Excerpt from the other sight Time has wonderful way of showing us what really matters

Selasa, 29 Oktober 2024

A Purpose

 

“Seusia berapa seorang laki-laki harus kembali dan tinggal di tempat di mana dia dilahirkan ?”

Diwan melontarkan pertanyaan menarik ini pada satu pertemuan. Pertanyaan menarik yang bahkan masih tidak bisa kujawab secara pribadi. Sebagai seorang yang senang berkeliaran, kata ‘pulang’ tidak hanya menyenangkan, tapi juga berat karena sejatinya manusia mesti saling memberi kebermanfaatan. Tapi kebanyakan yang kutemukan, biasanya, akhir dari hal itu adalah hanya sebagai pilihan dengan Keputusan ‘tinggi’, atau selesai dengan tidak peduli.

Tumbuh dengan banyak keterbatasan membuatku menjadi sangat empatik. Aku sangat tahu bagaimana rasa bahagianya mendapat pertolongan dari orang lain (dalam bentuk apapun). Jadi aku ingin siapapun yang kebetulan ‘sejenis’ denganku juga mendapatkan perasaan itu. Akhirnya sekarang dan telah lama aku terjebak sebagai seorang dengan istilah people pleasure gara-gara itu. Ditambah sebagai orang kampung yang natural ‘tidak enakan’, kami benar-benar indirect-person. Meski dengan segala pengalamanku ‘di luar’, ternyata belum bisa juga mengubah ini.

Orang-orang hari ini, kebanyakan menghitung dengan apa yang dimiliki, tidak dengan apa yang bisa diberikan. Buatku, selama masih ada yang bisa kubantu, untuk kebermanfaatan dan ‘logis’, tentu akan kuusahakan.

: Tapi, tetap harus berhati-hati, karena ada juga yang menggunakan kebaikan dengan cara ‘lain’.

-

Hal yang indah tidak pernah meminta perhatian.
Seperti arakan awan bergerak tanpa suara,
Gemericik aliran air yang tidak berwarna
Atau harum dalam kegelapan seperti Wijaya Kusuma.

-

Baiklah, ini yang terjadi sampai hari ini..


Selasa. 15 Oktober, 2024. Pertama kali mengerjakan tugas kuliah kelompok di perkuliahanku yang sekarang. Teh Kokom, Ela dan Fikri datang ke ruangan tempatku biasa ‘bekerja’. Aku sudah lama tidak punya kegiatan yang seperti ini.


Rabu. 16 Oktober, 2024. Sudah hampir seminggu Wawan mengerjakan musikalisasi puisi yang dibuat untuk kegiatan Literasi di SMA. Dan lagu ini sudah bisa didengarkan. Menurut beberapa yang kukirimi lagu ini, lagu yang dibuat Wawan lebih ‘bertenaga’ ketimbang lagu-lagu yang biasa kubuat. Meski begitu masih ada kemiripan bentuk dengan lagu-laguku gara-gara pemilihan melodi-melodi yang terdengar ‘spiritualis’, mungkin gara-gara aku juga yang sering memperdengarkan-‘membawanya’ ke referensi-referensi laguku. Overall, semuanya Wawan yang ngefill, aku hanya menambahkan biola dan backing vocal saja.

Kamis. 17 Oktober, 2024. Aku melipir ke rumah Diwan di pagi hari untuk membicarakan beberapa hal. Bolos dua jam di pinggir tempat bekerja, memang keterlaluan. Disuguhi kopi dan kue-kue kecil oleh Bu Euis, rumah Om Acep memang enak untuk membicarakan ide-ide.

Suasana pengajian 40 harian Wa Loloh. Jadi, Uwa sudah sebulan meninggalkanku. Berkeliling ke atas ke kamar yang biasa kutempati saat tinggal di sini, lalu ke kamar tempat Uwa shalat, melihat beberapa fotonya dengan toga saat Uwa masih menjabat di kampus, masa-masa Uwa sedang sangat bersemangat. Aku berdiam lama. Masih merasa bersalah. Tiba-tiba aku sangat sibuk diusia ini.. Dan aku sepertinya belum bisa memberikan waktu-waktu yang baik dipenghujung usianya..

Jumat. 18 Oktober, 2024. Menyusur jalur trekking di Gunung Galunggung untuk survey kegiatan musik gunung yang sedang dirancang Diwan dan Rofi. Kami mendapatkan beberapa alternatif tempat yang bisa dipakai di sekitaran tempat ini.

Sabtu. 19 Oktober, 2024. Pernikahan Cep Ijal dan Tasya. Salah satu pernikahan besar yang pernah kudatangi. Untuk menyalami-memberi selamat langsung ke pengantin saja aku mesti menunggu penghujung acara karena banyak tamu ‘besar’, ranginang semacamku ya tentu mesti melipir dulu haha. Menemui teman bisa sesulit ini haha, tapi aku tetap berbahagia, satu persatu teman-temanku sudah punya panyangsangan. Selamat ya, Jal !

Untungnya aku masih ada ririwa lain di pernikahan Ijal. Aku jadi keliaran sama mereka.

Diwan

Cep Thoriq

Sebenarnya aku sempat ditawari untuk menjadi salah satu yang berbaju hijau seperti ini, yaa tentu saja kutolak haha. Bukannya tidak mau, tapi lebih ke ‘sadar diri’ huahaha.

Ada a Agil kakaknya Cep Ijal, Deri puteranya bu Elya dan Jani puteranya Pa Agus-teman ngebul di tempat kerja. Kalau Jani memang seangkatan pas di sekolah sih.

Minggu. 20 Oktober, 2024. Secara tiba-tiba aku dan teman-teman meremake dan merekam musikalisasi puisi Kwatrin Malam. Karena bentuknya sudah ada sejak tahun 2015, jadi pembuatan guide lagu ini relatif cepat selesai. Kadang, hal-hal impulsif seperti ini memang sering terjadi pada kami, tidak ada perencanaan, tidak ada ide, guluyur we.

Senin. 21 Oktober, 2024. Musikalisasi puisi Kwatrin Malam yang diremake olehku dan teman-teman sehari sebelumnya kuputuskan untuk dimainkan oleh anak-anak sanggar gama sebagai lagu kedua. Menggunakan rebana punya mesjid kampungnya A Izoel, mereka mulai Latihan hari ini.

Selasa. 22 Oktober, 2024. Bersama KH. Ubaidillah Ruhiat, pimpinan Ponpes Cipasung yang sekarang setelah sepeninggal Bapa almarhum. Aku tidak sebegitu dekat dengan beliau seperti ke Bapa, tapi aku senang masih dipercayai untuk tetap bersentuhan ‘pada ini’. Hari Santri Nasional. Aku sudah berleha-leha sejak ba’da shubuh, lalu tiba-tiba ditelpon Najmi untuk menjadi juri karnaval hari santri di Ponpes Cipasung setengah jam sebelumnya. Keterlaluan memang. Tapi yaa.. Cuma hal-hal begini yang bisa kulakukan untuk ‘membantu’ sih.

Bu Neng Lela, istri pa Kyai Ubed. Mamahnya si cinta.

Furqon Taufiq. Satu-satunya teman tersisa di sini-dari generasku. Aku sebenernya nga jelek-jelek amat songkokan begini, tapi sok ateul tarang, buhan tara sih.

Ketemu Bi Nyai dan Wiyah. Yah.. Meski tempat kerja kami berdekatan, tapi paling hari-hari begini kami baru bisa bertemu.

Rabu. 23 Oktober, 2024. Menjelang pagi hari kemarin, berita duka sudah terdengar. Mang Haji Uwoh bapaknya Jafar salah satu teman di Saung meninggal hari ini. Aku dan Azmi baru bisa berkunjung sehari setelahnya.

Petang, a Amen Jamaludin Hussein, personel TAFSIK dari Lesbumi PWNU Jabar berkunjung ke saung karena kebetulan sedang ada pekerjaan di Tasik.

Kamis. 24 Oktober, 2024. Gladi persiapan penampilan teman-teman Sanggar Gama untuk acara hari Literasi. Jadi kami akan membawakan dua musikalisasi puisi Acep Zamzam Noor, Lanskap dan Kwatrin malam.

Pembatas buku. Membuatkan hadiah kecil untuk teman-teman yang senang membaca. Gara-gara bikin ini, flashdisk-ku jadi hilang hueee.

Jumat. 25 Oktober, 2024. Gerilya, Gerakan. Peringatan hari literasi dan bulan bahasa di SMA Islam Cipasung. Di sekolah ini, mulai tahun ini punya pembiasaan membaca 15 menit sebelum pembelajaran dimulai, dengan maksud menumbuhkan ‘kesadaran’ tentang pentingnya ber-literasi. Pada praktiknya, memang agak susah, meski ada beberapa yang memang sudah suka membaca. Nah acara ini kukira sebagai tolok ukur pencapaian program pembiasaan selama setahun ini, yang memang menurutku masih jauh dari yang diharapkan secara esensinya. Apalagi untuk siswa laki-laki, tidak banyak yang bertahan sampai selesai pada acara ini, disayangkan.

Selain menyoal literasi secara umum, pada acara ini juga diadakan apresiasi dari kegiatan Tahfidz.

Launching perpustakaan digital. Pa Ilham Nurzaman, beliau ini menurutku salah satu guru progresif. Kendati mengampu Pelajaran Bahasa Inggris, minat Pa Ilham tentang literasi sangat besar. Pa Ilham mengurusi website perpustakaan seorang diri-atas inisiatif-nya sendiri. Biar kukatakan, tidak semuanya bersedia melakukan hal seperti ini. Ini atas dasar kecintaannya sendiri. Seorang seperti Pa Ilham ini mestinya dapat diapresiasi dengan lebih ‘pantas’.

Bincang Literasi. Adikku didaulat menjadi narasumber untuk bincang literasi. Biasanya dia menonton aku konser, sekarang aku yang menontonnya berbicara, dan ini pertama kalinya. Tidak dengan tiba-tiba dia jadi seperti sekarang. Karena aku tahu bagaimana sepak terjang-nya di dunia literasi.


Membandingkannya denganku diusia ini, aku jadi terlihat menyedihkan. Dengan keilmuan dan pengalaman yang dia dapatkan dari banyak tempat, sekarang kapabilitas dan kompetensinya beda jauh denganku. Dari jajaran audiens, aku mencerna setiap apa yang dia tuturkan. Berdasar teoretik dan empiriknya secara personal, lalu merelevansikannya dengan keadaan peserta didik di sini (dia juga alumni sekolah ini, jadi dia tahu bagaimana keadaan di sini), aku hanya tersenyum melihat apapun yang menjadi setiap yang dikatakannya. Jadi.. Kukira dia sudah melebihiku.

Yah.. Dengan melihatnya menikmati ‘bidangnya’ aku sudah senang. Penerimaan akan sangat berbeda-beda di setiap tempat, bersiap-siaplah untuk 'panggilan lain'.

SMA Islam Cipasung pada acara Literasi. Aku tahu tidak setiap dari mereka menyukai hal seperti ini, jadi aku berterimakasih pada yang sudah kenan mentoleransi 'ketidak-sukaan'nya. Dan juga mau minta maaf pada semua guru bahasa yang seharusnya punya jatah lebih besar pada acara ini. Aku merasa terlalu campur tangan terlalu banyak pada yang bukan ‘ranahku’, ‘di tempat ini’.

Bocah-bocah yang jadi sering kena omelku dua minggu ini. Aku senang mereka sudah bisa bernyanyi tanpaku lagi, kalian mesti lebih banyak mendapatkan waktu seperti ini sebagai pengalaman-pengalaman panggung yang lain.

Lagu musikalisasi Lanskap yang dinyanyikan anak sanggar ini dibuat olehnya. Sebenarnya daripadaku, yang lebih banyak urusi anak-anak sanggar sekarang untuk kegiatan ini adalah Wawan, jadi terimakasih banyak juga buat Wawan.

Petang. Setelah kegiatan panjang hari ini, aku dijajani Bakso sama a Izoel. Sangat-sangat membantuu


Lalu disela-sela hari ini aku juga mesti menonton permainan sepak bola secara online karena si bungsu kebagian main untuk perwakilan tim sekolahnya.

Sabtu. 26 Oktober, 2024. Take vocal terakhir Neng Nida untuk part intro lagu Kwatrin Malam. Tidak main-main, kami memulainya pukul enam pagi di saung.

Siang harinya, dikunjungi Pa Wildan guru seni rupa-ku sewaktu Aliyah.

Melewati petang, lagu musikalisasi Puisi Kwatrin Malam selesai mixing dan sudah bisa diperdengarkan.

Minggu. 27 Oktober, 2024. Seperti saat pertama merekam lagu Kwatrin Malam, tiba-tiba hari ini kami membuat video klip untuk lagu Kwatrin Malam yang selesai sehari sebelum ini. Dengan keadaan kami yang sekarang memang agak susah mendapati waktu yang sama-sama senggang. Selain itu tentang kekaryaan model begini kalau terlalu lama ‘ditangguhkan’ bisa kehilangan ‘rasanya’, jadi selagi masih ada, kami mengejarnya sampai selesai dulu. Imong, Neng Nida, Wawan dan Rijal bergumul di saung sampai Isya. Lalu aku dan Ijal mengedit dan menyelesaikannya sampai pukul setengah dua pagi.

Sedikit dari kami tentang Kwatrin Malam.

Nah, lagu kwatrin malam ini sudah bisa dinikmati pada link dibawah ini yaa.. :

https://www.youtube.com/watch?v=5VkQjIJW6zA


Senin. 28 Oktober, 2024. Dibawa Cep Thoriq, Fiona Calaghan yang akrab dipanggil Juag mengunjungi ruanganku setelah mengisi acara bersama Diwan di Universitas Islam KH. Ruhiat.

-

Bagaimana ? Hariku benar-benar tidak berhenti 'kan ? haha. Aku sampai tidak kebagian waktu buat diriku sendiri.. Tapi yah.. Syukur semuanya bisa dilewati dengan lancar sakituna mah.

-

Sudah menemukan kegunaan dirimu sendiri ?, aku masih mencari.
: Sampai harus memberi jeda karena darah tinggi kumat lagi.

Bagaimana denganmu ?

 

 

 

 

 


Sabtu, 12 Oktober 2024

Kampung Naga : Finally We Met Again !


"Teu saba, teu soba. Teu banda, teu boga. Teu weduk, teu bedas. Teu gagah, teu pinter."

Jika mau hidup bahagia warga Naga harus menjauhi kehidupan harta, tidak merasa lebih tinggi dari yang lain, dan hidup secukupnya secara bersahaja, begitu barangkali jika pribahasa yang diucapkan masyarakat adat Kampung Naga ini diartikan secara sederhana dalam bahasa Indonesia.

Pribahasa yang begitu arif ditengah modernitas dan gaya hidup urban-glamor dan kapitalis yang sedang tren saat ini. Ironi memang. Bagi masyarakat Kampung Naga, sejatinya kebanggaan hidup bagi mereka terletak pada keharmonisan antara manusia dengan alam.

-

Nah, kali ini aku akan bercerita tentang perjalanan 'kembali' ke sini tepat setelah sepuluh tahun lalu.


Sabtu. 12 Oktober, 2024. Aku berangkat ke Kampung Naga, salah satu kampung adat yang ada di Kabupaten Tasikmalaya. Sebuah kampung adat yang masih lestari. Masyarakatnya masih memegang adat tradisi nenek moyang mereka. Mereka menolak intervensi dari pihak luar jika hal itu mencampuri dan merusak kelestarian kampung tersebut. Sebenarnya ini bukan kali pertama buatku, tapi mengingat kunjungan terakhirku kesini, agaknya sudah lama sekali. Bertempat di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, tempat ini sedikit-banyak berubah sejak waktu itu. Pohon besar di gerbang gapura masuk Kampung Naga kini sudah ditebang, tapi pepohonan di dalam lebih terasa rimbun.

Untuk mencapai pemukiman warga kita mesti menapaki anak tangga yang berjumlah sekitar 350-400 anak tangga (aku lupa hitunganku karena kelelahan, bahkan hanya untuk turun).

Kali ini aku datang ke sini karena perkuliahan untuk mata kuliah Pendidikan Pancasila yang diampu Bp. H.E Koswara, S.Ip, .M.Si dibuat dengan format outing class. Jadi kami kiranya akan mencari hal-hal yang berkaitan dengan materi perkuliahan pada minggu kemarin tentang Alam Pikiran Pancasila (yang isinya tentang filsafat hueee) lalu mencocokan hal-hal itu dengan yang ada di kampung Naga. Aku tidak benci mata kuliah ini sih, aku tidk ada masalah dengan Pancasila-nya, tapi yang kusayangkan adalah implementasi sosial terhadap nilai-nilainya yang pudar sudah sejak lama, apalagi hari ini.

Sedikit tentang Pa Koswara, aku baru ikut perkuliahannya dua kali dengan yang sekarang. Beliau ini seorang yang disiplin, lalu berintegritas tinggi pada usianya yang ‘lumayan’. Pa Koswara punya banyak sekali pengalaman selain mengajar sebagai orang lapangan-eksekutor. Dan meski berbakti pada negara, dikatakan dengan jujur oleh Pa Koswara bahwa beliau tidak suka dengan penggunaan birokrasi. : “Menyulitkan.”, ujarnya padaku. Beliau dikenal sebagai seorang yang berani, sering ‘ngoceh’ tentang hal-hal yang tidak seharusnya. Ohh.. Baiklah, Bapak ini lumayan cocok juga denganku yang seorang pemberontak dalam sisi ini.

Memasuki Kampung Naga, yang akan terlihat pertama kali ketika berkunjung adalah lapangan ini. Ini keadaan yang cukup timpang secara way of living circumstance . Padahal sisi sebelumnya yanh tidak terlalu jauh adalah ruas jalan provinsi dengan gaya pemukiman yang cukup urban.

Di depan Mesjid banyak tersandar berpasang Egrang atau Jajangkungan. Izoel, Fikri dan Rais mencoba memainkannya. Sampai sekarang aku tidak bisa menaiki ini. Padahal aku ingat dulu si Bapa pernah membuat yang seperti ini di Gunung Rukem.

Tumpukan kayu bakar di pinggir rumah. Kampung Naga masih menggunakan tungku untuk keperluan rumah tangga. Dan setumpukan ini kira-kira untuk ‘stok’ beberapa bulan.


Pa Iin. Beliau ini penduduk asli Kampung Naga yang menjadi guide kami. Setelah berkumpul dan di absen Pa Koswara, kami di bawa ke rumah Pa Iin untuk menikmati ‘hidangan tamu’. “Tuang heula, tos dieusian mah raoseun nguriling ge.”, Ujar Pa Iin. Aku tidak mendapati perlakuan seperti ini sebelumnya saat kunjunganku terakhir. Aku melihat ini sebagai perlakuan ‘penerimaan’-memuliakan tamu, atau mungkin ini karena kunjungan semi-formal, dan Pa Koswara juga dikenali sebagai seorang dari ‘luar’ yang punya kontribusi di Kampung Naga. Yah.. Yang manapun keduanya baik sih.

Aku tidak makan. Sebagai gantinya aku memilih teh hangat.

Di depan rumah Pa Iin ada salah satu souvenir shop untuk pengunjung. Isinya kebanyakan barang-barang kerajinan yang dibuat dari bahan alam. Aku dibelikan pipa once oleh Delta di sini. Terimakasih ya Del, hehe. Koleksi once-ku nambah lagii.

Bentuk rumah Masyarakat di Kampung Naga semuanya mesti berbentuk rumah panggung dengan bahan bambu dan kayu. Semua rumah memanjang pada alur timur-barat. Arah itu dipilih, karena sejalan dengan alurnya matahari. Atap rumah dibuat dari daun nipah, ijuk atau alang-alang. Ini membuat suara hujan bisa diserap dengan baik, teu gandeng. Juga dikatakan atap ini bisa bertahan sampai 20 tahunan. Selain itu rumah tidak boleh dicat kecuali dikapur.

Tidak lama setelah kami berkeliaran sekitaran ‘rumah tamu’, waktu ashar datang. Kami shalat berjamaah di masjid kampung.

Bagian dalam belakang masjid, saat masuk pintu mesjid kita akan melewati geladak ini.

Bedug dan Kohkol masjid.

Setelah shalat kami masuk ke rumah tamu. Pa Koswara memperkenalkan Pa Iin yang akan menjadi narasumber kami tentang Kampung Naga. Dimulai dari Lokasi dan topografi. Dengan luas 1,5 H. Kampung naga memiliki 111 bangunan (termasuk Bumi Ageung, masjid dan rumah tamu), dengan penduduk yang berjumlah 283 orang pada 103 kepala keluarga. Masyarakat di sini bermata pencaharian dengan bertani dengan cara yang masih mempertahankan tradisi. Sebagai sampingan Masyarakat kampung Naga juga membuat kerajinan-kerajinan kriya dari banyak bahan-bahan alam.

Memanen Kapulaga.

Terdapat empat lembaga adat di Kampung ini. Terdiri dari Kuncen (pimpinan sepuh tertinggi-chief), Palebe (seorang yang menangani bidang keagaman), Punuh Desa (yang mengurusi hubungan dengan pemerintahan ‘luar’ yang konvensional) dan Punuh Adat (yang mengurusi adat kebudayaan secara tradisi Kampung Naga sendiri). Keempat lembaga pemerintahan Masyarakat adat ini menggunakan sistem turun temurun.


Sedikit disayangkan, menyoal sejarah kampung Naga sendiri dikatakan Pa Iin, asal mula kampung ini tidak memiliki titik terang. Tak ada kejelasan sejarah, kapan dan siapa pendiri serta apa yang melatarbelakangi terbentuknya kampung dengan budaya yang masih kuat ini. Warga kampung Naga sendiri menyebut sejarah kampungnya dengan istilah pareumeun oborPareum jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yaitu mati, gelap. Dan obor itu sendiri berarti penerangan, cahaya, lampu. Jika diterjemahkan secara singkat yaitu, Matinya penerangan.

Hal ini berkaitan dengan sejarah kampung naga itu sendiri. Mereka tidak mengetahui asal usul kampungnya. Pa Iin selalu menuturkan apapun dengan kata tidituna, sesuai pengalaman empirik Pa Iin yang menghabiskan hidupnya di sini. Masyarakat kampung naga menceritakan bahwa hal ini disebabkan oleh terbakarnya arsip/sejarah mereka pada saat pembakaran kampung naga oleh Organisasi DI/TII Kartosuwiryo. Pada saat itu, DI/TII menginginkan terciptanya negara Islam di Indonesia. Kampung Naga yang saat itu lebih mendukung Soekarno dan kurang simpatik dengan niat Organisasi tersebut. Oleh karena itu, DI/TII yang tidak mendapatkan simpati warga Kampung Naga membumihanguskan perkampungan tersebut pada tahun 1956.

Pola pemukiman Kampung Naga ini dibuat dengan istilah Diadu payun-Diadu pengker. Jadi, rumah Masyarakat di kampung ini dibangun dengan pintu utama depan yang saling berhadapan dengan rumah lainnya. Ini sebenarnya adalah sebagai fungsi penerapan nilai sosial. Masyarakat akan saling mengetahui keadaan para tetangganya.

Masyarakat Kampung Naga juga masih memiliki dan menerapkan banyak tradisi yang tidak sering didengar seperti Tali Paranti. Secara umum Tali Paranti ini merupakan aturan-aturan yang tidak tertulis tetapi mengikat, yang dilaksanakan secara maranti atau biasa dilaksanakan. Secara keilmuan, tali paranti sejajar dengan tradisi atau adat-istiadat. Lalu tentang hal tabu atau pantangan yang biasa disebut Pamali. Pamali bagi masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan patuh khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas kehidupannya. Pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang. Misalnya tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah rumah,pakaian upacara, kesenian, dan sebagainya.


Lalu untuk kelestarian lingkungan, ada istilah yang dikenal dengan Leweung Larangan, hutan yang dikeramatkan. Hutan ini berada di sebelah sebelah barat Kampung Naga yang berfungsi juga sebagai batas wilayah. Lepas dari apapun, kukira salah satu fungsi hutan ini adalah PenyeimbangHalodo teu panas, cai ngagolontor, Musim panas tidak panas dan air masih mengalir deras. Kampung Naga memang punya banyak sekali pohon-pohon berukuran besar.

Di bidang kesenian, masyarakat Kampung Naga memiliki terbangan, angklung, beluk, dan rengkong. Secara instrumental, Terbang ini adalah sejenis alat tabuh membranofon berbentuk bulat yang terbuat dari kayu dan kulit dan Kesenian Terbangan biasa dipentasan pada hajat sasih.

Angklung-angklung Kampung Naga. 


Salah satu yang membuatku terkejut adalah aku ketemu lagi dengan Abah Ma'un. Kami pertama bertemu saat tahun 2014 saat aku masih berambut panjang sepunggung.


Bah Ma'un ini adalah Kuncen Kampung Naga sekarang. Lahir pada tahun 1934, Bah Ma'un ini sekarang berusia 90 tahun, dan beliau masih sangat sehat ! Mengerikan memang. Aku senang ketemu beliau lagi, mengetahui beliau masih menghidupkan kehidupannya seperti terakhir bertemu. Aku banyak berubah. Berkacamata, berambut pendek, sering patah hati dan terluka haha. Sedangkan Bah Ma'un, beliau hari ini punya senyum yang makin luas ! Senang sekali ketemu lagi, sehat selalu ya, Bah !


Rais diantara para wanita saat jalan-jalan mengitar Kampung.


Pa Cecep juga tidak mau kalah nyempil diantara mereka.


Izoel Fahmi, yang 'menghasutku' untuk ikut kuliah tahun ini. Yah.. Sejauh ini so far so good, laa.


Ikan Patin ini sangat besar, aku yakin usianya bertahun.


Semua sibuk dengan handphone-nya haha.


Beberapa anak kelas ketemu dengan beberapa turis di perjalanan. Mereka sekalian latian speaking bahasa inggris.


Foto bersama dua kelas jurusan Pendidikan Bahasa Inggris dalam mata kuliah Pendidikan Pancasila. Tapi sebenarnya aku malah merasa ini mata kuliah Antropologi daripada Pendidikan Pancasila sih  karena yang kudapatkan malah hal-hal begini, haha. Lalu, setelah ini, terbitlah tugas makalah. Hueeeee, aku mestinya mencium bau-bau kejahatan tugas, pasti ini tida semena-mena hanya outing class saja haha.

 -

Yah.. Tapi kali ini aku lebih menikmati perjalanan ini sebagai researcher daripada sebagai mahasiswa sih hahaa. Datang kembali ke Kampung Naga dengan keadaan personal dan perspektif yang berbeda. Pulangnya kami setengah hujan-hujanan. Hari baik dan panjang, seharian bersama orang-orang baru. Menyenangkan juga, terimakasih Pa Kos dan teman-teman semua !

-



Kampung Naga sebenarnya buatku seperti sudah jadi bagian hidup. Tidak banyak orang tahu dan akupun tidak banyak memberi tahu orang-orang tentang aku yang pernah menjadi figur pada video profil kampung adat ini yang diusung oleh Disparpora bertahun lalu.

Di channel Youtube Disparpora, video ini sudah diganti tiga tahun lalu, jadi video ini sudah tidak ada di Youtube. Video yang sekarang figur modelnya diganti perempuan, barangkali supaya lebih eye cactching. Karena figur di video profil sebelumnya barangkali tidak cukup menarik haha. Pokoknya aku ingat Fee dari project ini aku pakai untuk menemani ibuku pergi menjenguk keluarga kakakku di Batam saat itu.

Yah.. Sebagai bonus, aku tambahkan videonya. Ini sebagai pengingat saja untukku, bahwa aku pernah bermanfaat buat mereka. Ah.., aku rindu bepergian begini..