereka bisa
mengatasi kegelisahan semacam itu sambil melanjutkan kehidupannya. Jika semisal
meninggalkan orang tua dengan alasan sudah menikah, maka gara-gara ini juga aku
tidak begitu melihat pernikahan bukan hanya soal indah penyatuan, tapi juga
cara pemisahan dengan pelan-pelan. Mengganti kedatangan dengan kepergian, ini
yang kumaksudkan meninggalkan dengan ‘alasan’ di paragraph sebelumnya, dan
menurut ibuku itu ‘teu nanaon’, meski kurasa masih ‘nanaon’ (seoranh guru ngaji pernah kutanyai ini, tapi jawabannya hanya dengan "Apa boleh buat", yang membuatku tidak puas). Aku tidak bermaksud
atau berprasangka apapun pada mereka tentang ini, tapi kalau mereka punya jawaban yang bagus tentang
pola meninggalkan ini, aku mau minta tips untuk penyelesaian permasalahanku,
tapi jika semisal jawabannya adalah uang, maka aku akan berhenti bertanya,
karena itu sudah bukan bagianku, dan agak menyedihkan. Aku kurang puas kalau bisa
menggadaikan perasaan hanya dengan ukuran itu.
Tapi sebagai
catatan, tidak semua orangtua yang sudah
lanjut usia butuh diurus, ataupun ingin terus-menerus tinggal di rumah
anak-anak mereka. Mereka mungkin lebih memilih tinggal di panti jompo. Atau,
mereka mungkin saja masih bisa hidup mandiri. Terlepas apapun pilihannya, kita
tetap bertanggung jawab atas mereka.
-
29. Banyak
hal berubah, kepalaku juga bekerja dengan cara lain, tubuhku kadang tidak
mendengarkanku. Ibu-bapakku dulu seorang perokok yang cukup parah, dan sewaktu
aku kecil aku membenci kebiasaan mereka itu. Tapi ternyata sekarang malah aku
yang melakukannya. Sejak dulu, aku selalu dan sudah terbiasa terlambat
mendapatkan apapun, termasuk dalam 'ketidak-baikan'. Kukira aku masih pemula
tentang masalah merokok, baru masuk tahun ketiga, dan aku sudah merasakan
bagaimana efek ketergantungannya. Tapi aku cukup puas bahwa prilaku ini
kuputuskan sendiri, bukan ajakan dari seseorang atau keterpengaruhan
lingkungan, jadi Aku tidak perlu menyalahkan siapapun selain diriku sendiri.
Sifat adiktif Ini dipandang kebanyakan buruk, tapi kiranya sekarang aku agak
mengerti soal kebiasaan orangtuaku yang dulu candu merokok, barangkali hal itu
saja 'kemewahan' yang memungkinkan didapatkan oleh mereka saat itu. Meski hari
ini mereka harus menukarnya dengan harga kesehatan.
Masa
kecilku dulu tinggal di rumah dengan 4 kepala keluarga. Ruang 'bertemu' menyatu
dengan dapur mereka semua. Pisau-pisau yang disimpan berjejer di meja itu menjadi
pemandangan setiap hari. Sejak usia itu aku sudah punya imajinasi liar untuk
bunuh diri, padahal rasanya dulu cuma gara-gara masalah sepele (tapi belum
pernah juga berani kulakukan), maksudku sejak seusia itu aku sudah melihat
kematian sebagai jalan akhir yang lebih mudah. Tidak seperti anak yang lain
yang hari-harinya penuh bermain, seusia itu Aku sudah dapat memikirkan
kehidupan dengan cara yang lain.
Melihat
pola kehidupan di sekitarku sekarang aku jadi agak terpikir masa tentang masa
tua. Kukira jika aku memang sudah tidak bermanfaat, aku tidak keberatan jika
semisal mati diusia yang masih muda. 'Kamu tidak mau menikah ?', aku sih tidak
keberatan jikapun ditakdirkan untuk tidak, ini cikal bakal dari perasaan
kehilangan yang akan timbul untuk istri dan anak-anakku jika aku wafat,
perasaan yang akan merepotkan mereka suatu saat nanti. Meski di lain sisi tentu
sepertinya akan menyenangkan jika memiliki seseorang dihari-hari ketika
rambutku berubah warna. Tentang perihal ini kuserahkan Kumaha Alloh saja.
Aku kadang
menginginkan cara pergi seperti almarhumah temanku Desy, dia memiliki cara
pergi yang menurutku paling indah, dikelilingi oleh orang-orang yang
menyayanginya. Tapi kadang aku ingin mati seperti seekor kucing saja yang
ujug-ujug ngaleungit. Tidak ada yang tahu, bisa pergi kapan saja.
Tapi lepas
dari itu, yang penting Aku tidak mau jika masa tuaku malah jadi sampai merepotkan
orang lain. Aku tidak mau ada seorang yang waktunya terenggut gara-gara aku
yang bukan tanggung jawabnya. Aku tidak mau ada seorang yang mesti memilihku
atau masa depannya.
.