Kita pun menonton awan berdansa dengan bulan
Seperti para lansia menarikan kenangan kesenangan bersama cucu
Memandikan hujan
Hingga kau datang mengalungkan kedua tangan
Di leher yang tak kuat lagi menyangga kerinduan
Sebab pelupuk mata mendambakan pejam
Yudhistira ANM Massardi - Kepada Waktu yang Tak Pulang
-
Sampai di Bekasi pukul lima kurang sepuluh. Ibu bertanya padaku apakah aku lelah jika langsung mengantarnya ke PDS. HB. Jassin-Taman Ismail Marzuki Jakarta, aku sontak menjawabnya tidak. Aku ingin segera ‘bertemu’ dengan Bapa.
“Eki, ini baju Bapa yang kamu minta waktu itu.. Ibu baru menemukannya..”, ujar bu Siska sambil memberikan ‘warisan’ dari Bapa buatku sebelum berangkat. ”Aku akan memakainya besok, Bu..”, sahutku dengan cepat. Warnanya hitam dengan corak merah. Kesan yang dalam, keberadaan ingatan yang merekah.
Kami berangkat bertiga. Ibu, Aku dan Mas Adit yang juga koleganya Bapa. Mas Kafka putera bungsu Bapa menyusul bertemu di tempat pameran.
Layout dan display pameran sudah hampir selesai dengan empat poster besar Yudhistira menyambut kedatangan yang sudah membuatku merinding diiring obrolan dengan Bu Siska diperjalanan.
Aku sangat beruntung untuk datang lebih dulu sebelum pameran ini dimulai esok harinya. Aku punya waktu yang lebih awal dan intens mendikte segala hal tentang perjalanan Bapa. Merenungi setiap ‘masa-nya’ tanpa terdistraksi pengunjung lain. ‘Membaca’ Bapa, sejak masa kecilnya, sampai usia dengan nama besarnya. Langit Jakarta cerah malam itu, tapi hujan perlahan turun bercucuran. Di pipiku.
Tidak seperti di kampungku. Jarak dan waktu di Jakarta bekerja dengan cara lain, tidak bisa ditebak. Dari itu Aku, ibu dan keluarga berangkat lebih awal sejak sore hari. Display pameran selesai, panggung pembukaan sudah sudah berdiri. Para tamu undangan mulai berdatangan. Seniman-budayawan terkemuka, jurnalis-wartawan senior, orang-orang media, sampai pemerintahan tingkat tinggi. Jika berbicara Yudhistira, aku sudah harus terbiasa dan tidak heran dengan orang-orang ‘besar’ yang akan kulihat di sekitaran.
Aku bertemu kembali dengan keluarga Bapa A Iga, Mba Taya, Mas Kafka, Mas Egi, Mba Dea, Mba Lisa, Pa Noorca, Bu Rayni, Pa Adhie dan banyak lagi. Teman-teman Bapa yang kukenali selama perjalanan Safari Sastra, Mba Wita Maharajo, Renny Djajoesman, Taufik Abrie, Pa Yanto Musthofa. Semuanya datang untuk mengenang Bapa dengan bahagia. Saling bertukar kabar dan cerita, selama kami tidak saling berpandang mata.
Taufik Abrie. Salah satu wartawan-jurnalis andalan Bapa yang meliput semua kegiatan kami saat Safari Sastra.
Jose Rizal Manua, salah satu temannya Bapa. Budayawan, sastrawan, pemeran, dan pelatih akting Indonesia. Jose juga merupakan pendiri teater anak-anak, Teater Tanah Air pada 1988.
Rita Sri Hastuti. Wartawan senior yang masih aktif menulis dan menjabat sebagai ketua departemen pemberdayaan perempuan pada Persatuan Wartawan Indonesia.
Juga tidak disangka ketemu dengannya. Imana Tahira, teman masa kecilku. Tata datang mewakili ayahnya Acep Zamzam Noor yang berhalangan hadir. Cipasung bertemu di Jakarta.
Yudhistira ANM Massardi. Novelis-penyair itu dikenang dengan penuh rindu. Pembukaan pameran dan launching Biografi Yudhistira berjalan dengan syahdu. Sambutan-sambutan diberikan oleh keluarga dan teman-teman dekat Bapa dengan membacakan puisi-puisi ciptaannya.
Lepas dari apapun, buatku ini adalah pameran yang emosional. Aku hanya sedikit mengetahui tentang Bapa dari singgungan obrolan almarhum Bapa selama aku memiliki waktu perjalanan bersama. Darisini aku mulai ‘dibukakan’ tentang Bapa di hari-harinya yang lain.
Jejak indah ini adalah harta.
Mba Wita Maharajo menceritakannya padaku tentang Bapa sambil berjalan menyusur potret-potret Bapa pada section lini masa. Aku seperti dibawa masuk pada masa mereka pada hari-hari itu. Tapi aku bertambah bahagia, mengetahui bagaimana Bapa dari pandangan sahabat-sahabatnya..
Jika Bu Siska bilang tidak hanya menginginkan sekedar pameran dan berharap sosok Bapa benar-benar hadir dan masuk pada ‘kedalaman’ pengunjung, pameran ini benar-benar ‘bekerja’ untukku. Aku semakin mengenali Bapa ‘pada waktunya yang lain’. Ibu bilang sayang Bapa hanya bisa menemaniku ‘setengah jalan’, tapi buatku ini adalah kebahagiaan. Betapa dengan hanya waktu sesingkat itu Bapa dapat mengubahku pada banyak pandangan.
Aku juga sangat berterimakasih pada Ibu. Telah dan tetap mencintai seorang yang sangat bermakna untukku..
Pameran Karya Yudhistira ini terbuka untuk umum, berlangsung di PDS. HB. Jassin, Taman Ismail Marzuki – Jakarta. Sampai tanggal 8 Mei 2025.
Bagi yang ingin memesan buku Mengunci Ingatan : Biografi Yudhistira ANM Massardi, bisa menghubungi nomor CP di bawah :
Taya : 081213933890
2025
Tidak seperti di kampungku. Jarak dan waktu di Jakarta bekerja dengan cara lain, tidak bisa ditebak. Dari itu Aku, ibu dan keluarga berangkat lebih awal sejak sore hari. Display pameran selesai, panggung pembukaan sudah sudah berdiri. Para tamu undangan mulai berdatangan. Seniman-budayawan terkemuka, jurnalis-wartawan senior, orang-orang media, sampai pemerintahan tingkat tinggi. Jika berbicara Yudhistira, aku sudah harus terbiasa dan tidak heran dengan orang-orang ‘besar’ yang akan kulihat di sekitaran.
Aku bertemu kembali dengan keluarga Bapa A Iga, Mba Taya, Mas Kafka, Mas Egi, Mba Dea, Mba Lisa, Pa Noorca, Bu Rayni, Pa Adhie dan banyak lagi. Teman-teman Bapa yang kukenali selama perjalanan Safari Sastra, Mba Wita Maharajo, Renny Djajoesman, Taufik Abrie, Pa Yanto Musthofa. Semuanya datang untuk mengenang Bapa dengan bahagia. Saling bertukar kabar dan cerita, selama kami tidak saling berpandang mata.
Iga Massardi, putera sulung Bapa. Kami punya waktu lama saat menunggu acara dimulai. Aiga menanyakanku bagaimana kabar dan kegiatanku setahun setelah tidak bersama Bapa. Karena a Iga akan tampil pada akhir seremonial, aku bertanya padanya apakah musisi senior sepertinya masih punya perasaan gugup saat akan memulai tampil.. Dia menjawab, "Aku lebih gugup karena harus berbicara mewakili Bapa.."..
Noorca M. Massardi. “Aku bukan Yudhis, panggil Om saja”..
Taufik Abrie. Salah satu wartawan-jurnalis andalan Bapa yang meliput semua kegiatan kami saat Safari Sastra.
Kiara. Puterinya a Iga. Bersama om Bandungnya, begitulah ia memanggilku.
Rita Sri Hastuti. Wartawan senior yang masih aktif menulis dan menjabat sebagai ketua departemen pemberdayaan perempuan pada Persatuan Wartawan Indonesia.
-
Yudhistira ANM Massardi. Novelis-penyair itu dikenang dengan penuh rindu. Pembukaan pameran dan launching Biografi Yudhistira berjalan dengan syahdu. Sambutan-sambutan diberikan oleh keluarga dan teman-teman dekat Bapa dengan membacakan puisi-puisi ciptaannya.
Sambutan dari keluarga besar oleh Pa Noorca.
Pembacaan puisi, perwakilan dari sahabat dekat. Renny Djajoesman.
A Iga putera sulung Bapa menutup seremonial pembukaan pameran dengan membawakan lagunya yang menjadi judul buku Biografi Yudhistia : Mengunci Ingatan.
Hampir semua kulihat yang berdiri ke atas panggung membawa linang di matanya. Ini seperti bukti bahwa Bapa selalu memiliki tempat istimewa dihati mereka..
Lepas dari apapun, buatku ini adalah pameran yang emosional. Aku hanya sedikit mengetahui tentang Bapa dari singgungan obrolan almarhum Bapa selama aku memiliki waktu perjalanan bersama. Darisini aku mulai ‘dibukakan’ tentang Bapa di hari-harinya yang lain.
Bapa sangat apik menyimpan karya-karyanya. Berbarengan dengan launching buku Biografinya, pameran Mengunci Ingatan ini menawarkan kita untuk melihat karya-karya besar Bapa seperti naskah asli novel Arjuna Mencari Cinta-nya yang fenomenal, novel-novel Bapa yang lain pada cetakan pertama dan terjemahan, buku-buku puisi, kartu pengenal kerja, artikel, jurnal-jurnal ulasan, lukisan-lukisan, ruang kerja, baju-baju, sampai surat-surat cintanya pada Bu Siska.
Jejak indah ini adalah harta.
Mba Wita Maharajo menceritakannya padaku tentang Bapa sambil berjalan menyusur potret-potret Bapa pada section lini masa. Aku seperti dibawa masuk pada masa mereka pada hari-hari itu. Tapi aku bertambah bahagia, mengetahui bagaimana Bapa dari pandangan sahabat-sahabatnya..
Lalu memboyongku pada potret Bapa bersama Franky Sahilatua. “Lihat ini, mereka sangat menawan saat masa-masa itu. Sebelum Safari kita, Yudhis bilang padaku bahwa dia bertemu anak yang mirip dengan Franky saat bernyanyi padaku, lalu aku ketemu kamu..”, Ujarnya.. Aku jadi terdiam. Aku tidak tahu cerita ini.. Dan Aku tidak tahu bagian mana yang menurut Bapa mirip, meski aku senang bisa membuat Bapa senang, tapi kukira Bapa terlalu berlebihan.. Aku sedih juga menyadari bagaimanapun aku belum sempat bisa menyanyikan yang terbaik apapun untuk Bapa..
Barangkali aku hanya membersamainya pada lima tahun terakhirnya saja, tapi Bapa selalu hidup di dalamku, selamanya.
Aku juga sangat berterimakasih pada Ibu. Telah dan tetap mencintai seorang yang sangat bermakna untukku..
Pameran Karya Yudhistira ini terbuka untuk umum, berlangsung di PDS. HB. Jassin, Taman Ismail Marzuki – Jakarta. Sampai tanggal 8 Mei 2025.
Bagi yang ingin memesan buku Mengunci Ingatan : Biografi Yudhistira ANM Massardi, bisa menghubungi nomor CP di bawah :
Taya : 081213933890
2025
0 comments:
Posting Komentar