Barangkali Ini adalah hal yang diluar ekspektasi yang kudapat selama dalam program di EV. Bagaimana tidak, aku mengapply program di EV dengan bayangan tentang pembelajaran bahasa Inggris yang intensif, tapi ternyata EV 'menawarkan' pengetahuan yang baru-yang lebih untukku.
Kelas ini diampu oleh Ms. Susan Millikan dari Amerika yang sudah 5 tahun tinggal di Bandung. Pendidikan Ms. Susan adalah Sarjana Seni Komunal, dan coach-psikolog dengan metode Enneagram yang sudah bersertifikat. Selain itu Ms. Susan juga aktif pada Young Interfaith Peacemaker Community & di lembaga sosial komunitas Free and Safe Women.
Kelas ini memfasilitasi kami kiranya untuk saling mengenal tentang perbedaan agama-kepercayaan. Jika dalam Islam mungkin ini bisa disebut juga dengan silaturahmi. Kebetulan para partisipan EV tahun ini memiliki tiga agama-kepercayaan yang berbeda, Kristen, Islam dan Buddha. Sebelum kelas ini dimulai, Ms. Susan memberikan guidlines atau garis batas dalam kelas interfaith ini. Intinya kelas Interfaith bukan untuk berdebat-memperdebatkan. Tidak boleh ada indikasi 'ajakan' untuk berpindah agama-kepercayaan, atau malah mengkombinasikan semua agama-kepercayaan yang ada. Melainkan sebaliknya untuk saling mengenali satu sama lain, memaknai bagaimana dan seperti apa hal yang tidak kita ketahui tentang sesuatu yang berada di 'sebrang' kita. Sebagai pengetahuan.
Secara pribadi ini menarik untukku, karena aku berasal dari daerah perkampungan yang notabene pola masyarakatnya homogen, semuanya memeluk agama 'Islam' (kecuali di daerah perkotaan). Jadi menemukan seseorang atau hal-hal yang di luar agamaku sendiri tentu sangat jarang. Pengalaman yang membuka jendela lain.
Fillie & David. Kiranya kami jadi representasi untuk partisipan EV tahun ini. Aku yang beragama Islam (meskipun tidak baik hehe), lalu Filbert yang seorang Buddha, lalu David yang seorang Kristen.
Buatku, kelas interfaith ini semacam 'pengajian'. Pembelajaran kelas interfaith ini mempelajari sifat-sifat baik di kehidupan. Satu sifat di setiap harinya. Dan yang menarik adalah referensi yang diambil untuk ini berasal dari ayat Al-Qur'an, Bible dan Tripitaka. Kami bergiliran membaca skriptur.
Ms. Susan selalu memberi kesempatan partisipan untuk bergiliran membaca referensi, kami orang Islam membaca Bible (terjemahannya) karena ayat yang diambil menggunakan tulisan yunani, ini membuatku terkesima saat Ririn seorang partisipan kristen dapat membaca tulisannya !, Lalu orang Kristen membaca ayat Al-Qur'an (terjemahannya) biasanya ayat arabnya kami yang beragama Islam yang membacanya, dan terakhir Islam/Kristen membaca skriptur Buddha.
Ms. Susan menjelaskan satu persatu referensi, dari kata-perkata sampai semuanya terasa jelas dan difahami, karena materi disampaikan dengan bahasa Inggris, dengan pertimbangan dikhawatirkan adanya perbedaan pemahaman. Lalu Ms. Susan biasanya menginstruksi membuat kelompok kecil 2-3 orang (tiap kelompok berisikan partisipan yang berbeda agama-kepercayaan), setelah itu kami diberi waktu untuk sharing tentang hal yang berkaitan dengan tema yang diambil. Itu boleh berdasarkan perspektif kita atau pengalaman kita yang nyata. Setelah selesai, Ms. Susan akan memberikan konklusi tentang materi yang kita pelajari pada kelas itu. Hal yang 'menyegarkan' untuk memulai setiap hari kita selama berkegiatan di EV.
Dari selama pembelajaran di kelas Interfaith, kami mempelajari sifat-sifat baik sosial-kemanusiaan, Tolerance, Humility, Honesty, Generosity, Contentment, Courage, Discipline, Mercy & Peace.
Dan apa yang kudapatkan ? Semua agama memang mengajarkan kebaikan.. Tidak ada tendensi selama pembelajaran berjalan, semuanya dengan porsi masing-masing. Tidak ada alis yang mengkerut tanda timbulnya emosi. Nada bicara kami semua tenang, kami saling mendengarkan, kami jadi semakin terbuka, dan terikat satu sama lain. Selama kita berbuat baik, tidak ada yang pernah menanyakan agama atau kepercayaan yang kita yakini..
Hal mengesankan lain dari kelas interfaith dialogue ini adalah kami punya kegiatan mengunjungi gereja dan mesjid. Para staff EV memberitahukan kepada kami untuk kegiatan ini tidak ada paksaan sama sekali. Jika semisal kami yang beragama Islam tidak berkenan masuk ke gereja tidak masalah, begitupun sebaliknya pada tempat ibadah lain, pada agama yang lain.
Dimulai pagi hari, yang pertama adalah kunjungan ke Gereja. Gereja yang kami kunjungi adalah Gereja IES (International English Service, dulu namanya BIC - Bandung International Church). Dari 7 partisipan Islam (5 laki-laki, dan 2 perempuan), barangkali aku satu-satunya yang masuk ke gereja. Aku hanya ingin tahu bagaimana tatacara beribadah agama kristen.
Selanjutnya kunjungan ke mesjid. Mesjid yang kami kunjungi adalah mesjid Agung Kota Bandung. Sejujurnya aku juga baru pertama kali kesini dan ternyata ramai sekali (mungkin karena berdampingan dengan alun-alun kota yang berfungsi sebagai ruang publik). Di Mesjid, kami yang beragama Islam menjelaskan hal-hal apa saja yang ada di sini, yang terjadi di sini. Kami beruntung diizinkan langsung dan diantar berkeliling oleh pengurus mesjid. Ilham, Jordi dan Rezal sebagai orang Bandung asli juga memudahkan kami saat memperkenalkan mesjid kepada teman-teman yang bukan beragama Islam. Mereka banyak sekali bertanyaaaa hehe dan kami harus dapat menjawab semuanya supaya 'perkenalan' mereka dengan mesjid bisa terwakilkan, dan mesti 'shahih' (terkonfirmasi), jadi kami nga boleh tuh mengarang-mengarang jawaban, salah-salah kan nanti jadi dosa kalau jawabannya tidak benar.
Kami dibawa berkeliling hampir ke semua sisi mesjid (kecuali daerah untuk perempuan). Mr. Rowland mencoba memukul bedug tanda akan dikumandangkannya Adzan. Kami juga mempraktikan dan menjelaskan tentang Wudlu pada teman-teman.
Di sisi lain mesjid di daerah khusus perempuan, Fitri dan Zarra mengantar grup perempuan berkeliling juga. Dan ini membuatku kaget haha.. Fitri dan Zarra mencoba memakaikan mukena pada teman-teman yang tidak beragama Islam. Mereka semua tampak tersenyum bahagia, berbagi dan mencoba pengalaman yang baik dengan 'perkenalan'.
Kami yang beragama Islam shalat dzuhur berjamaah di sana. Teman-teman yang lain yang tidak beragama Islam melihat kami beribadah dari dekat, sedari takbiratul ihram sampai selesai salam.
Hari itu kami tutup dengan refleksi saat malam harinya. Kami saling berbagi kesan tentang apa yang terjadi di kelas interfaith dialogue dan kunjungan gereja-mesjid. Semua diantara kami, tidak ada seorangpun yang keyakinan hatinya jadi terdistraksi. Malah kami jadi semakin kuat dengan masing-masing yang kami yakini. Selain itu kami jadi lebih terasa dekat, terikat satu sama lain. Kami diperlihatkan tentang keindahan dalam perbedaan.
Meski bukan seorang muslim yang baik, aku merasa terharu dan bangga. Aku mendapatkan kesempatan untuk mewakili agamaku sendiri dan memperkenalkannya pada teman-temanku. Dan aku juga ingin berterimakasih pada teman-temanku yang beragama kristen dan Buddha, sudah memperlihatkanku tentang 'rumah' mereka.
Beberapa waktu belakangan ini, isu perdebatan tentang agama begitu rentan ditemui. Masyarakat kita yang dulu mempercayai ke-bhineka-an sekarang begitu mudah dihasut dan dipecah-belah. Aku tidak faham kenapa ada oknum yang sampai hati merancang-melakukan permasalahan semacam itu (mungkin karena ada campur tangan politik dan lainnya). Padahal kedamaian rasanya lebih menggiurkan untuk dirasakan daripada panas dan ketidak-tentramannya perselisihan.
Di kelas ini. Ada perasaan yang indah yang kudapatkan, perasaan yang hanya bisa didapatkan saat saling melihat dan mendengarkan, memaknai dengan tulus pengertian.
Berandai jika teman-teman yang lain, atau masyarakat luas kita merasakan dan memaknai perasaan ini tanpa unsur kepentingan lain.. Aku rasa jalan menuju kedamaian dan ketentraman hati akan mudah terlihat cahayanya..
*Foto-foto : diambil oleh Pa Nathan & dokumentasi pribadi.
.
0 comments:
Posting Komentar