Sabtu. 12 Oktober, 2024. Aku berangkat ke Kampung Naga, salah satu kampung adat yang ada di Kabupaten Tasikmalaya. Sebuah kampung adat yang masih lestari. Masyarakatnya masih memegang adat tradisi nenek moyang mereka. Mereka menolak intervensi dari pihak luar jika hal itu mencampuri dan merusak kelestarian kampung tersebut. Sebenarnya ini bukan kali pertama buatku, tapi mengingat kunjungan terakhirku kesini, agaknya sudah lama sekali. Bertempat di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, tempat ini sedikit-banyak berubah sejak waktu itu. Pohon besar di gerbang gapura masuk Kampung Naga kini sudah ditebang, tapi pepohonan di dalam lebih terasa rimbun.
Untuk mencapai pemukiman warga kita mesti menapaki anak tangga yang berjumlah sekitar 350-400 anak tangga (aku lupa hitunganku karena kelelahan, bahkan hanya untuk turun).
Kali ini aku datang ke sini karena perkuliahan untuk mata
kuliah Pendidikan Pancasila yang diampu Bp. H.E Koswara, S.Ip, .M.Si dibuat
dengan format outing class. Jadi kami kiranya akan mencari hal-hal yang
berkaitan dengan materi perkuliahan pada minggu kemarin tentang Alam Pikiran Pancasila (yang isinya tentang filsafat hueee) lalu mencocokan hal-hal itu dengan yang ada di
kampung Naga. Aku tidak benci mata kuliah ini sih, aku tidk ada masalah dengan Pancasila-nya, tapi yang
kusayangkan adalah implementasi sosial terhadap nilai-nilainya yang pudar sudah
sejak lama, apalagi hari ini.
Sedikit tentang Pa Koswara, aku baru ikut perkuliahannya dua kali dengan yang sekarang. Beliau ini seorang yang disiplin, lalu berintegritas tinggi pada usianya yang ‘lumayan’. Pa Koswara punya banyak sekali pengalaman selain mengajar sebagai orang lapangan-eksekutor. Dan meski berbakti pada negara, dikatakan dengan jujur oleh Pa Koswara bahwa beliau tidak suka dengan penggunaan birokrasi. : “Menyulitkan.”, ujarnya padaku. Beliau dikenal sebagai seorang yang berani, sering ‘ngoceh’ tentang hal-hal yang tidak seharusnya. Ohh.. Baiklah, Bapak ini lumayan cocok juga denganku yang seorang pemberontak dalam sisi ini.
Memasuki Kampung Naga, yang akan terlihat pertama kali ketika berkunjung adalah lapangan ini. Ini keadaan yang cukup timpang secara way of living circumstance . Padahal sisi sebelumnya yanh tidak terlalu jauh adalah ruas jalan provinsi dengan gaya pemukiman yang cukup urban.
Di depan Mesjid banyak tersandar berpasang Egrang atau Jajangkungan. Izoel, Fikri dan Rais mencoba memainkannya. Sampai sekarang aku tidak bisa menaiki ini. Padahal aku ingat dulu si Bapa pernah membuat yang seperti ini di Gunung Rukem.
Tumpukan kayu bakar di pinggir rumah. Kampung Naga masih menggunakan tungku untuk keperluan rumah tangga. Dan setumpukan ini kira-kira untuk ‘stok’ beberapa bulan.
Pa Iin. Beliau ini penduduk asli Kampung Naga yang menjadi guide kami. Setelah berkumpul dan di absen Pa Koswara, kami di bawa ke rumah Pa Iin untuk menikmati ‘hidangan tamu’. “Tuang heula, tos dieusian mah raoseun nguriling ge.”, Ujar Pa Iin. Aku tidak mendapati perlakuan seperti ini sebelumnya saat kunjunganku terakhir. Aku melihat ini sebagai perlakuan ‘penerimaan’-memuliakan tamu, atau mungkin ini karena kunjungan semi-formal, dan Pa Koswara juga dikenali sebagai seorang dari ‘luar’ yang punya kontribusi di Kampung Naga. Yah.. Yang manapun keduanya baik sih.
Aku tidak makan. Sebagai gantinya aku memilih teh hangat.
Di depan rumah Pa Iin ada salah satu souvenir shop untuk pengunjung. Isinya kebanyakan barang-barang kerajinan yang dibuat dari bahan alam. Aku dibelikan pipa once oleh Delta di sini. Terimakasih ya Del, hehe. Koleksi once-ku nambah lagii.
Bentuk rumah Masyarakat di Kampung Naga semuanya mesti berbentuk rumah panggung dengan bahan bambu dan kayu. Semua rumah memanjang pada alur timur-barat. Arah itu dipilih, karena sejalan dengan alurnya matahari. Atap rumah dibuat dari daun nipah, ijuk atau alang-alang. Ini membuat suara hujan bisa diserap dengan baik, teu gandeng. Juga dikatakan atap ini bisa bertahan sampai 20 tahunan. Selain itu rumah tidak boleh dicat kecuali dikapur.
Tidak lama setelah kami berkeliaran sekitaran ‘rumah tamu’, waktu ashar datang. Kami shalat berjamaah di masjid kampung.
Bagian dalam belakang masjid, saat masuk pintu mesjid kita akan melewati geladak ini.
Bedug dan Kohkol masjid.
Setelah shalat kami masuk ke rumah tamu. Pa Koswara memperkenalkan Pa Iin yang akan menjadi narasumber kami tentang Kampung Naga. Dimulai dari Lokasi dan topografi. Dengan luas 1,5 H. Kampung naga memiliki 111 bangunan (termasuk Bumi Ageung, masjid dan rumah tamu), dengan penduduk yang berjumlah 283 orang pada 103 kepala keluarga. Masyarakat di sini bermata pencaharian dengan bertani dengan cara yang masih mempertahankan tradisi. Sebagai sampingan Masyarakat kampung Naga juga membuat kerajinan-kerajinan kriya dari banyak bahan-bahan alam.
Memanen Kapulaga.
Terdapat empat lembaga adat di Kampung ini. Terdiri dari Kuncen (pimpinan sepuh tertinggi-chief), Palebe (seorang yang menangani bidang keagaman), Punuh Desa (yang mengurusi hubungan dengan pemerintahan ‘luar’ yang konvensional) dan Punuh Adat (yang mengurusi adat kebudayaan secara tradisi Kampung Naga sendiri). Keempat lembaga pemerintahan Masyarakat adat ini menggunakan sistem turun temurun.
Sedikit disayangkan, menyoal sejarah kampung Naga sendiri dikatakan Pa Iin, asal mula kampung ini tidak memiliki titik terang. Tak ada kejelasan sejarah, kapan dan siapa pendiri serta apa yang melatarbelakangi terbentuknya kampung dengan budaya yang masih kuat ini. Warga kampung Naga sendiri menyebut sejarah kampungnya dengan istilah pareumeun obor. Pareum jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yaitu mati, gelap. Dan obor itu sendiri berarti penerangan, cahaya, lampu. Jika diterjemahkan secara singkat yaitu, Matinya penerangan.
Hal ini berkaitan dengan sejarah kampung naga itu sendiri. Mereka tidak mengetahui asal usul kampungnya. Pa Iin selalu menuturkan apapun dengan kata tidituna, sesuai pengalaman empirik Pa Iin yang menghabiskan hidupnya di sini. Masyarakat kampung naga menceritakan bahwa hal ini disebabkan oleh terbakarnya arsip/sejarah mereka pada saat pembakaran kampung naga oleh Organisasi DI/TII Kartosuwiryo. Pada saat itu, DI/TII menginginkan terciptanya negara Islam di Indonesia. Kampung Naga yang saat itu lebih mendukung Soekarno dan kurang simpatik dengan niat Organisasi tersebut. Oleh karena itu, DI/TII yang tidak mendapatkan simpati warga Kampung Naga membumihanguskan perkampungan tersebut pada tahun 1956.
Pola pemukiman Kampung Naga ini dibuat dengan istilah Diadu payun-Diadu pengker. Jadi, rumah Masyarakat di kampung ini dibangun dengan pintu utama depan yang saling berhadapan dengan rumah lainnya. Ini sebenarnya adalah sebagai fungsi penerapan nilai sosial. Masyarakat akan saling mengetahui keadaan para tetangganya.
Masyarakat Kampung Naga juga masih memiliki dan menerapkan banyak tradisi yang tidak sering didengar seperti Tali Paranti. Secara umum Tali Paranti ini merupakan aturan-aturan yang tidak tertulis tetapi mengikat, yang dilaksanakan secara maranti atau biasa dilaksanakan. Secara keilmuan, tali paranti sejajar dengan tradisi atau adat-istiadat. Lalu tentang hal tabu atau pantangan yang biasa disebut Pamali. Pamali bagi masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan patuh khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas kehidupannya. Pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang. Misalnya tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah rumah,pakaian upacara, kesenian, dan sebagainya.
Lalu untuk kelestarian lingkungan, ada istilah yang dikenal dengan Leweung Larangan, hutan yang dikeramatkan. Hutan ini berada di sebelah sebelah barat Kampung Naga yang berfungsi juga sebagai batas wilayah. Lepas dari apapun, kukira salah satu fungsi hutan ini adalah Penyeimbang. Halodo teu panas, cai ngagolontor, Musim panas tidak panas dan air masih mengalir deras. Kampung Naga memang punya banyak sekali pohon-pohon berukuran besar.
Di bidang kesenian, masyarakat Kampung Naga memiliki terbangan, angklung, beluk, dan rengkong. Secara instrumental, Terbang ini adalah sejenis alat tabuh membranofon berbentuk bulat yang terbuat dari kayu dan kulit dan Kesenian Terbangan biasa dipentasan pada hajat sasih.
Angklung-angklung Kampung Naga.
Salah satu yang membuatku terkejut adalah aku ketemu lagi dengan Abah Ma'un. Kami pertama bertemu saat tahun 2014 saat aku masih berambut panjang sepunggung.
Rais diantara para wanita saat jalan-jalan mengitar Kampung.
Pa Cecep juga tidak mau kalah nyempil diantara mereka.
Izoel Fahmi, yang 'menghasutku' untuk ikut kuliah tahun ini. Yah.. Sejauh ini so far so good, laa.
Ikan Patin ini sangat besar, aku yakin usianya bertahun.
Beberapa anak kelas ketemu dengan beberapa turis di perjalanan. Mereka sekalian latian speaking bahasa inggris.
Foto bersama dua kelas jurusan Pendidikan Bahasa Inggris dalam mata kuliah Pendidikan Pancasila. Tapi sebenarnya aku malah merasa ini mata kuliah Antropologi daripada Pendidikan Pancasila sih karena yang kudapatkan malah hal-hal begini, haha. Lalu, setelah ini, terbitlah tugas makalah. Hueeeee, aku mestinya mencium bau-bau kejahatan tugas, pasti ini tida semena-mena hanya outing class saja haha.
-
0 comments:
Posting Komentar