Kamis, 08 Mei 2025

Bapa Masih Mengantarkanku

 

Waktu yang ditepatkan.

Penjadwalan launching “Biografi Yudhistira ANM Massardi : Mengunci Ingatan” ini sudah Bu Siska beritahukan padaku berbulan lalu sejak Bu Siska mengumpulkan data-data untuk keperluan penyususnan buku biografi Bapa. Dua minggu setelah kedatanganku pada pembukaan Pameran Karya Sastra Yudhistira di PDS. HB. Jassin, Bu Siska mengingatkanku untuk bersiap untuk ‘kembali’ lagi ke sana. Aku dilibatkan sebagai talent sesi pentas kedua kegiatan launching buku.

Jadi, aku akan berbagi panggung membawakan musikalisasi puisi dengan sederet nama-nama seniman-tokoh-musisi nasional-internasional dalam acara itu. Sebut saja Renny Djajoesman, salah satu legenda Rock Indonesia, Yuni Shara, Cak Lontong, Jose Rizal Manua, Ratih Sanggarwati, Adhie Massardi, Sal Priadi, Kunto Aji, Endah n’ Rhesa, Gema Isyak dan tentu saja putra sulung Bapa : Iga Massardi. Ini tentu membuatku gemetar, bahkan sejak dikirimkan flyer acara ini tersebar.

Tapi kegundahan kudapatkan saat pulang dari Jakarta, aku hampir tidak bisa ikut.  Sebagai ‘pekerja serabutan’, aku mendapat kabar bahwa tempatku bekerja punya kegiatan sehari setelah tanggal acara yang sudah dikabarkan Ibu, dengan jarak cukup yang jauh, itu berarti aku akan kesulitan jika aku mengerjakan keduanya. Di satu sisi aku punya kesempatan yang bagaimanapun tidak akan datang dua kali, di sisi lain aku juga harus memenuhi ‘tanggung jawabku’. Tapi Alhamdulillah, mungkin Allah sudah menetapkan kebaikan waktu untuk ‘mengizinkanku kembali menemui’ Bapa, kegiatan di tempatku bekerja digeser dua hari setelah launching Buku. Ini menarik kembali senyum di pipiku, aku tidak punya pilihan lain selain mempersiapkannya dengan baik menuju hari itu !

Setelah ‘memandatkan’ tanggung jawabku pada Rizal di kampung, aku berangkat sehari sebelum jadwal acara. Sebenarnya aku ingin sekali membawa anak yang sempat ikut juga pada Safari Sastra Yudhistira : Lirik Pantai Selatan yang menyusur daerah Jawa Timur itu ke Jakarta, tapi melihat keadaan, dia sangat paham bahwa harus ada yang melakukan hal-hal yang tidak bisa kukerjakan selama aku tidak ada di kampung halaman. Aku memang sangat terbantu olehnya sejak ditinggal guruku yang ‘dipindah tugaskan’ oleh Negara. Rizal barangkali hanya punya satu kesempatan perjalanan bersama Bapa, tapi sama sepertiku, dia merasa sangat menerima uluran tangan dari Bapa yang membuatnya punya cara berpikir dan mata yang berbeda.

 -

Tidak Pernah Habis

Perjalananku ke Bekasi kali ini sangat lancar tidak seperti yang sebelumnya. Berangkat pukul delapan pagi, aku sudah sampai rumah Bapa sore hari sebelum pukul setengah tiga. Sesampainya aku di sana, Bu Siska sedang tidak ada, jadi aku diladangan oleh adik-adiknya. Tapi itupun tidak lama, bu Siska datang berselang hanya sekitar lima belas menit saja. Sangat mengetahui Ibu mengurus ini-itu untuk acara besok, aku membiarkan Ibu mengerjakan apapun, mengatakan tak harus menemaniku. Selain itu, Ibu memberikanku dummy cetak biografi yang akan dilaunchingkan, aku jadi membacanya sampai Bu Siska senggang.

Dengan hanya bagian pengantar saja, buku biografi sudah membuatku mengeluarkan air mata. Setiap ke sini, aku biasanya mendapatkan obrolan di kursi depan rumah sambil merokok dan ngopi bersama Bapa. Kini aku hanya ‘membacanya’, tapi aku merasa Bapa sedang ada disampingku. Aku beberapa kali menyela melihat bunga-bunga di halaman setiap tetes hujan yang turun di pipiku. Buku yang sangat bagus dan menyebalkan.  Sedini ini aku sudah ditembaki kenangan-kenangan dalam ingatan.

Masih saat membaca buku, Pa Kaoru Kochi, teman Bapa dari Jepang datang. Aku lekas memberitahukan Ibu, akhirnya kami jadi pindah duduk bertiga di meja makan. Pa Kochi yang sudah fasih berbahasa Indonesia, kami jadi menuturkan kisah masing-masing satu persatu. Tapi seperti biasa, setiap aku ke sini aku selalu mendapat bagian cerita bapa yang tidak kutahu sebelumnya.

Bapa buatku masih seperti teka-teki, tentangnya aku mesti mencari sendiri hal-hal tidak kuketahui. Kendati lima tahun aku membersamainya, ternyata aku masih belum tahu apapun tentangnya. Dan setiap aku menemukan ‘bagian’, aku sangat bahagia. Karena semua yang kutahu tentang Bapa selalu berujung pada kebaikan yang istimewa.

Menuju petang, Mas Isyak-Musisi Safari Sastra pertama Bapa dari Solo sampai ke rumah Bapa. Dengannya, ini adalah pertemuanku yang ketiga kalinya sejak bertemu dan bernyanyi bersama di acara 70 tahun Yudhistira tahun 2024 lalu. Kali ini kami akan bernyanyi bersama lagi, permintaan dari Renny Djajoesman, kami akan membawakan lagu Perjalanan yang dibawakan Franky & Jane yang liriknya ditulis oleh Bapa, Isyak pada gitar dan aku pada biola.

Pertengahan kami briefing latihan, Diwan Masnawi juga datang, mewakili ayahnya Acep Zamzam Noor, salah satu sahabat Bapa yang berhalangan hadir. Malam semakin mesra, kami semua bergegas mengistirahatkan kelelahan semua.

PDS. HB. Jassin-Jakarta menjadi saksi hidup sastrawan

Cuaca juga seperti selalu menyambutku setiap aku kembali untuk Bapa. Kampungku Tasikmalaya bertemperatur lebih sejuk daripada Bekasi-Jakarta. Dua kota yang bersuhu panas ini seperti bermurah hati setiap aku datang ke sini. 3 Mei 2025, hujan besar malam sebelumnya menyejukkan cuaca cerah berawan keesokan harinya. Pukul setengah sepuluh pagi aku dan rombongan keluarga berangkat ke Jakarta. Kami sempat mendapati kemacetan. Sesampainya ke venue acara para keluarga sangat gesit mengerjakan ‘tugas-tugasnya’.

Backstage. Para penampil acara, notaben, ini semua teman-temannya mas Iga.


Gema Isyak Adam.


Endah & Rhesa.


Endah.


Kunto Aji.


Tamu-tamu berdatangan. Dengan reservasi 150 kursi, PDS. HB. Jassin rupanya tidak cukup menampung para tamu yang ingin mengenang dan mendalami Yudhistira. Pukul satu siang, acara launching buku Mengunci Ingatan : Biografi Yudhistira ANM Massardi dilangsungkan.

Sesi pertama, bedah buku Biografi Yudhistira. Bambang Sulistyo sebagai moderator mengundang semua narasumber yang mewakili enam bagian buku Biografi.

Yanto Musthofa, penulis dan periset yang juga kolega Bapa untuk perspektif dari editor.

Noorca Massardi, sastrawan, penulis, sutradara kembaran Yudhistira untuk bagian masa kecil.

Halim HD, penulis, kritikus sastra untuk bagian kisah Yudhistira di Yogyakarta.

Adri Darmajdi Woko, sastrawan dan sahabat Yudhistira untuk bagian kisah Yudhistira di fase  Bulungan-Jakarta.

Kaoru Kochi, dosen Kanda University of Intercultural Studies untuk bagian kisah Yudhistira fase Jepang dan masa kini.

Terakhir tentu Siska Massardi, istri Yudhistira untuk bagian kisah Yudhistira dari perspektif keluarga.

Audiens semua sangat khusyuk menyimak setiap tutur dari setiap perspektif narasumber. Satu jam yang sangat singkat. Kisah-kisah Yudhistira tersingkap satu-persatu. Berbeda rasa mendengar tentang Bapa dari orang-orang yang benar-benar mengenalnya-membersamainya melewati masa. Kami para generasi muda dibawa untuk ‘kembali’. Duduk di waktu ini, pikiran kami dikelanakan para saksi.

: Bapa menanam banyak bunga-bunga. Kini terlihat warna-warnanya bermekaran di mana-mana.

Menyapa keluarga dan sahabat-sahabat Bapa

Launching buku biografi Yudhistira ini jadi terlihat seperti reuni besar. Dan ini adalah kesempatanku untuk menyapa sahabat-sahabat Bapa. Pa Noorca dan Bu Rayni, selalu jadi yang pertama. Meski sudah beberapa kali, setiap aku bertemu pa Noorca aku selalu 'deg' jika bertemu dengannya, paras pa Noorca yang memang sangat mirip dengan Bapa selalu membuat rindu lebih menyerangku.

Pa Adhie Massardi adik Bapa.


Mba Taya. Satu-satunya kakak perempuanku di keluarga Bapa.


Mas Kafka. Putra bungsu kandungnya Bapa. Usianya cuma terpaut beberapa bulan saja denganku.

Renny Djajoesman dan Wita Maharajo, sahabat-sahabat yang tidak pernah absen tentang segala hal yang berkaitan tentang Bapa.

Mbak Yuka, putrinya Mbak Renny Djajoesman yang selalu membuat orang-orang terkagum saat membacakan puisi.

Pa Adri Darmaji Woko, seorang ini sering diceritakan Bapa padaku, pada acara ini Alhamdulillah akhirnya kami bisa bertemu.

Pa Yanto Musthofa, editor yang apik menulis buku biografi Bapa yang ketenangan rumahnya selalu kuusik setiap aku datang ke Bekasi. 

Pa Carry Nadeak, sahabat bapa saat di Gatra yang pengetahuannya tidak main-main, multi-tasking dan supel, sangat membantuku saat pentasku di Galeri Indonesia Kaya tahun 2024 lalu.

Mas Adit yang kukenal sejak persiapan pembukaan pameran Yudhistira yang memudahkan 'pergerakanku' di sana. Semua dari mereka kusapa, terlebih aku berterimakasih sudah membersamai Bapa..

Lalu pa Iskandar yang menemani Bapa di hari-hari terakhir Bapa juga datang meski dalam kondisi pemulihan.

 -

Panggung besar, pertolongan besar.

Sesi kedua launching buku Biografi Yudhistira, pentas baca puisi dan musikalisasi puisi. Aku katakan ini bukan panggung sembarangan. Bagaimana tidak, semua nama-nama penampil dalam sesi ini bukan orang biasa.

Jose Rizal Manua aktor teater senior yang tak perlu diragukan kualitasnya.

Yuka mandiri membacakan puisi “Di Sabana. Seekor Kuda” dengan ‘kedalaman’. Mbak Yuka menuturkan jika setiap kali akam pentas seperti ini Yudhistira selalu memotivasi dan menyemangatinya.

Adhie Massardi membacakan puisi dengan potongan kisah sebagai adik kandung Yudhistira sebagai pembuka.

Cak Lontong, comedian terkemuka dengan ‘kecepatannya’ menangkap apapun yang ada pada suasana membuat semua audiens tertawa sebelum membacakan puisinya.

Ratih Sanggarwati, peragawati dan aktris membaca puisinya dengan menawan.

Yuni Shara mengambil perhatian dengan pembacaan puisinya yang jelita.



Sal Priadi dan Kunto Aji yang penyanyi kali ini membacakan puisi.

Siska Yudhistira, istri bapa tidak ketinggalan membacakan ‘kerinduannya’.

Lalu tentu saja Renny Djajoesman aktor dan penyanyi senior, membacakan puisi Yudhistira yang berjudul “Madinah”, puisi yang konon tidak pernah selesai jika Bapa membacanya. Semua mata terpana, hati tergetar. Karya-karya Yudhistira diinterpretasikan dengan ‘penerimaan’ yang berbeda-beda.

Segmen musikalisasi dimulai selanjutnya. Dua penampil pertama membawakan lagu yang dipopulerkan Franky & Jane yang liriknya dituliskan oleh Bapa. Endah & Rhesa membawakan lagu “Kepada Angin dan Burung-burung” dengan sangat apik sebagai penampil pertama.

Dilanjut olehku dan mas Isyak membawakan lagu “Perjalanan” sesuai permintaan Renny Djajoesman, kedua lagu ini memang popular terutama untuk generasi 70-an.



“Dia lalu bercerita tentang anak gadisnya yang telah tiada.. Karena sakit dan tak terobati.. Yang wajahnya mirip denganku..”,  Setelah menyelesaikan bagian pertama lagu, Aku dan mas Isyak sangat kaget mencari suara merdu yang tiba-tiba terdengar entah darimana, lalu tidak disangka ternyata Yuni Shara ikut bernyanyi bersama kami berdua. Audiens jadi bersorai, semua mengikuti nyanyian dengan bahagia.

Lalu tiba giliranku bernyanyi sendiri setelah duet dengan mas Isyak. Aku benar-benar gemetar. Membawakan musikalisasi puisi “Di Sabana. Seekor Kuda” yang sebelumnya dibacakan dengan sangat baik oleh Yuka Mandiri. Setelah memperkenalkan diri sebagai pembuka, lagu yang kubuat tujuh menit itu terasa sangat lama. Berpasang mata itu kini hanya tertuju padaku. Aku tidak dapat mengatakan lagu ini dapat kubawakan dengan baik, karena aku sangat merasa melakukan banyak kesalahan saat menyanyikannya.

Setelah selesai bernyanyi, Bu Siska menghampiriku mengucapkan terimakasih. “Tidak, aku yang seharusnya sangat berterimakasih.., Ibu.. Seperti yang dituliskan oleh Bapa, : Percaya bahagia. Ibu harus selalu bahagia..”, ujarku pada bu Siska. Kami sama-sama tersenyum dengan haru..

Dengan banyak kesalahanku, sekejapan, aku merasa tidak cocok bernyanyi sebagai solois. Aku lebih menikmati membalut suara-suara menambahkan rona. Timbre vokalku yang rendah berbisik kukira lebih pas sebagai penyelaras daya tarik. Mas Isyak dan aku dipertemukan Bapa di Solo dua tahun lalu. Bapa seperti tahu aku belum bisa ‘dilepaskan’ untuk bernyanyi sendiri. Di panggung ini, mas Isyak bagiku adalah pertolongan yang sangat besar  supaya lirik cerita yang ditulis Bapa bisa tersampaikan lebih perdu terpancar.

Icha dan Diwan. Sahabat-sahabatku dari Tasik. Mereka jadi saksi betapa aku gemetar bernyanyi di panggung ini. Aku juga sangat senang mereka datang.. Aku merasa ada yang ditemani dari kampung halaman.

Penampilan selanjutnya disambung oleh duet mas Isyak dan mas Firman Rafiandy membawakan musikalisasi puisi “Di Brasserie Café Cintaku” dengan gaya ballads-slow rock.

Lalu a Iga membacakan puisi yang dituliskannya sendiri, air mata kembali berhamburan. Ditambah dilanjut pembacaan puisi oleh bungsu Yudhistira, Kafka Massardi.

Sajian musik terakhir, a Iga membawakan lagunya yang judulnya dipakai dalam buku biografi Yudhistira : “Mengunci Ingatan” bersama Kunto Aji, “Mengunci ingatanmu// Menahan masa lalu// Memori yang membisu// Harapan yang berdebu// Sembuhkan lukamu// Serpihan hatimu”, nyanyian bersama kembali terdengar, lagu ini memang sangat populer di generasiku.

Menutup segmen pentas, cucu Bapa, Kiara dan Nara membacakan puisi sebagai bentuk cintanya pada Opaki (begitulah mereka memanggil Bapa). Menjelang petang, acara ditutup dengan ramah tamah dan foto bersama.

Jangan merendahkan diri

Kembali ke kursi audiens  setelah tampil aku mendapat banyak salam dan selamat dari apresiator, bahkan juga hampir dari semua penampil. Tapi aku malah merasa tidak tenang karena sadar aku bernyanyi sendiri dengan tidak baik secara performa. Di belakang, aku menemui a Iga dan meminta maaf soal ini. “Iya, Jelek. Jangan begitu lagi lain kali.”, ucap a Iga dengan sangat singkat padaku. Seketika aku semakin lebih tidak tenang.. Mencari air minum ke tempat paling belakang.

Aku langsung menemui mba Taya puteri kedua Bapa, meminta maaf. “Jangan didengerin, sudah bagus kok..”, ujar mba Taya padaku. Aku belum juga tenang, aku mencari mas Kafka, berjalan cepat mencarinya yang sedang duduk di luar ruang pameran, lalu juga meminta maaf.., “Udah bagus, gapapa, udah jangan didengerin,”, mas Kafka menenangkanku..

Dipikir-pikir memang bagaimanapun saat itu aku tidak akan bisa menyamai penampil-penampil lain. Terutama para penyaji musik, semua dari mereka adalah musisi tingkat yang berbeda.

-

Setelah acara selesai, pengunjung berhamburan beramah tamah di dalam dan di luar ruang pameran. Aku duduk bersama pa Kochi, lalu a Iga kembali memanggilku. Seketika lagi, tidak tenang ini berubah menjadi tegang.

“Kalau kamu tidak bisa berbicara, lebih baik jangan sama sekali. Perkenalkan diri dengan singkat lalu hanya bernyanyi. Tidak usah mengatakan kamu berasal dari daerah atau apapun yang kau bilang tadi, aku paham kamu grogi, tapi tidak perlu seperti itu lagi. Ini Jakarta. Kota yang keras, jika kamu begitu terus, kamu akan dilindas. Soal performa kamu bisa terus berlatih, itu urusan nanti. Tapi jangan pernah lagi merendahkan diri. Di sini, atau bahkan di kampungmu sendiri. Ingat itu.”, ujar a Iga padaku.

Aku sebagai pemuda Sunda itu mangut-mangut menundukan kepala dan punggung. “Berdiri tegak, jangan begitu. Masih ada banyak yang harus kamu hadapi setelah ini.”, a Iga belum habis menyambungnya lagi lalu memelukku.

Aku diam masih kebingungan, tetapi sedikit menarik napas lega. Ternyata permasalahanku padanya adalah tentang ini. Kukira a Iga melihatku dan paham aku tidak sadar dengan caranya menyampaikan pesan. Lalu aku juga teringat membawa nama besar Yudhistira itu sangat berat. Dan mungkin begitu cara a Iga sebagai putra sulung Bapa menasehatiku..

Saat perjalanan pulang, aku menceritakan semuanya pada Bu Siska. “Lalu apa yang kamu akan lakukan, Eki ?”, Bu Siska mengembalikannya padaku. “Aku harus lebih baik dari ini..,”, jawabku. “Itu baru anaknya Bapa.”, sahut Bu Siska sambil tersenyum..

-

Lanskap malam Jakarta dengan gemerlap cahaya lampu kota.

Setahun kepergian Bapa, aku bisa sampai dan berada di sini.

Betapa Bapa masih saja mengantarku, bahkan hingga kini.


Ibu, dan keluarga bapa masih melibatkanku apapun tentang Bapa. Aku sangat bahagia dan bangga bisa ambil bagian dalam masa hidup Bapa..

Terimakasih, Pa..

 

2025


0 comments:

Posting Komentar