-
Uwa memang sakit sudah lama, diagnosanya pembengkakan jantung. Tapi dua hari terakhir sesak dan batuknya agak membuatnya kesulitan. Dan Uwa selalu tidak mau membuat orang lain kerepotan tentang keadaanya. Aku yang pulang maghrib ke rumah sebenarnya diminta ibuku untuk menemuinya. “Sugan ku Eki mah daek, hese emamna.”, Ujar ibuku. Aku kelewat kelelahan hari itu, aku bilang besok saja sembari berangkat kerja pagi-pagi kutengok. Pulang ke kosan di saung lalu tidur lebih awal. Pukul 12.59, tengah malam Bapakku yang biasa menemani uwa setiap malam dirumah Uwa menelpon, jam segini, aku sudah tidak berpikir yang lain lagi. Dari semua hal yang kukhawatirkan lalu benar-benar terjadi. Bapa mengabarkan Uwa telah berpulang malam tadi. : Lagi, aku selalu terlambat.
Bapakku menuturkan Uwa hendak shalat isya agak malam, lalu bapakku tidur. Dan terbangun karena tidak terdengar suara batuk-batuknya. Bapakku mengecek ruang tengah rumah, tempat biasa uwa tidur, tidak ada, lalu bapak bergegas mengecek ke kamar biasa Uwa sembahyang, ternyata uwa ada di sana. Bapakku mengira Uwa tertidur, sempat menawarinya memakai bantal dan selimut untuknya jika hendak ingin tidur di sana, tapi Uwa sudah tidak menjawab. Uwa telah berpulang, terbaring masih memakai mukena, diatas sajadahnya.
Seketika rumah Uwa ramai. Kami para keluarga yang ada menghubungi keluarga yang lain. Para warga di kampung Babakan sangat sigap mengurusi mayit, Uwa sudah dikafani bahkan sebelum waktu shubuh.. Lalu mayit Uwa disholatkan di masjid kampung Babakan, tempat Uwa juga mengisi pengajian. Tamu-tamu melayat mulai berdatangan, ke rumah juga ke masjid untuk menyolatkan. Setengah sembilan mayit dinaikan mobil ambulans Pondok Pesantren Cipasung, lalu diberangkatkan ke Gunung Rukem, makam keluarga, untuk dikuburkan. Semuanya sangat lancar, Uwa berpulang dengan sangat ringan.. Alhamdulillah..
Aku barangkali punya waktu cukup lama bersama dengan Uwa di tahun-tahun terakhirnya.. Jadi.. Aku sedikit menuliskan yang kuingat dua hari ini saja.. Tentangku pada Uwa..
Kakak yang berbeda, pagar kuat keluarga.
Putra-putri kakekku lumayan banyak jumlahnya. Usia saat aku mulai bisa mengingat, semuanya ada tujuh belas bersaudara. Keadaan keluarga yang turun naik, dengan banyak hal, aku mengenal Uwa sudah menjadi sebagai seorang yang dituakan di keluarga. Masa muda Uwa sejak lama mengambil tanggung jawab sebagai ibu, kakak, juga guru bagi banyak adik-adik, bahkan juga anak-anak dari adiknya. Sifatnya yang tegas dan penuh pertimbangan, dengan itu Uwa lah yang kulihat selalu berperan sebagai patanyaan dan pengambil keputusan ketika keluarga ketika hendak menghadapi banyak hal.
Pengajian shubuh, khatam Al-Qur’an pertamaku
Hampir semua cucu-cucu Ma Nini mengaji di rumah Uwa setiap
ba’da shubuh-setiap hari, termasuk aku yang berantakan ini. Didikan Ma Nini,
ibu Uwa, nenekku memang cukup kuat soal Pendidikan agama. Tidak boleh bolos
ngaji barang seharipun jika memang bukan sakit alasannya. Aku yang kadang malas
bahkan sering ‘bertarung’ dengan Bapaku karena tidak ingin mengaji, tapi
ya tetap tidak bisa. Semua pendidikan agama dasar kudapatkan dari rumah,
pengajian shubuh Uwa dan pengajian malam dari Wa Odah dan Ma Eje (Keduanya
kakak-adiknya Uwa).
Aku mulai belajar membaca buku Iqra di pengajian
shubuh Uwa. Sampai selesai Iqra jilid enam, setelah itu aku mulai bisa
membaca Al-Qur’an. Saat itu aku dan Iyus (putra adiknya uwa yang lain yang
seumuran denganku) juga tamat Iqra, jadi Uwa menghadiahkan dua Al-Qur’an baru.
Untukku yang bersampul warna merah, dan hijau untuk Iyus.
Butuh berbulan untukku untuk selesai mengkhatamkannya. Aku
lebih dulu khatam daripada Iyus saat itu. Pertama khatam, aku dihadiahi Uwa
baju koko dan patutunjuk (semacam kursor supaya kami mudah melihat garis
ayat dalam Al-Qur’an). Maksudku, Uwa sudah siap-siap menghadiahiku ketika aku tinggal
menyelesaikan beberapa surat pendek dalam juz 30 dalam Al-Qur’an. Uwa masih
bisa menyimpan perhatian untuk ini dalam segala kesibukannya.
Setiap hari di pengajian Uwa, kami selalu memulainya dengan ngaderes
Al-Qur’an. Selanjutnya disambung dengan belajar kitab-kitab dasar seperti
Safinah, Tijan, Akhlaqul Banain, Tafsir, Tarikh, Diba’, dan lainnya. Kendati
demikian, itu tidak membuatku menjadi seorang yang cukup baik dari segi
pengetahuan agama. Menyedihkan memang, tapi minimal aku teu sasab-sasab
teuing. Dan itu benar-benar menjadi bekal untukku yang tidak pernah
nyantren di usia sekarang.
Pengajian ini masih berlanjut sampai generasi Salwa, Faiz, Acha (cucu-cucu Ma Eje) tahun 2021. Setelah generasi cucu-cucu ini seusia SMP lalu mereka masantren, tidak ada lagi anak-anak usia kecil di keluarga, jadi pengajian shubuh ini terhenti pada generasi mereka.
Diantar ke Cipasung
Cipasung saat itu masih asing buatku meski namanya kuketahui
sejak lama karena sering disinggung dalam obrolan di rumah, selain itu Uwa
mengajar di sana. Usia SMA, aku mendaftar ke SMA Islam Cipasung, tepat saat itu
tahun Uwa berhenti mengajar di SMA. Aku merasa aman dengan ini. Tapi, barangkali
sebagai tindakan ‘preventif’ Uwa, karena aku memang sudah terlihat bangor,
Uwa mengantarku langsung ke sekolah. Jadi mau tidak mau identitasku langsung terbongkar
oleh guru-guru SMA saat itu. Otomatis sekali aku tidak bisa bangor,
karena indikatornya adalah Uwa dan anak-anak Uwa yang prestisius. Daripada
Ibu-Bapakku, aku lebih takut omelan dari Uwa. Jadi sebisa mungkin aku tidak mau
membuat ‘kegaduhan’ tentang ini, omelan perempuan cukup dari ibuku saja. Jangan
dari yang lain, apalagi dari Uwa. Selain itu ada Om Dedi, pamanku yang juga
teman si Bapa sebagai guru BK yang saat itu kondisinya sangat masih prima.
Hilanglah sudah kesempatan bangorku saat itu.
Tiga tahun, aku sangat berusaha menjadi anak baik-baik. Baju
seragam yang selalu dimasukan, rambut rapi, tidak pernah bolos. Menjaga
‘keadaan’ baik-baik saja. Meski kelas tiga aku mulai sedikit berontak, aku
mengeluarkan baju seragamku (bahkan untuk hal seperti itu saja ini sudah sangat
beresiko, jangan bandingkan dengan masa sekarang : moal kaharti, geus teu
sarua jamanna). Tahun ketiga ini aku sudah mulai mengenal Pa Kyai Abun yang
saat itu sebagai kepala sekolah SMA. Aku yang cukup aktif di osis dan
organisasi lainnya mulai kentara oleh Pa Kyai. Darisitu aku punya beberapa
waktu berinteraksi dengan pa Kyai Abun, sampai menanyakan aku orang mana, lalu
ketahuan saudaranya Uwa. Makinlah aku tidak bisa bergerak. Tapi aku yang
natural sembrono ceplas-ceplos sudah mulai dikenali Pa Kyai, selain itu aku
cukup mahir soal bahasa inggris, jadi aku cukup dalam posisi ‘aman’ di sekolah
saat itu. Syukur aku tidak pernah kena kasus-kasus aneh. Yah, paling kalau bangor
pun cuma bangor lembur.
Di tahun itupun aku mengetahui bahwa Pa Kyai Abun itu
sahabatnya Uwa, seumuran dan seangkatan sejak kecil karena Uwa menghabiskan
masa kecilnya di Pesantren Cipasung.
Keinginan ideal
Lulus SMA, masa kebimbangan. Aku sampai setahun kabur-kaburan
ke Bandung demi keinginan kerasku untuk mengambil studi seni rupa yang tidak
diizinkan beberapa orang di keluarga (Bukan ibu-bapakku, mereka sih santai).
Mau jadi apa jika meneruskan itu ?, pertanyaan berat yang dilontarkan dengan
ringan padaku yang seusia itu. Sebagai tuntutan keinginan ideal, aku
digadang-gadang harus masuk perguruan tinggi agama, aku direncanakan-dirancang
menjadi agamawan yang jelas-jelas tidak fit untukku. Tahlil ge teu katalar, kan
lieur.
Uwa yang sudah melihatku berkembang ke arah lain
menawarkanku untuk mengambil jurusan Bahasa Indonesia sebagai alternatif dan
berupaya meredakan tekanan ‘dari yang lain’ padaku untuk mengambil Pendidikan
agama (Uwa sudah mengetahui aku suka menulis saat itu). Tapi aku bersikukuh
ingin seni rupa, waktu semakin sempit, akhirnya aku berakhir mati pada jurusan
Teknik. Sejak itu kehidupan hambarku dimulai, aku beralih berhenti melukis
realis menjadi aliran abstrak dan ekspresionisme, gambar-gambar yang kubuat
sebagai suara protes yang tidak didengarkan.
Sebagai pelajaran : jangan ada anak-anak lain yang salah
jalan atau disalah-jalankan. Kemungkinan terburuknya, adalah merusak masa
depan. Bicarakan sebaik-baiknya.
Pengajar, guru, dosen statistik yang tegas
Dunia pendidikan mengambil jatah besar di kehidupan Uwa. Uwa
pernah mengajar di PGAN Sukamanah, MAN Sukamanah, SMA Islam Cipasung IAIC,
STIE. Selain itu Uwa juga mengisi pengajian di majlis taklim kampung.
Setelah Uwa tidak mengajar di SMA, Uwa lebih disibukkan di IAIC (UNIK saat ini), bahkan Uwa sempat menjadi kaprodi untuk jurusan PAI. Di IAIC Uwa mengajar mata kuliah statistic, entahlah banyak di keluarga Uwa memang agak piawai soal pelajaran eksakta (mungkin kecuali aku). Dikenal sebagai dosen yang tegas, beberapa yang menyalah artikan kanyaah-nya bahkan tidak jarang Uwa disebut galak. Karena Uwa benar-benar strict soal Pendidikan, apalagi mengajar mahasiswa yang notabene outputnya akan jadi pendidik pula.
Setiap menghadapi minggu ujian, aku selalu mengetikkan soal-soal ujian mata kuliah statistik. Aku hanya perlu menyalinnya. Uwa sudah menulis secara manual soal-soal yang dibuatnya, lengkap dengan tabel logaritmanya. Itu sekitaran tahun 2012 sampai uwa berhenti mengajar. Jadi pada tahun-tahun awal itu aku membuatkan soal-soal untuk teman seangkatanku saat SMA yang berkuliah di IAIC. Aku sering kena protes oleh mereka, mereka berujar untuk janganlah membuat soal-soal yang sulit-sulit kalau soal statistik, lha itu semua di luar kuasaku, aku tidak tahu karena aku Cuma mengetikannya saja. Tapi gara-gara itu, aku jadi tidak begitu kesulitan di mata kuliah statistic di tempatku kuliah, aku seperti sudah tahu pola-pola soal statistic gara-gara sering mengerjakan soal-soal Uwa. Daya ingat uwa terhadap angka-angka juga mengerikan buatku. Di usia lanjut itu, Uwa bisa dengan mudah mengotak-ngatik soal dengan mengubah nilai angka-angka utamanya, logaritma, sinus, kosinus dan tangennya, lalu memperkirakan semua jawabannya.
Dengan masa mengajar yang cukup lama, kukira Uwa punya beribu murid yang mengenalnya dengan baik. Ini terbukti setiap aku hendak mengantarnya kemanapun, selalu ada saja yang menyapa Uwa. Dan banyak itu selalu diawali dengan kalimat, “Ibu, emut keneh ka abdi ?”, tapi seperti pa Kyai Abun, setelah sedikit mengobrol, Uwa selalu dapat mengingat murid-muridnya itu satu persatu.
Rambut panjang
Lagi-lagi bagian ini. Bagian tubuhku ini selalu menjadi
masalah di banyak tempat. Termasuk di keluarga. Padahal bapakku saja gondrong,
curang banget aku selalu dikatai soal ini. Diawal-awal masa kuliah, rambutku
sampai sepunggung, banyak sekali yang mengomentari ini di keluarga termasuk
Uwa. Yah, bagaimana tidak, Uwa yang selalu ‘menjaga’ para mahasiswanya untuk
berpenampilan rapi (barangkali karena mereka calon guru, apalagi calon guru
agama). Tentu beda kasus denganku yang jurusan entah dan kuliah di tempat yang
berbeda. Jadi mungkin Uwa merasa keinginannya roboh karena aku. Saat kuliah aku
sangat menjaga identitas supaya tidak ada yang mengetahui bahwa aku masih
saudara Uwa. Tapi tetap saja orang-orang tahu, sering kedengaran, “Bu Mumun
mah bageur atau teladan, naha dulurna mah kieu.”. Aku sangat faham sih tentang
ini, yah.. Ke-figuran Uwa memang banyak jadi teladan buat orang-orang.
Dan anehnya rambut ini sering disangkut pautkan dengan
kualitas berkehidupan. Padahal bisa saja yang rambutnya panjang lebih bagus
personalnya daripada yang keliatannya pecian tapi sering korupsi yang sering
kita lihat hari ini. Pembelaan yang sering kudengar tentang ini adalah kalimat,
“Tapi kan setidaknya.”. Maaf, sudah tidak masuk di telingaku. Aku cuma mau
berusaha menjalani kehidupan sebaik mungkin sesuai dengan jalanku saja. Dan dengan
beginipun kukira tidak ada salahnya. Karena kewajibanku juga kuselesaikan. Dan
aku tidak mengganggu orang-orang dengan ini.
Sampai pernah aku mencoba bereksperimen saat berambut panjang,
tidak pernah ketinggalan shalat, tetap saja dianggap tidak baik. Lalu aku
memotongnya pendek rapi, lalu tinggal shalat sampai tiga hari, dan aku masih
dianggap seorang yang baik haha. Betapa cara ‘melihat’ orang-orang di sekitar
kita hanya segitu saja. Menyedihkan. Dan pandangan seperti ini sudah terjadi
lama, bahkan sampai sekarang di kultur sosial orang-orang.
Belakangan, Uwa menyerah tentang ini. Karena aku memang tidak aneh-aneh. Pergaulanku aman saat itu dan aku masih bermanfaat (dan dimanfaatkan) buat orang-orang. Tentang ini, sebenarnya bukan masalah gaya, atau aku yang dikenal menyukai seni yang kebanyakan gondrong. Aku memang lebih enak saja begini. Alasannya, hanya sesederhana itu saja.
Tentangku. Kesenangan dan kekhawatiran untuk Uwa
Tahun 2018 aku diamanahi Pa Kyai Abun untuk membantu berbagi
ilmu di SMA Islam Cipasung. Mengetahui ini, Uwa senang sampai sengaja
memanggilku dan menanyaiku soal ini. Uwa merasa senang ada seorang di keluarga
yang sama-sama mengabdi di Cipasung. Di sisi lain uwa juga khawatir, karena orang
yang mewakili itu malah aku, bukan saudara di keluarganya yang ‘normal’. Khawatir
tentangku yang akan berkeliaran di sekitar lingkungan pendidikan di Cipasung karena
appereance-ku ku yang terkesan terlihat tidak galib jika memang
sebagai tenaga pengajar, lalu cologog dan tidak canggung bahkan untuk sekedar
bercanda ringan ke pa Kyai. Ini seringkali membuat Uwa waswas, bisi kaleleuwihi.
Tapi selama dua tahun itu syukur aku tidak pernah kena omel apapun oleh Pa
Kyai, malah sering dikasih tugas yang berhubungan dengan seni, di sekolah,
bahkan didekatkan ke lingkungan pesantren.
Merasa Pa Kyai Abun adalah sahabat Uwa, aku kadang merasa
aku tidak punya sekat apapun untuk mengatakan semuanya. Dan selama ini, kukira
Kyai Abun tidak pernah mempermasalahkan itu. Karena hubunganku bersama beliau
juga sangat baik sampai Pa Kyai Abun wafat.
Uwa memang begitu takdzim dan mencintai Cipasung. Mungkin ini keterpengaruhan yang tumbuh diwarisi sejak masa kakekku yang juga mengabdi ke Cipasung pada zaman pa Kyai Ruhiat. Barangkali hal ini juga tumbuh pada Uwa.. Karena sering dikatakan Uwa padaku, "Kudu nurut ka Pa Kyai.", Ini yang Ma Nini katakan (ibunya Uwa) saat pertama diminta membantu mengajar di Cipasung oleh pa Kyai Ilyas.
Uwa pamit dari IAIC
Sekitar 4 tahun lalu, suami Uwa wafat. Dari situ Uwa tinggal
sendirian, karena puteranya yang laki-laki tinggal-kuliah di Jerman, dan yang
perempuan di Surabaya. Kami keluarga yang di kampung jadi bergantian menginap
menemani di rumah Uwa, atau tidak ada Mang Undang, Bi Nyai, atau saudara yang
lain sengaja berkunjung di akhir pekan. Belakangan akhirnya Bapakku yang paling sering menemani Uwa (Sampai malam Uwa
wafat). Di tahun-tahun itu Uwa juga mulai sakit-sakitan, saat pertama keadaan
parah Uwa dibawa ke rumah sakit dengan diagnosa pembengkakan jantung. Dari situ
Uwa sering sesak, dan barareuh. Gejala umum yang ditemukan pada penyakit
jantung.
Saat itu uwa juga masih mengajar di IAIC. Aku mengantar
jemput setiap hari karena aku masih bekerja di SMA, jadi kami bekerja di
lingkungan yang sama. Sebenarnya Uwa sudah pensiun sejak lama, jadi Uwa tetap
di IAIC hanya karena amanah Pa Kyai Abun untuk tetap mengajar di sana.
Tahun 2022, Pa Kyai Abun wafat. Kesedihan menyeruak pada banyak orang termasuk Uwa. Kehilangan sosok seorang kyai, juga sahabatnya. Uwa masih mengajar, tapi lama-kelamaan keluarga jadi khawatir. Dengan pertimbangan usia dan kesehatan, akhirnya Uwa 'dibujuk' putra-putrinya, dan adiknya Bi Ntut untuk berhenti mengajar di IAIC.
Pengabdiannya pada Cipasung selalu Uwa banggakan dan selalu
menjadi cerita untuk keluarga. Hasratnya untuk mengajar masih sangat besar. Uwa
tidak pernah bolos dengan alasan hoream atau tidak mood sepertiku. Bahkan saat
sakit berat, Uwa masih bisa memikirkan para peserta didiknya.. Contoh
integritas yang sangat sulit untuk dikejar olehku yang sering berleha-leha.
Aku tidak pernah melihat mata Uwa berkaca-kaca. Sampai hari
saat Uwa pamit dari IAIC. Suaranya berat saat bicara.. Dan ini lebih melukaiku
ternyata.. 45 tahun mengajar di IAIC. Buatku, terlepas dari apapun. Uwa sudah
melakukan yang paling baik disini..
Setelah itu. Uwa sempat dibawa tinggal bersama putrinya, tinggal di Surabaya.
Bunga-bunga
Kurang lebih enam bulan Uwa tinggal bersama Teh Irma,
putrinya di Surabaya. Lalu Uwa pulang ke Tasik untuk hari raya. Tapi akhirnya
malah tidak kembali lagi ke sana. Uwa memilih untuk tinggal di sini saja.
"Sabisa-bisa wé di lembur, ngajagaan warung, ngawuruk di Madrasah..",
ujarnya..
Sekembalinya, Uwa jadi punya banyak waktu luang,
aktivitasnya berkurang karena sudah tidak lagi mengajar di IAIC. Aku juga jadi
kadang gantian menginap lagi menemani Uwa bersama si Bapa. Uwa jadi punya
banyak hal yang diperhatikan, seperti Uwa mengurusi tanaman-tanamannya di
halaman bawah juga di lantai dua rumah.
Pernah aku dan Uwa mendapati bunga buah naga yang mekar suatu pagi hari, ukurannya besar sekali.. Sontak Uwa menyuruhku memotretnya.. Sama denganku, Aku baru mengetahui Uwa begitu menyukai bunga-bunga..
Ari Eki Kamana ?
Lima tahun terakhir ini Aku memang sering bepergian, banyak
pekerjaan (dan main) yang jaraknya dekat sampa berjauhan. Sebelum bepergian
seperti itu, aku biasanya pamit ke Uwa. Bilang kalau Bapa yang akan menginap
sementara waktu aku pergi.. Apalagi tahun 2022-2024 aku diboyong Yudhistira ANM
Massardi di perjalanan Safari Sastra. Aku bisa pergi berminggu-minggu untuk
perjalanan ini. Aku kadang nyelang untuk video call pada Uwa, dijeda-jeda saat
perjalanan panjang begitu, Uwa menanyakan kapan aku pulang..
Tapi jangankan perjalanan panjang, aku sekali bolos tahlil malam jum'at saja aku selalu ditanyakan kemana lewat ibuku. Jadi setiap sepulangnya setiap perjalanan aku mesti 'Absen'. Lalu bercerita setiap tempat dan pengalaman yang menarik yang kutemukan.. Tapi darisini aku senang, Uwa sudah mulai menerima, bahwa caraku menghadapi kehidupan adalah dengan jalan yang kupilihkan sendiri. Sekali lagi, apapun boleh, asal tetap memberikan kebaikan dan sebisa mungkin tidak meninggalkan kewajiban mengajar, yang nyatanya aku banyak sekali bolos.
Obrolan yang sama
Pada tahun-tahun terakhir, aku berkali-kali mendengar cerita
yang sama dari Uwa. Aku tidak tahu apakah Uwa sadar atau tidak bercerita
tentang itu padaku berkali-kali. Tapi aku tidak pernah memotongnya meski aku
sudah tau persis kemana arah jalan ceritanya. Pelupa, pikun ? Syukurnya tidak, Uwa
masih sangat sehat secara ingatan. Barangkali di usianya yang lanjut,
aktivitasnya jadi berkurang dan intensitas komunikasinya sedikit. Jadi yang Uwa
'temukan' setiap hari bisa jadi tidak begitu banyak. Kurasa ini sebabnya yang
diceritakan masih hal yang sama atau tidak begitu jauh dari yang
sebelum-sebelumnya. Tentang yang Uwa ceritakan, terlepas dari nilai perasaannya
yang bahagia atau tidak, barangkali baginya, itulah waktu terbaik semasa
hidupnya yang tetap melekat dalam ingatannya.
Tapi gara-gara itu, aku jadi tahu bagaimana keadaan-keadaan
lalu. Sejarah keluarga, juga tentang hari-hari di masa mudanya yang ternyata pernah
menjadi mahasiswa kedokteran UNPAD, kedokteran gigi UGM, sampai akhirnya
mengambil tarbiyah di IAIN Yogya.
Lalu karena aku juga mengajar, aku dan Uwa sering mengobrol
dan mengkomparasi keadaan dunia pendidikan yang sekarang dan yang lalu di zaman
Uwa yang sama sekali berbeda. Kurikulum, integritas guru dan peserta didik,
kebijakan, dan hal krusial lainnya. Usiaku yang sudah lewat kepala dua juga
ternyata tidak terlalu jelek bertumbuh untuk memaknai keadaan-keadaan seperti
ini. Aku tiba-tiba sudah bisa membicarakan hal seperti ini dengan Uwa. Uwa
tidak lagi melihatku sebagai bocah yang perlu dikhawatirkan.
Kukenalkan pada teman-temanku
Saat kebagian menginap di rumah Uwa kadang aku membawa
teman-kolega, lalu mengenalkannya pada Uwa. Meyakinkan pergaulanku ‘aman’ meski
dengan banyak jenis orang bahkan yang berbeda agama. Beberapa muridku, guruku,
seniman-seniman, sampai aku sempat membawa juga orang tua angkat yang pernah mengurusku
saat berkeliaran, mengenalkannya pada Uwa bahwa mereka semua orang-orang baik. Uwa
senang saja dikunjungi, mengenal orang-orang yang berkenaan dengan kehidupanku.
Mengantarnya mengunjungi sahabatnya
Di satu malam saat menginap, aku dan Uwa mengobrol tentang Cipasung.
Semua merujuk pada hari-hari Cipasung pada masa kepemimpinan Pa Kyai Abun,
sahabatnya. Aku secara tiba-tiba punya ide untuk membawa Uwa untuk berziarah ke
makamnya. Kebetulan hari esoknya aku libur dan karena Uwa belum pernah ke sana.
Kami pergi ke sana di waktu yang tepat. Makam alm. Pa Kyai Abun sedang tidak
ada siapa-siapa. Jadi kami benar-benar berdua. Pembacaan Tahlil dan Yassin
dipimpin Uwa. Uwa sudah tahu aku tidak piawai soal itu. Lalu kami mengobrol
kembali ringan tentang sosok Pa Kyai Abun di makamnya, Uwa terlihat senang..
Cukup lama mengobrol kami beranjak pulang, lalu kebetulan bertemu dengan Ibu Hj.
Tuti, istrinya alm. Pa Kyai Abun. Akhirnya aku membiarkan Uwa dan Bu Hj. Tuti
untuk mengobrol cukup lama.
Jus Apel
Di tahun terakhir, selera makan Uwa jadi tidak terlalu
bagus. Makannya seringkali sedikit. Jarang juga sengaja jajan. Tapi seringkali pada
siang hari Uwa menelponku untuk dibelikan jus apel. Aku selalu nyelang untuk
membelikannya kalau sedang kebetulan berkegiatan, atau kadang membelikan itu bahkan
ketika tidak diminta. Aku seperti tahu ini bukan tentang soal jus apelnya, tapi
soal kunjungan untuk Uwa.
Foto-foto
Di keluarga, aku dikenali apik menyimpan dokumentasi. Dua
minggu terakhir sebelum wafat, Uwa meminta untuk mem-print-kan foto puteranya
yang tinggal di Jerman, yang di Surabaya, serta foto De Jani Putera adiknya
Mang Undang yang tidak lama menjuarai lomba karate. Padahal semua foto itu ada
di handphone-nya Uwa. ”Hararese, teu bisa make na”, ujar uwa saat kuantarkan
foto-foto itu.. Sebagai obat kerinduannya, atau barangkali juga pertanda Uwa
yang akan pergi dari fana.
-
Kini
Orang-orang. Menggenggam angan-angan
Di tangannya. Seolah semua dapat terselesaikan
Lalu mereka kembali. Bersedih menyusuri jalan
Angin. Mencari sebenarnya makna kepulangan
2021
Puisi pendek yang sengaja kutujukan untuk Uwa tiga tahun
lalu saat hari raya.
Uwa berpulang dengan ringan.. Dengan semua yang terjadi dan
dari banyak tutur orang-orang.. Aku yakin Uwa wafat dalam keadaan khusnul
khatimah..
0 comments:
Posting Komentar