Sisa-sisa redup dibias kabut, pandangan lebih jauh ke dalam.
Diboyong gerombolan saung keluar jajan bakso Samsir pukul 10 malam ke Singaparna. Bakso Samsir ini cukup melegenda di daerah sini, sejak dulu dikenal orang-orang yang mulai beroperasi lepas maghrib sampai lewat Tengah malam. Bakso ini adalah pilihan yang menggoda untuk perut-perut lapar para penderita insomnia.
Tidak ada yang Istimewa dari tempat Bakso ini menunggu para pembeli. Terletak di pintu kanan pasar Singaparna. Lampu redup, koridor pasar, pintu jeruji yang terkunci, aku lebih melihatnya seperti kantin sel penjara. Anak-anak saung yang sering bercanda : ,“Tidak penting makanannya apa, di mana. Yang penting makan bersama siapa”. Tapi benar saja, sambil kami makan, sagala diomongkeun. Tidak sadar mangkok kami semua tiba-tiba sudah bersih. Bakso-bakso itu mengalir saja ke perut kami.
Senin. 30 September, 2024. Aku kira bulan ini selesai di tanggal 29, ternyata masih ada sehari lagi. Bunga-bunga kambojaku yang mekar mulai layu dan berguguran satu persatu. Ini seperti semangat beraktivitasku yang juga mulai berserak. Ini penyakitku sih, bukannya jadi sarana refreshment, setelah melalui kegiatan-kegiatan menyenangkan seperti kegiatan kesenian misalnya (dan kegiatan lain juga, tapi yang kusenangi), sejujurnya aku ingin hari-hari seperti itu terus berlanjut. Dan enggan kembali ke hari-hari normal, padahal tidak berat-berat amat sebenarnya jika disbanding mengurusi kegiatan-kegiatan kemarin. Tapi yaa.. Kehidupan tidak seindah itu haha.
Hari ini di tempat kerja diadakan pengajian maulid nabi. Jadi semua orang disarankan menggunakan baju ‘muslim’, katanya. Tapi ini kukira lebih tepat ke pakaian timur tengah. Hanya karena Islam dulu lahir di sana, pakaian-pakaian seperti ini jadilah disebut ‘busana muslim’. Dan semakin mirip kita dengan orang sana, semakin pula kita dikatakan sebagai ‘seorang yang baik’ pada banyak mata di sekitar kita. Padahal pakaian sama sekali tidak ada kaitan atau menjadi indikator untuk itu, Aheng memang. Dari itu aku sih lebih berpakaian yang kupadu-padankan saja. Baju potongan melayu, topi Ushanka Russia, dan suede boots. Yang penting sopan saja. Sebenarnya sebelum memakai Ushanka, aku nyoba pakai songkok hitam dulu, tapi malah keliatan seperti salah satu yang katanya habib tapi suka marah-marah dengan nada tinggi itu. Dan aku tentu tidak mau keliatan seperti dia. Songkok hitam itu tidaklah jadi kupakai.
Darah yang ditating agar tidak
menetes jatuh ke bumi, orang buta yang selalu disuapi dan suguhan anggur masam.
Dulu, beliau dosen kalkulusku, tapi yang diajarkan lebih banyak
nilai-nilai kehidupan. Sepeninggal Kyai Abun Wafat, yang mengenaliku ‘dengan
baik’ di sini sekarang kukira hanya beliau. “Rasulullah, di manapun-kemanapun, selalu menebar kasih sayang”, pengajian dari Bapa seperti ini rasanya sudah lama sekali buatku. Hamdallah hari ini
bertemu dengan keadaan sehat.
Ceramah pengajaian, Kyai Udin Sahrudin. Ini seperti pengajian dari kakak kelas karena kami bersekolah di tempat yang sama meski jauh sekali perbedaannya, karena tahun beliau lulus di sini adalah dua tahun sebelum aku lahir. Tapi meski belajar di sekolah yang sama, aku tidak se-relijius Kang Udin yang disayang banyak Kyai-kyai besar. Apalagi aku tidak pernah nyantrén, jadi masih fakir élmu pisan, komo élmu agama mah. Akrab disapa kang Udin, ini barangkali adalah segelintir dari banyak 'jenis' alumni yang diharapkan dari tempat ini.
- Keberagaman, pengingat identitas kebudayaan
- Persiapan-kesiapan menerima ilmu
- Kisah pengorbanan Abu Bakar As-Sidiq untuk Rasulullah
- Akhlaq-etika posisinya berada di atas Ilmu
- Shalawat harian untuk kita seorang muslim minimal pisan ieu mah sehari sembilan kali, dan sepuluh kali kalau orang NU mwehehe.
- Pertama, Allah ciptakan Lauhul Mahfud.
- Kedua, Qalam.
- Ketiga, Arasyi.
- Keempat, untuk menciptakan Nabi Muhammad, yang ini dibagi lagi per-seperempatnya, duh ieu rada paciweuh nulisna. Diantaranya Akal, Ma'rifat, dua lagi aku malaweung, padahal duduk lumayan depan. Nanti aku tanyakan ke Husni atau Furqon supaya tidak salah.
Pa Asep Kurniawan, guru agama muda yang selalu tawadhu ini mengirimkan foto kami berdua setelah pengajian maulid selesai. Aku tidak sadar bahwa kami selalu berfoto pada tiap maulid tiga tahun ini. Iya.., berarti ini adalah tahun ketiga ku juga ‘kembali’ ke sini. Pa Asep ini sering sekali kuusili setiap kunjung ke ruanganku karena kepribadiannya yang kalem dan tidak pernah marah. Dia kukenali sebagai sedikit dari orang ‘bersih’ yang kutemui di tempat yang seharusnya ‘bersih’ ini. Figur guru yang baik dan patut sekali dicontoh. Kiranya, tempat ini-sekarang, perlu orang-orang seperti pa Asep yang mahabahnya masih begitu murni.
Sepulang pengajian aku punya rencana untuk pergi ke Galunggung bersama Cep Thoriq. Ini kali pertamanya aku berangkat saat sore hari. Biasanya aku berangat ke sini pagi-pagi sekali. Sempat bimbang karena melihat forecasting cuaca yang hari ini akan turun hujan. Tapi sebenarnya di sisi lain aku juga berniat untuk hujan-hujanan.
Berangkat setengah lima sore, kami sampai ke area tangga atas sekitar setengah enam. Sejak acara Gerakan Wiyata Buana yang digagas Komunitas Azan (sekarang sudah memakai nama Kuluwung) tahun 2017 lalu, aku tidak pernah membayar biaya masuk tempat ini. Kali ini, membayar tiket seharga Rp. 15.000,- per orang, aku benar-benar datang sebagai pengunjung reguler.
Kami langsung disuguhi horison batas warna saat pergantian waktu. Ditinggalkan matahari dengan sangat pelan. “Kamu pernah kehilangan cahaya ? Bagaimana keresahanmu menghadapi keadaan itu ?”, Aku bertanya pada diriku sendiri, mengandai melontarkan pertanyaan itu juga pada orang lain, dan ingin tahu jawaban mereka ; hanya dalam hati.
Hujan mulai deras. Aku dan cep Thoriq menunggu reda di depan warung-warung yang sudah tutup, hanya sedikit berbicara, melihat warna awan yang mulai kehilangan rona.
Hujan mulai reda, tapi masih menyisakan gerimis-gerimisnya. Kami mulai menaiki tangga, tidak ada orang selain kami berdua. Terlihat seperti tangga di kuil Ashikaga Orihime, Jepang. Tangga-tangga yang berjumlah 620 ini kukira tidak lama dicat ulang karena warnanya masih bagus terang. Terdapat gazebo kecil di beberapa titik saat menaiki tangga untuk istirahat menyela.
Kami berdua memang dalam kondisi yang kurang baik. Cep Thoriq yang baru dua hari sembuh, dan aku yang tiba-tiba pusing sebelum berangkat. Tapi kami tidak mau repot memilih waktu lain, bahkan aku tidak sempat untuk ganti baju. Tapi barangkali ini sudah keputusan yang tepat. Meski waktu yang kami habiskan untuk naik menjadi lebih lambat.
Kami beristirahat di gazebo terakhir sebelum sampai ke bibir
kawah karena hujan mulai turun lagi. Langit sudah berwarna hitam pekat. Kami
berhenti naik di sini menyisakan seratus lebih langkah lagi.
Di sini kami baru saling berbicara. Sebenarnya tidak ada yang benar-benar penting untuk dibicarakan. Membuka memoir-memoir, 'membereskannya', mengeluhkannya, mengambil hikmah. Sebatas itu saja. Kami memang hanya ingin keliaran mendapatkan penglihatan-penglihatan.
: Aku sangat menyukai rambutku yang bertumbuh panjang seperti ini. Dan akan kubuat lebih panjang lagi. Aku memakai karembong warisan dari Wa Loloh.
0 comments:
Posting Komentar