Rabu, 04 September 2024

Wa Loloh


Senin, 2 September 2024
. Setiap hari senin mulai semester ini aku selalu pulang sore karena jam kerja mesti ditambah dengan rapat mingguan efek dari kurikulum merdeka yang esensinya bagus tapi membuat tidak merdeka. Ditambah aku mesti menyirami tanaman-tanamanku setelah seminggu di tempat kerja, karena ini tidak termasuk dalam job-desk pekerja, : tempat yang sekarang, pada waktu ini, tidak bisa cukup untuk menggaji mereka untuk pekerjaan ini. Selain itu ini adalah keinginanku, lalu tanaman-tanamannya semua adalah punyaku yang kupindahkan dari rumah dan saung. Yah, kerepotan ini sebagai harga kenyamanan kerja, minimal buatku sendiri, dan ini bukan hal besar. Pira tibang sasapu jeung nyeboran.

-

Uwa memang sakit sudah lama, diagnosanya pembengkakan jantung. Tapi dua hari terakhir sesak dan batuknya agak membuatnya kesulitan. Dan Uwa selalu tidak mau membuat orang lain kerepotan tentang keadaanya. Aku yang pulang maghrib ke rumah sebenarnya diminta ibuku untuk menemuinya. “Sugan ku Eki mah daek, hese emamna.”, Ujar ibuku. Aku kelewat kelelahan hari itu, aku bilang besok saja sembari berangkat kerja pagi-pagi kutengok. Pulang ke kosan di saung lalu tidur lebih awal. Pukul 12.59, tengah malam Bapakku yang biasa menemani uwa setiap malam dirumah Uwa menelpon, jam segini, aku sudah tidak berpikir yang lain lagi. Dari semua hal yang kukhawatirkan lalu benar-benar terjadi. Bapa mengabarkan Uwa telah berpulang malam tadi. : Lagi, aku selalu terlambat.


Bapakku menuturkan Uwa hendak shalat isya agak malam, lalu bapakku tidur. Dan terbangun karena tidak terdengar suara batuk-batuknya. Bapakku mengecek ruang tengah rumah, tempat biasa uwa tidur, tidak ada, lalu bapak bergegas mengecek ke kamar biasa Uwa sembahyang, ternyata uwa ada di sana. Bapakku mengira Uwa tertidur, sempat menawarinya memakai bantal dan selimut untuknya jika hendak ingin tidur di sana, tapi Uwa sudah tidak menjawab. Uwa telah berpulang, terbaring masih memakai mukena, diatas sajadahnya.

Seketika rumah Uwa ramai. Kami para keluarga yang ada menghubungi keluarga yang lain. Para warga di kampung Babakan sangat sigap mengurusi mayit, Uwa sudah dikafani bahkan sebelum waktu shubuh.. Lalu mayit Uwa disholatkan di masjid kampung Babakan, tempat Uwa juga mengisi pengajian. Tamu-tamu melayat mulai berdatangan, ke rumah juga ke masjid untuk menyolatkan. Setengah sembilan mayit dinaikan mobil ambulans Pondok Pesantren Cipasung, lalu diberangkatkan ke Gunung Rukem, makam keluarga, untuk dikuburkan. Semuanya sangat lancar, Uwa berpulang dengan sangat ringan.. Alhamdulillah..

Aku barangkali punya waktu cukup lama bersama dengan Uwa di tahun-tahun terakhirnya.. Jadi.. Aku sedikit menuliskan yang kuingat dua hari ini saja.. Tentangku pada Uwa..

Kakak yang berbeda, pagar kuat keluarga.

Putra-putri kakekku lumayan banyak jumlahnya. Usia saat aku mulai bisa mengingat, semuanya ada tujuh belas bersaudara. Keadaan keluarga yang turun naik, dengan banyak hal, aku mengenal Uwa sudah menjadi sebagai seorang yang dituakan di keluarga. Masa muda Uwa sejak lama mengambil tanggung jawab sebagai ibu, kakak, juga guru bagi banyak adik-adik, bahkan juga anak-anak dari adiknya. Sifatnya yang tegas dan penuh pertimbangan, dengan itu Uwa lah yang kulihat selalu berperan sebagai patanyaan dan pengambil keputusan ketika keluarga ketika hendak menghadapi banyak hal.


Pengajian shubuh, khatam Al-Qur’an pertamaku

Hampir semua cucu-cucu Ma Nini mengaji di rumah Uwa setiap ba’da shubuh-setiap hari, termasuk aku yang berantakan ini. Didikan Ma Nini, ibu Uwa, nenekku memang cukup kuat soal Pendidikan agama. Tidak boleh bolos ngaji barang seharipun jika memang bukan sakit alasannya. Aku yang kadang malas bahkan sering ‘bertarung’ dengan Bapaku karena tidak ingin mengaji, tapi ya tetap tidak bisa. Semua pendidikan agama dasar kudapatkan dari rumah, pengajian shubuh Uwa dan pengajian malam dari Wa Odah dan Ma Eje (Keduanya kakak-adiknya Uwa).

Aku mulai belajar membaca buku Iqra di pengajian shubuh Uwa. Sampai selesai Iqra jilid enam, setelah itu aku mulai bisa membaca Al-Qur’an. Saat itu aku dan Iyus (putra adiknya uwa yang lain yang seumuran denganku) juga tamat Iqra, jadi Uwa menghadiahkan dua Al-Qur’an baru. Untukku yang bersampul warna merah, dan hijau untuk Iyus.

Butuh berbulan untukku untuk selesai mengkhatamkannya. Aku lebih dulu khatam daripada Iyus saat itu. Pertama khatam, aku dihadiahi Uwa baju koko dan patutunjuk (semacam kursor supaya kami mudah melihat garis ayat dalam Al-Qur’an). Maksudku, Uwa sudah siap-siap menghadiahiku ketika aku tinggal menyelesaikan beberapa surat pendek dalam juz 30 dalam Al-Qur’an. Uwa masih bisa menyimpan perhatian untuk ini dalam segala kesibukannya.

Setiap hari di pengajian Uwa, kami selalu memulainya dengan ngaderes Al-Qur’an. Selanjutnya disambung dengan belajar kitab-kitab dasar seperti Safinah, Tijan, Akhlaqul Banain, Tafsir, Tarikh, Diba’, dan lainnya. Kendati demikian, itu tidak membuatku menjadi seorang yang cukup baik dari segi pengetahuan agama. Menyedihkan memang, tapi minimal aku teu sasab-sasab teuing. Dan itu benar-benar menjadi bekal untukku yang tidak pernah nyantren di usia sekarang.

Pengajian ini masih berlanjut sampai generasi Salwa, Faiz, Acha (cucu-cucu Ma Eje) tahun 2021. Setelah generasi cucu-cucu ini seusia SMP lalu mereka masantren, tidak ada lagi anak-anak usia kecil di keluarga, jadi pengajian shubuh ini terhenti pada generasi mereka.


Diantar ke Cipasung

Cipasung saat itu masih asing buatku meski namanya kuketahui sejak lama karena sering disinggung dalam obrolan di rumah, selain itu Uwa mengajar di sana. Usia SMA, aku mendaftar ke SMA Islam Cipasung, tepat saat itu tahun Uwa berhenti mengajar di SMA. Aku merasa aman dengan ini. Tapi, barangkali sebagai tindakan ‘preventif’ Uwa, karena aku memang sudah terlihat bangor, Uwa mengantarku langsung ke sekolah. Jadi mau tidak mau identitasku langsung terbongkar oleh guru-guru SMA saat itu. Otomatis sekali aku tidak bisa bangor, karena indikatornya adalah Uwa dan anak-anak Uwa yang prestisius. Daripada Ibu-Bapakku, aku lebih takut omelan dari Uwa. Jadi sebisa mungkin aku tidak mau membuat ‘kegaduhan’ tentang ini, omelan perempuan cukup dari ibuku saja. Jangan dari yang lain, apalagi dari Uwa. Selain itu ada Om Dedi, pamanku yang juga teman si Bapa sebagai guru BK yang saat itu kondisinya sangat masih prima. Hilanglah sudah kesempatan bangorku saat itu.

Tiga tahun, aku sangat berusaha menjadi anak baik-baik. Baju seragam yang selalu dimasukan, rambut rapi, tidak pernah bolos. Menjaga ‘keadaan’ baik-baik saja. Meski kelas tiga aku mulai sedikit berontak, aku mengeluarkan baju seragamku (bahkan untuk hal seperti itu saja ini sudah sangat beresiko, jangan bandingkan dengan masa sekarang : moal kaharti, geus teu sarua jamanna). Tahun ketiga ini aku sudah mulai mengenal Pa Kyai Abun yang saat itu sebagai kepala sekolah SMA. Aku yang cukup aktif di osis dan organisasi lainnya mulai kentara oleh Pa Kyai. Darisitu aku punya beberapa waktu berinteraksi dengan pa Kyai Abun, sampai menanyakan aku orang mana, lalu ketahuan saudaranya Uwa. Makinlah aku tidak bisa bergerak. Tapi aku yang natural sembrono ceplas-ceplos sudah mulai dikenali Pa Kyai, selain itu aku cukup mahir soal bahasa inggris, jadi aku cukup dalam posisi ‘aman’ di sekolah saat itu. Syukur aku tidak pernah kena kasus-kasus aneh. Yah, paling kalau bangor pun cuma bangor lembur.

Di tahun itupun aku mengetahui bahwa Pa Kyai Abun itu sahabatnya Uwa, seumuran dan seangkatan sejak kecil karena Uwa menghabiskan masa kecilnya di Pesantren Cipasung.

 

Keinginan ideal

Lulus SMA, masa kebimbangan. Aku sampai setahun kabur-kaburan ke Bandung demi keinginan kerasku untuk mengambil studi seni rupa yang tidak diizinkan beberapa orang di keluarga (Bukan ibu-bapakku, mereka sih santai). Mau jadi apa jika meneruskan itu ?, pertanyaan berat yang dilontarkan dengan ringan padaku yang seusia itu. Sebagai tuntutan keinginan ideal, aku digadang-gadang harus masuk perguruan tinggi agama, aku direncanakan-dirancang menjadi agamawan yang jelas-jelas tidak fit untukku. Tahlil ge teu katalar, kan lieur.

Uwa yang sudah melihatku berkembang ke arah lain menawarkanku untuk mengambil jurusan Bahasa Indonesia sebagai alternatif dan berupaya meredakan tekanan ‘dari yang lain’ padaku untuk mengambil Pendidikan agama (Uwa sudah mengetahui aku suka menulis saat itu). Tapi aku bersikukuh ingin seni rupa, waktu semakin sempit, akhirnya aku berakhir mati pada jurusan Teknik. Sejak itu kehidupan hambarku dimulai, aku beralih berhenti melukis realis menjadi aliran abstrak dan ekspresionisme, gambar-gambar yang kubuat sebagai suara protes yang tidak didengarkan.

Sebagai pelajaran : jangan ada anak-anak lain yang salah jalan atau disalah-jalankan. Kemungkinan terburuknya, adalah merusak masa depan. Bicarakan sebaik-baiknya.

 


Pengajar, guru, dosen statistik yang tegas

Dunia pendidikan mengambil jatah besar di kehidupan Uwa. Uwa pernah mengajar di PGAN Sukamanah, MAN Sukamanah, SMA Islam Cipasung IAIC, STIE. Selain itu Uwa juga mengisi pengajian di majlis taklim kampung.


Setelah Uwa tidak mengajar di SMA, Uwa lebih disibukkan di IAIC (UNIK saat ini), bahkan Uwa sempat menjadi kaprodi untuk jurusan PAI. Di IAIC Uwa mengajar mata kuliah statistic, entahlah banyak di keluarga Uwa memang agak piawai soal pelajaran eksakta (mungkin kecuali aku). Dikenal sebagai dosen yang tegas, beberapa yang menyalah artikan kanyaah-nya bahkan tidak jarang Uwa disebut galak. Karena Uwa benar-benar strict soal Pendidikan, apalagi mengajar mahasiswa yang notabene outputnya akan jadi pendidik pula.


Setiap menghadapi minggu ujian, aku selalu mengetikkan soal-soal ujian mata kuliah statistik. Aku hanya perlu menyalinnya. Uwa sudah menulis secara manual soal-soal yang dibuatnya, lengkap dengan tabel logaritmanya. Itu sekitaran tahun 2012 sampai uwa berhenti mengajar. Jadi pada tahun-tahun awal itu aku membuatkan soal-soal untuk teman seangkatanku saat SMA yang berkuliah di IAIC. Aku sering kena protes oleh mereka, mereka berujar untuk janganlah membuat soal-soal yang sulit-sulit kalau soal statistik, lha itu semua di luar kuasaku, aku tidak tahu karena aku Cuma mengetikannya saja. Tapi gara-gara itu, aku jadi tidak begitu kesulitan di mata kuliah statistic di tempatku kuliah, aku seperti sudah tahu pola-pola soal statistic gara-gara sering mengerjakan soal-soal Uwa. Daya ingat uwa terhadap angka-angka juga mengerikan buatku. Di usia lanjut itu, Uwa bisa dengan mudah mengotak-ngatik soal dengan mengubah nilai angka-angka utamanya, logaritma, sinus, kosinus dan tangennya, lalu memperkirakan semua jawabannya.


Dengan masa mengajar yang cukup lama, kukira Uwa punya beribu murid yang mengenalnya dengan baik. Ini terbukti setiap aku hendak mengantarnya kemanapun, selalu ada saja yang menyapa Uwa. Dan banyak itu selalu diawali dengan kalimat, “Ibu, emut keneh ka abdi ?”, tapi seperti pa Kyai Abun, setelah sedikit mengobrol, Uwa selalu dapat mengingat murid-muridnya itu satu persatu.

 


Rambut panjang

Lagi-lagi bagian ini. Bagian tubuhku ini selalu menjadi masalah di banyak tempat. Termasuk di keluarga. Padahal bapakku saja gondrong, curang banget aku selalu dikatai soal ini. Diawal-awal masa kuliah, rambutku sampai sepunggung, banyak sekali yang mengomentari ini di keluarga termasuk Uwa. Yah, bagaimana tidak, Uwa yang selalu ‘menjaga’ para mahasiswanya untuk berpenampilan rapi (barangkali karena mereka calon guru, apalagi calon guru agama). Tentu beda kasus denganku yang jurusan entah dan kuliah di tempat yang berbeda. Jadi mungkin Uwa merasa keinginannya roboh karena aku. Saat kuliah aku sangat menjaga identitas supaya tidak ada yang mengetahui bahwa aku masih saudara Uwa. Tapi tetap saja orang-orang tahu, sering kedengaran, “Bu Mumun mah bageur atau teladan, naha dulurna mah kieu.”. Aku sangat faham sih tentang ini, yah.. Ke-figuran Uwa memang banyak jadi teladan buat orang-orang.

Dan anehnya rambut ini sering disangkut pautkan dengan kualitas berkehidupan. Padahal bisa saja yang rambutnya panjang lebih bagus personalnya daripada yang keliatannya pecian tapi sering korupsi yang sering kita lihat hari ini. Pembelaan yang sering kudengar tentang ini adalah kalimat, “Tapi kan setidaknya.”. Maaf, sudah tidak masuk di telingaku. Aku cuma mau berusaha menjalani kehidupan sebaik mungkin sesuai dengan jalanku saja. Dan dengan beginipun kukira tidak ada salahnya. Karena kewajibanku juga kuselesaikan. Dan aku tidak mengganggu orang-orang dengan ini.

Sampai pernah aku mencoba bereksperimen saat berambut panjang, tidak pernah ketinggalan shalat, tetap saja dianggap tidak baik. Lalu aku memotongnya pendek rapi, lalu tinggal shalat sampai tiga hari, dan aku masih dianggap seorang yang baik haha. Betapa cara ‘melihat’ orang-orang di sekitar kita hanya segitu saja. Menyedihkan. Dan pandangan seperti ini sudah terjadi lama, bahkan sampai sekarang di kultur sosial orang-orang.

Belakangan, Uwa menyerah tentang ini. Karena aku memang tidak aneh-aneh. Pergaulanku aman saat itu dan aku masih bermanfaat (dan dimanfaatkan) buat orang-orang. Tentang ini, sebenarnya bukan masalah gaya, atau aku yang dikenal menyukai seni yang kebanyakan gondrong. Aku memang lebih enak saja begini. Alasannya, hanya sesederhana itu saja.


Tentangku. Kesenangan dan kekhawatiran untuk Uwa

Tahun 2018 aku diamanahi Pa Kyai Abun untuk membantu berbagi ilmu di SMA Islam Cipasung. Mengetahui ini, Uwa senang sampai sengaja memanggilku dan menanyaiku soal ini. Uwa merasa senang ada seorang di keluarga yang sama-sama mengabdi di Cipasung. Di sisi lain uwa juga khawatir, karena orang yang mewakili itu malah aku, bukan saudara di keluarganya yang ‘normal’. Khawatir tentangku yang akan berkeliaran di sekitar lingkungan pendidikan di Cipasung karena appereance-ku ku yang terkesan terlihat tidak galib jika memang sebagai tenaga pengajar, lalu cologog dan tidak canggung bahkan untuk sekedar bercanda ringan ke pa Kyai. Ini seringkali membuat Uwa waswas, bisi kaleleuwihi. Tapi selama dua tahun itu syukur aku tidak pernah kena omel apapun oleh Pa Kyai, malah sering dikasih tugas yang berhubungan dengan seni, di sekolah, bahkan didekatkan ke lingkungan pesantren.

Merasa Pa Kyai Abun adalah sahabat Uwa, aku kadang merasa aku tidak punya sekat apapun untuk mengatakan semuanya. Dan selama ini, kukira Kyai Abun tidak pernah mempermasalahkan itu. Karena hubunganku bersama beliau juga sangat baik sampai Pa Kyai Abun wafat.


Uwa memang begitu takdzim dan mencintai Cipasung. Mungkin ini keterpengaruhan yang tumbuh diwarisi sejak masa kakekku yang juga mengabdi ke Cipasung pada zaman pa Kyai Ruhiat. Barangkali hal ini juga tumbuh pada Uwa.. Karena sering dikatakan Uwa padaku, "Kudu nurut ka Pa Kyai.", Ini yang Ma Nini katakan (ibunya Uwa) saat pertama diminta membantu mengajar di Cipasung oleh pa Kyai Ilyas.

 

Uwa pamit dari IAIC

Sekitar 4 tahun lalu, suami Uwa wafat. Dari situ Uwa tinggal sendirian, karena puteranya yang laki-laki tinggal-kuliah di Jerman, dan yang perempuan di Surabaya. Kami keluarga yang di kampung jadi bergantian menginap menemani di rumah Uwa, atau tidak ada Mang Undang, Bi Nyai, atau saudara yang lain sengaja berkunjung di akhir pekan. Belakangan akhirnya Bapakku yang  paling sering menemani Uwa (Sampai malam Uwa wafat). Di tahun-tahun itu Uwa juga mulai sakit-sakitan, saat pertama keadaan parah Uwa dibawa ke rumah sakit dengan diagnosa pembengkakan jantung. Dari situ Uwa sering sesak, dan barareuh. Gejala umum yang ditemukan pada penyakit jantung.

Saat itu uwa juga masih mengajar di IAIC. Aku mengantar jemput setiap hari karena aku masih bekerja di SMA, jadi kami bekerja di lingkungan yang sama. Sebenarnya Uwa sudah pensiun sejak lama, jadi Uwa tetap di IAIC hanya karena amanah Pa Kyai Abun untuk tetap mengajar di sana.


Tahun 2022, Pa Kyai Abun wafat. Kesedihan menyeruak pada banyak orang termasuk Uwa. Kehilangan sosok seorang kyai, juga sahabatnya. Uwa masih mengajar, tapi lama-kelamaan keluarga jadi khawatir. Dengan pertimbangan usia dan kesehatan, akhirnya Uwa 'dibujuk' putra-putrinya, dan adiknya Bi Ntut untuk berhenti mengajar di IAIC.

Pengabdiannya pada Cipasung selalu Uwa banggakan dan selalu menjadi cerita untuk keluarga. Hasratnya untuk mengajar masih sangat besar. Uwa tidak pernah bolos dengan alasan hoream atau tidak mood sepertiku. Bahkan saat sakit berat, Uwa masih bisa memikirkan para peserta didiknya.. Contoh integritas yang sangat sulit untuk dikejar olehku yang sering berleha-leha.

Aku tidak pernah melihat mata Uwa berkaca-kaca. Sampai hari saat Uwa pamit dari IAIC. Suaranya berat saat bicara.. Dan ini lebih melukaiku ternyata.. 45 tahun mengajar di IAIC. Buatku, terlepas dari apapun. Uwa sudah melakukan yang paling baik disini..


Setelah itu. Uwa sempat dibawa tinggal bersama putrinya, tinggal di Surabaya.

 


Bunga-bunga

Kurang lebih enam bulan Uwa tinggal bersama Teh Irma, putrinya di Surabaya. Lalu Uwa pulang ke Tasik untuk hari raya. Tapi akhirnya malah tidak kembali lagi ke sana. Uwa memilih untuk tinggal di sini saja. "Sabisa-bisa wé di lembur, ngajagaan warung, ngawuruk di Madrasah..", ujarnya..

Sekembalinya, Uwa jadi punya banyak waktu luang, aktivitasnya berkurang karena sudah tidak lagi mengajar di IAIC. Aku juga jadi kadang gantian menginap lagi menemani Uwa bersama si Bapa. Uwa jadi punya banyak hal yang diperhatikan, seperti Uwa mengurusi tanaman-tanamannya di halaman bawah juga di lantai dua rumah.

Pernah aku dan Uwa mendapati bunga buah naga yang mekar suatu pagi hari, ukurannya besar sekali.. Sontak Uwa menyuruhku memotretnya.. Sama denganku, Aku baru mengetahui Uwa begitu menyukai bunga-bunga..


Ari Eki Kamana ?

Lima tahun terakhir ini Aku memang sering bepergian, banyak pekerjaan (dan main) yang jaraknya dekat sampa berjauhan. Sebelum bepergian seperti itu, aku biasanya pamit ke Uwa. Bilang kalau Bapa yang akan menginap sementara waktu aku pergi.. Apalagi tahun 2022-2024 aku diboyong Yudhistira ANM Massardi di perjalanan Safari Sastra. Aku bisa pergi berminggu-minggu untuk perjalanan ini. Aku kadang nyelang untuk video call pada Uwa, dijeda-jeda saat perjalanan panjang begitu, Uwa menanyakan kapan aku pulang..

Tapi jangankan perjalanan panjang, aku sekali bolos tahlil malam jum'at saja aku selalu ditanyakan kemana lewat ibuku. Jadi setiap sepulangnya setiap perjalanan aku mesti 'Absen'. Lalu bercerita setiap tempat dan pengalaman yang menarik yang kutemukan.. Tapi darisini aku senang, Uwa sudah mulai menerima, bahwa caraku menghadapi kehidupan adalah dengan jalan yang kupilihkan sendiri. Sekali lagi, apapun boleh, asal tetap memberikan kebaikan dan sebisa mungkin tidak meninggalkan kewajiban mengajar, yang nyatanya aku banyak sekali bolos.


Obrolan yang sama

Pada tahun-tahun terakhir, aku berkali-kali mendengar cerita yang sama dari Uwa. Aku tidak tahu apakah Uwa sadar atau tidak bercerita tentang itu padaku berkali-kali. Tapi aku tidak pernah memotongnya meski aku sudah tau persis kemana arah jalan ceritanya. Pelupa, pikun ? Syukurnya tidak, Uwa masih sangat sehat secara ingatan. Barangkali di usianya yang lanjut, aktivitasnya jadi berkurang dan intensitas komunikasinya sedikit. Jadi yang Uwa 'temukan' setiap hari bisa jadi tidak begitu banyak. Kurasa ini sebabnya yang diceritakan masih hal yang sama atau tidak begitu jauh dari yang sebelum-sebelumnya. Tentang yang Uwa ceritakan, terlepas dari nilai perasaannya yang bahagia atau tidak, barangkali baginya, itulah waktu terbaik semasa hidupnya yang tetap melekat dalam ingatannya.

Tapi gara-gara itu, aku jadi tahu bagaimana keadaan-keadaan lalu. Sejarah keluarga, juga tentang hari-hari di masa mudanya yang ternyata pernah menjadi mahasiswa kedokteran UNPAD, kedokteran gigi UGM, sampai akhirnya mengambil tarbiyah di IAIN Yogya.

Lalu karena aku juga mengajar, aku dan Uwa sering mengobrol dan mengkomparasi keadaan dunia pendidikan yang sekarang dan yang lalu di zaman Uwa yang sama sekali berbeda. Kurikulum, integritas guru dan peserta didik, kebijakan, dan hal krusial lainnya. Usiaku yang sudah lewat kepala dua juga ternyata tidak terlalu jelek bertumbuh untuk memaknai keadaan-keadaan seperti ini. Aku tiba-tiba sudah bisa membicarakan hal seperti ini dengan Uwa. Uwa tidak lagi melihatku sebagai bocah yang perlu dikhawatirkan.

 


Kukenalkan pada teman-temanku

Saat kebagian menginap di rumah Uwa kadang aku membawa teman-kolega, lalu mengenalkannya pada Uwa. Meyakinkan pergaulanku ‘aman’ meski dengan banyak jenis orang bahkan yang berbeda agama. Beberapa muridku, guruku, seniman-seniman, sampai aku sempat membawa juga orang tua angkat yang pernah mengurusku saat berkeliaran, mengenalkannya pada Uwa bahwa mereka semua orang-orang baik. Uwa senang saja dikunjungi, mengenal orang-orang yang berkenaan dengan kehidupanku.

 


Mengantarnya mengunjungi sahabatnya

Di satu malam saat menginap, aku dan Uwa mengobrol tentang Cipasung. Semua merujuk pada hari-hari Cipasung pada masa kepemimpinan Pa Kyai Abun, sahabatnya. Aku secara tiba-tiba punya ide untuk membawa Uwa untuk berziarah ke makamnya. Kebetulan hari esoknya aku libur dan karena Uwa belum pernah ke sana. Kami pergi ke sana di waktu yang tepat. Makam alm. Pa Kyai Abun sedang tidak ada siapa-siapa. Jadi kami benar-benar berdua. Pembacaan Tahlil dan Yassin dipimpin Uwa. Uwa sudah tahu aku tidak piawai soal itu. Lalu kami mengobrol kembali ringan tentang sosok Pa Kyai Abun di makamnya, Uwa terlihat senang.. Cukup lama mengobrol kami beranjak pulang, lalu kebetulan bertemu dengan Ibu Hj. Tuti, istrinya alm. Pa Kyai Abun. Akhirnya aku membiarkan Uwa dan Bu Hj. Tuti untuk mengobrol cukup lama.

 

Jus Apel

Di tahun terakhir, selera makan Uwa jadi tidak terlalu bagus. Makannya seringkali sedikit. Jarang juga sengaja jajan. Tapi seringkali pada siang hari Uwa menelponku untuk dibelikan jus apel. Aku selalu nyelang untuk membelikannya kalau sedang kebetulan berkegiatan, atau kadang membelikan itu bahkan ketika tidak diminta. Aku seperti tahu ini bukan tentang soal jus apelnya, tapi soal kunjungan untuk Uwa.

 


Foto-foto

Di keluarga, aku dikenali apik menyimpan dokumentasi. Dua minggu terakhir sebelum wafat, Uwa meminta untuk mem-print-kan foto puteranya yang tinggal di Jerman, yang di Surabaya, serta foto De Jani Putera adiknya Mang Undang yang tidak lama menjuarai lomba karate. Padahal semua foto itu ada di handphone-nya Uwa. ”Hararese, teu bisa make na”, ujar uwa saat kuantarkan foto-foto itu.. Sebagai obat kerinduannya, atau barangkali juga pertanda Uwa yang akan pergi dari fana.

-

Kini

Orang-orang. Menggenggam angan-angan

Di tangannya. Seolah semua dapat terselesaikan

Lalu mereka kembali. Bersedih menyusuri jalan

Angin. Mencari sebenarnya makna kepulangan

 

2021

 

Puisi pendek yang sengaja kutujukan untuk Uwa tiga tahun lalu saat hari raya.

Uwa berpulang dengan ringan.. Dengan semua yang terjadi dan dari banyak tutur orang-orang.. Aku yakin Uwa wafat dalam keadaan khusnul khatimah..

 

1950-2024 Selamat jalan Uwa..

0 comments:

Posting Komentar