Sejujurnya aku tidak terlalu menyukai bulan Oktober sejak tahun 2019 lalu. Dan aku masih membenci beberapa hari di bulan ini. Masih ada jawab yang tidak jelas, masih ada tanya yang tidak lekas. Tapi waktu tidak bisa terus ditunggu, hari-hari berlanjut dibuka meski ditutup tirai kabut.
Kita tetap mesti berada di dalamnya.
Selasa. 1 Oktober, 2024. Meski aku sudah merasa pusing sejak hari sebelumnya, aku tidak tahu kenapa kepalaku masih kekeleyengan hari ini. Akhirnya aku terpaksa bolos kerja pada dua jam terakhir lalu benar-benar terlelap sampai sore. Setelah kucek, ternyata tekanan darahku naik. Penyakit lama. Makanya aku merasa aneh dan tentang kenapa akhir-akhir ini rambutku rontok parah sekali. Stress ? Tidak juga, aku punya hari-hari baik sebelum ini. Atau entahlah barangkali ada sisi lain pikiranku yang masih bersembunyi dalam pikiran itu sendiri. Dan itu masih belum kutemukan. Aku menutup malam hari dengan Amlodipine dan Paracetamol untuk meredakannya, berharap hari esoknya lebih bugar.
Rabu. 2 Oktober, 2024. Setelah meminum obat, malam
sebelum ini aku sempat berkomunikasi dengan Imong, salah satu temanku yang
sering kurepotkan dalam banyak kegiatanku. Ibunya masuk IGD di rumah sakit.
Dengan diagnosa awal penyakit jantung, aku sedikit menanyakan tentang kondisinya karena aku ada sedikit pengalaman ngurusi Ibuku yang juga pernah riweuh gara-gara
penyakit ini. Tapi ternyata gejalanya berbeda dengan penyakit jantung ibuku.
Setelah sedikit berkomunikasi dan kusuruh berkabar jika ada apa-apa, aku terjatuh
tidur pengaruh obat yang mulai bekerja.
Setengah lima pagi Imong mengirimkan voice note lewat Whatsapp. Imong mengabariku Ibunya telah berpulang. Aku langsung mengabari anak-anak saung dan beberapa teman lain tentang ini.
Setengah sepuluh, aku datang ke rumahnya Imong di Nganti Nagara. Tapi ternyata Ibunya sudah dimakamkan, jadi kami bergegas ke pemakaman. Aku berangkat bersama Azmi, Tacub, Wawan dan Izoel. Di pemakaman sedang membacakan tahlil, pembacaan surah Yaasiin dan do’a. Kami jadi mengikutinya setengah jalan. Imong berada di depan pusara Ibunya dengan sendu air mata dan raut ‘melepaskan’ pergi-pulang yang datang tiba-tiba.
Diceritakan Imong tentang kejadian Ibunya berpulang, di samping makam. Kami yang berteman cukup lama dengan Imong tidak pernah bertemu dengan keluarganya sampai hari ini. Lalu kami jadi diceritakan sedikit bagaimana perangai Ibunya Imong semasa jeneng.
Sebagai anak laki-laki yang paling tua di keluarganya, dia banyak melewati ‘pertaruhan’, aku tahu persis tentang banyak hari-harinya yang lalu karena dia sering berkunjung ke saung. Bahkan tidak untuk apapun, hanya untuk saling tegun.
Jadi terlepas dari apapun, yang dikatakan siapapun, kukira
Imong sudah melakukan yang terbaik untuk Ibunya. Siapapun yang kebetulan
membaca tulisan ini, aku minta kenan ikut mendoakan Ibunya Imong, Ibu Dede Siti
Rohimah. Semoga almarhumah diterima segala kebaikan dan dihapuskan segala
dosanya, wafat dalam keadaan khusnul khatimah dan mendapat tempat yang paling
indah di sisi yang Maha segalanya. Allahumaghfirlaha, warhamha, wa’aafiiha,
wa’fu’anha.
Hampir dzuhur, aku kembali ke tempat kerja lalu menyelesaikan tugas-tugas tersisa. Sepulangnya aku dimintai anak-anak untuk ikut foto bersama. Dua Oktober ini hari batik. Aku sengaja memakai batik warisan dari alm. Pa Yudhis yang dipakai di perform terakhirnya bersamaku saat di Jakarta. Selalu berat ketika memakai apapun yang diwariskannya padaku, karena kukira aku belum memperlihatkannya perkembangan apapun yang Pa Yudhis harapkan dariku sejak beliau wafat bulan April lalu.
Minggu pertama di Pancakarya
Kamis-Sabtu. 3-5 Oktober 2024. Banyak yang bertanya
apa yang sebenarnya kulakukan di tempat ini. Memutuskan kembali ‘sekolah’ pada
usia kepala tiga, saat sebayaku sudah banyak yang hidup dengan sebagaimana
lumrahnya. Aku kadang masih bertanya kepada yang bertanya padaku dengan kalimat
“Apa salahnya ?”. : Aku masih ingin mencari (dengan pernyataan ini pasti
akan ditambah lagi dengan pertanyaan “Mau sampai kapan ?”, oleh mereka).
Bekerja di tempat pendidikan sebenarnya menyenangkan, tentu ini terlepas dari segala kebodohan teknis, administrasi dan kebijakan-kebijakannya. Jangan bicarakan soal gaji, ya da memang sakitu-kitu na. Sudah tiga tahun aku kembali bekerja, dan aku (secara kredibilitas personal) merasa aku masih segitu-gitu saja. Banyak yang mengira aku melakukan ini untuk memenuhi syarat administrasi dan linearitas, tapi tidak sepenuhnya benar. Selain tentang serangan sindiran menikah dari orang-orang sekitar, aku perlu dan masih menginginkan kegiatan lain yang mesti dikejar. Apapun itu, yang penting bisa menyirami dan merangsang organ-organ berpikirku.
Perkuliahan sudah berjalan dua minggu. Tapi minggu lalu aku tidak masuk karena masih hoream. Dari itu aku memulainya minggu ini. Dan memang hoream awalnya haha. Tapi ternyata tidak terlalu buruk juga.
Mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, semester pertama ini aku punya delapan mata kuliah. Diantaranya, mata kuliah bahasa inggris : Reading for general communication, writing for general communication, listening for general communication, speaking for general communication. Lalu mata kuliah umum : Bahasa Indonesia, Landasan Pendidikan, Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Pancasila. Dengan mengatakan jurusan ini, masih ada juga banyak yang komentar, “Nanaonan kuliah basa ingris, panan geus bisaan”. Barangkali menyoal bahasa Inggris, penggunaan untuk sehari-hari dan dunia nyata, tidak terlalu susah buatku. Tapi secara teoritiknya, aku tidak begitu piawai. Coba saja suruh aku membedah struktur kalimat atau kasih pertanyaan tentang grammar, moal teu olohok. Dari itu aku mengambil jurusan ini.
Tapi ternyata benar-benar berbeda sih haha. Bagaimana
penggunaan bahasa inggris yang kutangkap dan kulakukan pada keseharian di keluargaku
dan sewaktu beasiswa pendidikan di EV. Pendidikan Bahasa Inggris di ‘kita’ ini benar-benar
kaku secara akademik. Aku tidak tahu ini hanya di sini atau di tempat lain juga
sama. Tapi yaah.. Kita ikuti alurnya saja, dan semoga ini menjadi tambahan perbaikan
buatku. Tidak bisa banyak protes, kareana dapat beasiswa di sini juga sudah
alhamdulillah, karena awalnya memang belum ada nih alokasi buat biaya kuliah
begini. Yah paling dengan ini aku jadi nambah biaya bensin, akumulasi kelelahan
dan akumulasi penggunaan kepala yang sudah lama tidak dikasih jatah mikir ‘sebagai
pelajar’.
Lingkaran baru, identitas baru
Aku mengambil kelas karyawan, yang ternyata jadwal kuliahnya
hari kamis, jum’at dan sabtu. Jadi hari kamis aku mesti langsung ngebut ke
kampus karena jadwal kuliah mulai pukul dua siang, dan aku selesai kerja pukul
dua siang pula. Dan karena ini juga aku punya lingkaran pergaulan yang baru. Dengan
jumlah tiga puluh orang, aku bertemu banyak orang yang berbeda variasi jarak
umur dan kesehariannya. Ada ibu-ibu bapak-bapak, sebaya, dan yang jauh lebih
muda. Pertemuan pada tiga hari ini kukira masih menyenangkan, belum aneh-aneh,
dan belum terjadi perselisihan (semoga tidak ada, haha). Aku juga tidak pandai
bersosial pada awal-awal. Ini juga hal baik untuk dipelajari olehku secara
personal.
Tidak ada yang mengenali ternyata menyengankan juga. Dengan ini aku juga punya kesempatan menggunakan identitas baru yang lebih bebas. Tidak ada yang mengenaliku dengan hal-hal yang biasa orang tahu. Aku bisa menjadi seorang diriku yang lain, seperti biasa saja. Tekanan sosial juga lebih ringan dengan ini dan aku juga ingin tahu disini, sejauh mana aku bisa ‘menahan’ diri.
Sepulang kuliah hari sabtu, aku dan Izoel duduk-duduk dulu di pinggir kelas. Aku baru tahu ternyata kampus ini sudah ‘pindah tangan’ ke Yayasan ini setelah mengobrol dengan Pa Dr. Ahmad Sopandi sebagai ketua Yayasan di sini. Dari itu Pembangunan masih dilakukan terus sampai hari ini karena segala hal tentang pemindahan kampus juga dalam proses. Kampus ini dulu bertempat di Tangerang, sedang dalam proses untuk dipindah ke sini secara permanen. Pa Dr. Ahmad Sopandi mengajar mata kuliah Landasan Pendidikan, tapi saat di kelasnya aku kira dia lebih fit ngajar PAI sih, tipikal ajengan tea ningan. Dan pertemuan pertama diluar perkuliahan bersama Pa Dr. Ahmad dengan ini memberi kesan baik buatku. Aku dan Izoel berambut panjang, biasanya, orang-orang agak usil menyoal rambut kami, bahkan sedari awal pertemuan. Tapi pa Dr. Ahmad ternyata lebih melihat bagaimana perangai kami saat di kelasnya hari itu.
Minggu. 6 Oktober, 2024. Bangun tidur hampir ashar setelah setengah hari kelelahan gara-gara bersi ruangan kerjaku, aku membereskan dan menyortir beberapa lukisan-lukisan dari seri lukisan yang sudah lama terbengkalai. Semua lukisan ini belum selesai sampai finishing sebenarnya, tapi sudah ada kelihatan bentuknya. Kusimpan lama di saung, supaya teu numpuk we ieu mah. Selain itu aku ingin mengganti suasana galeri kertas di Lorong sebelum masuk ke ‘daerah’ ruanganku supaya ada pandangan baru.
Dinding yang biasa dipakai sebagai sisi galeri kertas. Sebenarnya kusediakan untuk diisi bebas oleh siapapun, perangsang untuk menyimpan karya apapun. Tapi ternyata setahun ini kosong saja. Tidak banyak yang begitu tertarik berbicara dengan 'cara lain'. Orang-orang lebih memilih jadi begitu naif untuk ingin dilihat, didengar, dimengerti secara langsung, mudah dan cepat. : Tanpa dipikirkan, tanpa dirasakan. Tanpa pemikiran, tanpa perasaan.
Tidak simetris, memasang sepuluh dari dua puluh empat lukisan seri ini. Aku masih menyukai penggunaan warna Sienna dan Burnt Umber untuk melukis sejak 2019, yah paling melipir ke warna Crimson Red paling-paling kalau perlu ada yang lebih 'ditonjolkan'. Burnt Umber punya banyak perlambangan dalam skema psikologi warna, seperti, energi, bahaya, agresi dan gairah. Kebanyakan lebih mengarah dari hal yang berasal dari 'dalam'. Sedang dari zaman renaisans, warna ini disimbolkan sebagai kerendahan hati. Aku belum menemukan palet warna yang lain yang cocok denganku sejauh ini. Sumber ide seri lukisan ini berasal tentang suatu tempat. Untuk sebagian orang, jika memang punya mata dan perasaan bagus dan 'sama', kukira akan mengerti arah pemaknaan dari seri lukisan ini.
-
Yah.. Minggu pertama Oktober tahun ini, tidak terlalu seperti
yang dikhawatirkan. Entahlah nanti,
0 comments:
Posting Komentar