Padahal bulan keur nembongan
Ci soca nyangkrung nyaksian
Jungjunan kululuasan
Ngantunkeun kuring sorangan
Dipikir da memang takdir ilahi
-Cicih Cangkurileung, Kliningan.
-
Aku tidak pernah menyukai Jakarta, sebagai tempat yang harus kutinggali. Tempat segala masalah terbit (terutama soal kebijakan pemerintah) yang katanya sampel wajah negara. Dari mata seorang pemuda kampung yang kehidupan sehari-harinya berjalan dengan sendirinya, Jakarta memperlihatkan banyak pertanyaan yang entah harus ditanyakan kemana. Hal kecil seperti salah jalan saja di sini jadi begitu rumit, kadang harus memutar jalan berkali-kali sampai membuat alis berkernyit. Pergerakan yang serba terburu-buru, udara panas, air tidak segar. Hari tidak pernah mati, tapi kamu adalah sendiri ?. Orang-orang Jakarta, atau siapapun yang mencoba peruntungan di tempat ini kukira sungguh-sungguh pemberani. : atau tak punya pilihan lain lagi.
-
Selama tiga hari aku datang ke sini untuk memaknai obituari seorang yang berjasa dan kusegani, selama itu juga aku bulak-balik Jakarta-Bekasi. Setelah semua selesai aku hendak pulang ke kampung. Tapi aku ingin memastikan sesuatu, kedamaian lain yang selalu jadi pertanyaan orang-orang padaku setelah lima tahun berlalu, tentang siapa yang telah mengalahkanku.
: Seorang yang selalu mengirimkan senyum bahagianya saat ke gereja, seorang yang menyalamiku saat aku merayakan Idul fitri.
Dari itu aku kembali lagi ke Jakarta. Benar, kota yang memekarkan banyak gulana.
Beberapa menit sebelum tengah malam, kami merencanakan sua setelah dia selesai gereja, setelah aku seharian berkeliling kota. Ia memilihkan kedai yang namanya benar-benar hanya bisa disimpan di dalam kala. Aku sebenarnya tidak peduli di manapun, selama itu sama-sama tidak menyulitkan kita.
Esok harinya aku datang lebih dulu. Barangkali begitu lelaki lumrahnya memulai pertemuan dengan perempuan yang menjadi tuju. Memilih kopi tanpa gula, membayar dengan uang ‘nyata’ ketika orang-orang sudah ramai menggunakan transaksi yang tak terlihat mata.
Menunggunya datang, aku duduk di lantai dua. Sambil membaca buku yang ditulis Joko Pinurbo yang entah kenapa beberapa puisinya cocok dengan hari-hari terakhirku. Sebagai harga lain untuk bertemu, kita mesti sama-sama menukarkan jarak yang jauh dan waktu.
-
Di kota kata masih ada mata yang hening pandang
Mata waktu, mata sunyi : memanggil, menelan.
Seperti gua yang menyimpan hangat di dalam
Ceruk cinta yang haus mata. Ceruk perempuan
Malam ini aku aku akan tidur di matamu.
-Joko Pinurbo, 2004.
-
Tidak lebih dari sepuluh menit, dia datang mengucapkan salam ringan padaku. Mengenakan baju berwarna coklat canvas, dia bilang untuk pertemuan dia harus memastikan mengenakan pakaian yang 'pantas'.. Kujawab aku tidak pernah melihat tentang itu. Aku sudah merasa senang, selama ia masih kenan, selama kita ada berdekatan.
Duduk saling berhadapan, memulai obrolan dengan kabar seperti seorang yang sering bertemu. Membawakan cerita masing-masing pada hari-hari lain sebagai sumbu, sebelum hangat nyala sua menjadikannya merdu.
-
Di mana akan kaupertemukan aku
Dengan sajak-sajakku, seperti mempertemukan
Dua anak rantau yang lama memendam rindu
Tapi pura-pura sungkan bertemu.
- Aku Tidak Bisa Berjanji, Joko Pinurbo. 2004
-
Kita sama-sama tersenyum saat membaca penggalan puisi itu berdua. Karena aku hendak mengajaknya bertemu saat aku dalam acara sehari sebelumnya. Tapi dia berhalangan hadir karena harus ke gereja. Dia meminta maaf padaku tentang itu. “Kita sudah dan sedang bertemu, jadi tidak perlu memikirkan tentang itu..”, ujarku.
Pembicaraan mengembarakan kita, membuat waktu mengalir tak terasa. Aku jadi tiba-tiba lebih banyak bicara. Tapi Ia selalu mendengarkan setiap perkata atau tanya, khawatir membuatnya bosan, pelan aku meminta maaf padanya. Ia memaklumiku sebagai hanya lelaki kampung yang suka melukis, senang merawat bunga-bunga yang dapat ia temukan di mana saja, "Tidak apa-apa, aku suka..", ujarnya.
Itu membuatku merasa sangat 'diterima'.
"Namamu tersemat Antonius. Ini agak membingungkanku..", tanya nya padaku. "Itu nama pemberian dari seseorang untukku. Ini waktu dan seorang yang tepat. Jika kau tahu, ceritakanlah tentang nama ini padaku..", jawabku sambil tersenyum. "Saint Antonius, seorang suci Katolik. Seorang pelindung untuk hal-hal yang hilang. Bahkan pada kami seorang katolik, ada do'a khusus untuknya. Dipanjatkan untuk memohon berbagai hal, terutama untuk membantu menemukan barang-barang yang hilang, mendapatkan pekerjaan, dan mendapatkan kedamaian batin. Termasuk cinta yang belum ditemukan.", ia menjelaskan dengan mengembalikan senyuman.
-
Tapi, kukira pada akhirnya semua pembicaraan menyenangkan itu hanya untuk mengalihkan masing-masing kesadaran saja. Kesadaran tentang bahwa kita berada pada jalan yang berbeda. Dan kita tidak bisa melakukan apa-apa.
Seketika kita jadi saling terdiam. Lalu Ia melihat kecamuk di mataku, dan dia meredakannya, memegang tanganku.
Ada linang di mataku. "Tidak.. Aku membuat seseorang menangis.. Maafkan aku..", ia jadi berbicara tergesa. "Kamu tidak melakukan apapun.. Dan kamu tidak salah.. Tidak perlu meminta maaf..", sejenak aku memalingkan pandanganku.
Sebuah lagu mengalun di kedai itu, dia mengujar padaku kenapa harus terdengar lagu ini. "Sejujurnya, aku tidak tahu lagu ini.. Aku tidak pernah mendengarkannya..", ujarku padanya. Lalu aku menunjukkan lagu-lagu yang sering kudengarkan.. Pange Lingua Gloriosi, Credo I-IV, Kyrie Eleison. Ia terlihat kaget bahwa aku mendengarkan lagu-lagu ini. "Ini nyanyian kesukaanku.. Nyanyikanlah sedikit..", matanya melihat padaku. "Suaraku tidak bagus. Tidak hari ini.., mungkin untuk pertemuan lain ya..", jawabku..
: Saling menangkap suara, keramaian jadi terasing pada kami berdua.
“Boleh aku memelukmu ?”, tanya nya padaku. “Biar aku yang berpindah ke sebelahmu. Tetaplah di situ..”, jawabku. Kami jadi duduk bersebelahan. Tangannya melingkar dipinggangku, kepalanya tepat di dadaku. Kami berada pada keheningan.
"Jantungmu berdetak kencang.", ia menyela dalam pelukan.
"Bagaimana tidak, setelah ini aku akan kembali mendapat hari-hari sumbang". Jawab jujurku dari kedalaman.
Ia menyela tengadah pada wajahku, menyisir rambutku dengan jarinya dengan pelan, "Rambutmu bagus..". "Kamu menyukainya ?", ujarku. "Iya..", pelan menjawabku. "Aku tidak sering bersama perempuan. Dan selain ibuku, kau perempuan pertama yang mengatakan menyukai rambutku.., hal yang kusukai yang ada pada diriku sendiri.. Beberapa kali waktu lalu aku memotongnya untuk seseorang, tapi itu tidak pernah cukup untuk seorang atau siapapun yang tidak benar-benar menerimaku. Jadi.. Aku berterimakasih padamu..". Ia diam memelukku lagi.
Ia mencium kalung salibku. Aku mencium harum rambutnya.
"Aku membisikkan sesuatu pada salibmu..", ujarnya. Aku tidak menanyakan ia membisikkan apa.. Tapi matanya memberitahuku bahwa itu hal yang baik bagiku, seorang yang tak memiliki kuasa.
“Ini tidak baik.. Setelah ini carilah seorang lain, dan lepaskan aku.”, akhirnya aku mendapat kalimat ini darinya. “Itu akan kujawab nanti.. Sekarang, tetap duduk di sini. Aku tidak seperti yang lain yang memiliki banyak waktu denganmu lagi..”. : Kita masih sama-sama diam.
-
"Sampai kau menemukan seorang yang lain bagimu. Dan mungkin bertahun yang lain lagi bagiku."
-
Nama Antonius itu bagiku bekerja berkebalikan. Karena nyatanya aku lebih banyak mendapat kehilangan.
-
Di sisi sebuah kota. Kau dan aku berdua
Berbicara bagaimana kita akan melewati segalanya.
Lalu sama-sama lirih berbisik meminta jalan paling baik
Yang kelak akan diberikan masing-masing Tuhan kita.
-Jakarta menuju Tasik, 2025
-
Memberikan rasa pada hal apapun, seseorang, benda-benda, peristiwa, tempat dan waktu dapat membuatnya tinggal lebih lama bahkan abadi dalam ingatan-dalam jiwa. Barangkali semua perasaan berasal dari muara yang sama. Tapi disadari atau tidak, kesedihan tinggal lebih lama daripada bahagia.
Keduanya dimulai dari kata tanya yang berbeda. Bahagia dengan karena, sedih dengan mengapa.
-
Jungjunan pasti diri loba mungkir
Saha nu lepat?
Anu ngolémbar
Duh, ngolémbar
-
Padanya, aku sangat berterimakasih. Sekejapan, aku merasa sangat hidup, sebelum kembali redup.
Memasuki bulan kelahiran, aku pernah diberikan kebahagiaan oleh seseorang 'dari seberang jalan'.
Rona kedamaian yang langka. Darinya, aku mengetahui bahwa hatiku ternyata masih dapat bekerja.
: Terimakasih, Ignasia.
2025
0 comments:
Posting Komentar