Jumat, 13 September 2024

Pekan Sastra Cirebon : Three days breathe of longing


“Pindah cai, pindah tampian.”

September yang berat, kehidupan agak berlebihan akhir-akhir ini. Salah satu pribahasa Sunda pada kalimat awal itu berisi tentang adaptasi, penyesuaian. Seseorang akan lebih merasa berguna (bukan dipergunakan) di tempat di mana ia dihargai. Kali ini, penyesuaian itu kugunakan untuk ‘kembali’. 

Melepaskan identitas dan realitas. Berselang tiga hari Uwa ku meninggal, aku memenuhi ‘panggilan’ sahabat-sahabatku untuk datang ke Pekan Sastra Cirebon 6-8 September 2024. Ini sudah direncanakan sejak mungkin dua bulan sebelumnya, mengatur jadwal sejak itu, aku berangkat dengan kepala yang masih berat.

Meninggalkan Tasik. Terakhir aku ke Cirebon, aku menggunakan angkutan Bis. Bis yang tersedia untuk trayek Tasik-Cirebon juga tidak banyak, lalu jenisnya juga bis ¾ yang kebanyakan kondisinya sudah tidak bagus. Aku tidak mengambil kereta, karena harus memutar dulu ke Bandung, itu berarti waktu yang diperlukan untuk perjalanan lebih banyak. Dari itu, dengan pertimbangan kenyamanan perjalanan dan ‘kejelasan waktu’. Aku dipilihkan menggunakan jasa travel. Tanpa komunikasi yang tidak perlu, tanpa ngetem, tanpa pengamen, tanpa pedagang, tempat duduk dan jadwal keberangkatan yang jelas. Dengan ongkos Rp. 110.000,-, kukira ini cukup affordable dan worth it.

Waduk Dharma. Sering kudengar Namanya tapi belum pernah kulihat. Tempat ini terlewati beberapa menit setelah istirahat di Kuningan. Aku melihat wajah pada awan itu.

Berangkat pukul 11 siang dari Tasik, aku sampai di Cirebon di daerah Ciperna. Aku sudah ditunggu native pride Sunnu Faizal yang akan sama-sama akan hadir di acara Pekan Sastra Cirebon ini. Dia hampir tidak bisa hadir. Bercerita bahwa istrinya sedang mengandung anak keduanya, yeaay. Dan kebetulan beberapa hari terakhir istrinya mual-mual agak parah. Tapi syukurnya, menuju hari ini kondisinya membaik. Jadi Sunnu bisa dan ‘diizinkan’ berangkat ke Cirebon.

Kami disediakan penginapan oleh Jojo. Bernama Balla Homestay, penginapan kami hanya perlu sekitar 20 menit ke venue acara di Keraton Kacirebonan. Entah sengaja atau tidak, aku dipilihkan penginapan yang memperlihatkan kegagahan gunung Ciremai ketika sore hari.


Pekan Sastra Cirebon

Acara ini digagas oleh Rumah Rengganis. Tiga hari yang menyuguhkan banyak kegiatan kesenian kebudayaan seperti bincang sastra, panggung sastra, workshop kepenulisan, panggung music, workshop membantik sampai workshop membuat topeng Cirebon. Sekilas, agak mirip-mirip teknis acara di UWRF, tapi venue yang digunakan hanya satu.

Meski berpusat pada satu tempat, buatku tetap Istimewa, karena acara ini diadakan satu sisi yang menjadi bagian Keraton Kacirebonan. Salah satu dari empat Keraton yang ada di Cirebon. Untuk orang ‘biasa’, mengadakan acara di tempat ini sangatlah sulit bahkan hampir tidak mungkin.


Rumah Rengganis yang diprakarsai teh Nissa memang tidak main-main soal ‘perhatiannya’ pada Cirebon pada sisi ini.

Memenuhi undangan sahabat

Selain mencari celah melarikan diri, sejujurnya, aku datang ke acara ini karena sahabatku Ayu Alfiah Jonas yang akrab dipanggil Jojo ini dicatut sebagai salah satu pembicara di salah satu segmen bincang buku. Namanya berjejer dengan sederet penulis-penulis besar seperti Dhianita Kusuma Pertiwi, Esha Tegar Putera, Ikhwan Mahfud, Ratu Selvi Agnesia, Asef Saeful Anwar, Ratih Kumala, Ni Made Purnamasari dan banyak yang lainnya. Bahkan sebelum ini, Jojo baru menyelesaikan program pelatihan penulisan novel bersama Mastera, siapa tidak bangga punya teman sekeren itu kan’ ? Hehe.

Cara berbicara, menerangkan, ‘melayani’ audiens, menyesuaikan gaya bahasa, Jojo memang sudah mesti menjadi seorang penulis dan pembicara. Bersama Sunnu dari kursi audiens kami sama-sama tersenyum. Senang sekali bahwa ada diantara kami yang sudah sampai pada tahap ini.

Sebagai penyegar suasana, aku mengajukan pertanyaan bodoh saat sesi tanya jawab hanya biar keliatan lebih vocal aja hehe. Dibalik itu, punya komunikasi dengan temanku, dengan posisi pembicara-audiens juga menyenangkan.

Berfoto dengan Jojo di depan gerbang Keraton Kacirebonan.

Orang-orang baru

Ada banyak sekali orang-orang yang hadir di acara ini. Tapi tidak semua kukenali, dan ada yang baru kukenali. Andi Sahaja misalnya, dia sebenarnya kukenal sejak tahun lalu saat aku bersafari sastra dan mengunjungi Tulungagung sebagai salah satu venue. Penyair-musisi asal Indramayu ini juga pernah sengaja berkunjung ke saung untuk menemuiku tahun 2023. Lalu kukira dia kecewa ternyata orang yang dia lihat di panggung safari sastra itu orang kampung yang sangat biasa saja haha.

Najwa Sihab, Adiknya Jojo. Meski aku, Sunnu dan Jojo kenal sangat lama, kami jarang saling menceritakan soal keluarga. Kebetulan kali ini Jojo membawanya, jadilah kami mengenalnya. Jojo bercerita jika dia punya video-video konten kegiatannya, itu yang dikerjakan adiknya Najwa. Awalnya dia malu-malu, tapi setelah agak lama ternyata sama aja nyeleneh seperti kakaknya haha.

Prasetyo Aditya. Akrab dipanggil Bondit, dia adalah salah satu panitia pada acara pekan sastra. Setelah ngobrol ringan dan aku dikenalkan dari Tasik, barulah terbuka ternyata istrinya Bondit juga berasal dari Tasik. Selain sebagai perupa-penyair-musisi, Bondit juga punya kehidupan lain sebagai pengajar.

Turisih Widyowati. Patreon Umahramah, ini seperti Lembaga untuk perlindungan dan Pendidikan Perempuan. Kenalan Jojo ini yang memperkenalkanku kepada Bondit.


Ning Vivi. Temannya Sunnu saat kemah sastra pelajar. Dikenalkan Sunnu dan Jojo. Tapi yang jelas Sunnu dan Jojo bilang gaboleh seenaknya kalau sama dia haha. Aku biasanya memang lenyeh-lenyeh, ngomong seenaknya ke orang-orang, tapi yang ini sudah dicegah, bahkan buat duduk di sebelahnya haha.

Bertemu orang-orang lama

Aku sebenarnya sudah yakin akan ketemu beberapa orang yang kukenal dan lama tidak bertemu. Pekan Sastra Cirebon ini juga jadi oase untuk teman-teman yang merindukan gemuruh suara sastra, khususnya di Cirebon raya. Yang pertama, tentu saja penggagas acara ini, teh Nisa Rengganis. Nama dan puisinya sudah lama menghiasi berbagai media. Kiprahnya di dunia sastra juga tidak sembarangan. Rumah Rengganis yang dia buat juga dimaksudkan untuk ruang alternatif dan silaturahmi para ‘pengelana’.

Ratu Selvi Agnesia-Ihwan Mahfud. Aku tidak kenal dengan cak Mahfud sebelumnya. Jadi aku bercerita tentang teh Selvi saja. Penulis tentang seni budaya-wartawan. Kami bertemu lama di tahun-tahun saat teh Selvi masih sebagai art manager di Studiohanafi saat aku masih dimentori melukis abstrak. Dulu belum menikah dengan cak Mahfud.

Sipenyihir margin kiri. Pradewi Tri Chatami, member Marxis Manja Group, dia masih keliatan tetap muda dan lincah sejak terakhir ketemu bertahun lalu. Penyair, Penulis berbahaya, editor. Selain itu TC (kami memanggilnya) sering menjadi pembicara pada workshop-workshop kepenulisan.

Rofi’u Darojatul Ulya. Tidak muluk juga menyebut adik kelasku saat SMA ini sebagai musisi. Pasalnya, di Bandung, grup music progressifnya : Fuise dikenali banyak orang. Fiu menulis lirik sendiri dari puisi-puisinya, selain itu Fiu juga seorang illustrator lepas dengan gaya yang khas.


Bincang Sastra

Banyak sekali sesi bincang sastra pada rangkaian pekan sastra ini, tapi yaa kekuatan tubuh dan kepalakuku tidak bisa mencapai untuk melakukan dan mencerna itu semua. Jadi aku hanya ikut beberapa saja.

Semesta Mahfud. Hal semacam begini selalu menarik. Betapa setiap orang punya imajinasi dan media ekspresi yang berbeda-beda. Termasuk untuk Ihwan Mahfud. Sebagai seorang santri, daya ekspresi yang terbatas tidak membuatnya urung berkreasi.

Menulis dalam perspektif Perempuan. Dhianita Kusuma Pertiwi, Selvi Agnesia dan Turisih Widyowati membawa audiens pada penciptaan dari sisi Perempuan. Tanpa bermaksud primordialis secara gender, para audiens menyimak betapa cara berpikir dan teknis ‘memaknai’ Perempuan memiliki cara dan perspektif yang berbeda.


Ratih Kumala, Moh. Syarif Hidayat, Ahda Imran. Fajar Bob Anwar pada segmen diskusi Alih wahana sastra. Kukira, yang kudapatkan dari mereka semua adalah tulisan yang berfungsi sebagai esensi ide. Pemekaran bentuk tulisan bisa jadi apapun. Ratih Kumala misal dengan film Gadis Kreteknya, atau Bob Fajar dengan musikalisasi puisinya. Dari diskusi ini juga diterangkan pentingnya pemisahan antara Art for Art dan Art for Life yang sering kabur pemaknaan dalam praktiknya.

Foto dulu dong hehe.

Cirebon historical tour

Salah satu agenda dalam Pekan Sastra Cirebon adalah Cirebon historical tour. Jadi kami jalan kaki menyusur situs-situs bersejarah di Cirebon. Dimulai dari Klenteng Talang, , Gereja Pasundan, Vihara Welas Asih dan berakhir di Mesjid Tirta Sumirat.

Klenteng Talang. Perlu 20 menit berjalan kaki dari Keraton Kacirebonan. Dari cerita, Klenteng ini dibangun sekitar abad ke 14, dulunya merupakan tempat singgah Masyarakat tiongkok, termasuk utusan dinasti Ming. Salah satu yang pernah berlabuh di sini adalah pasukan laksamana Cheng  Ho. Di masa itu sudah cukup banyak juga orang-orang Tionghoa muslim. Cirebon sudah sangat toleransi sejak dulu tentang urusan beragama. Sayangnya aku dan Jojo cukup kelelahan hari itu, jadinya kami hanya sempat berkunjung ke Kelenteng ini saja. Selain itu udara lumayan panas, berlanjut darisini kita berpisah dari rombongan untuk istirahat dan makan malam.

Membaca silsilah nasab dan sejarah Klenteng Talang.


Aku baru tahu beberapa sunan wali songo punya nama tionghoa.

Sunnu. Sahabat yang kukenal mungkin sekitar tahun 2012. Saat kami usia SMA, saat kami masih sama-sama sebagai peserta lomba baca puisi di GBBSI Universitas Siliwangi. Tentu bentuknya dulu tidak begini haha. Tinggal di Karawang, sekarang Sunnu sudah menikah dan punya seorang putri bernama Sekar.

Selain menulis dan membaca puisi, seni fotografi mengambil jatah waktu yang cukup lama untuk Sunnu. Dia lama menggeluti bidang itu. Jenis foto-foto yang diambilnya cukup bervariasi. Salah satu yang kusenangi saat dia sering mengambil foto-foto yang terlihat blur-absurd didampingi dengan tulisan-tulisan sesuai dengan imajinernya.

Performance stage

Penampilan panggung tentu sangat diperlukan untuk membuat pekan sastra ini lebih menarik. Pada malam pertama ada tribute untuk pedang besar sastra Cirebon penyair Ahmad Syubanuddin Alwi. Obituari diceritakan oleh salah seorang sahabatnya Ahda Imran. Lalu pembacaan-pembacaan puisi almarhum Alwi.

Bob Fajar membawa suasana pekan sastra pada musikalisasi puisi balada di malam kedua.

Pembacaan puisi dari Rofi. Mungkin ini pertama kalinya Rofi membaca puisi di kota kelahirannya sendiri. Rofi lebih banyak menghabiskan waktunya di Tasik dan di Bandung.

Tari Topeng Kelana. Sejak lama, aku sangat ingin melihat tari ini secara langsung. Kelana sendiri termasuk dari salah satu dalam Panca Wanda (karakter topeng yang ditarikan) sisanya Tumenggung, Rumyang, Samba dan Panji. Tiap jenis topeng itu memiliki detail, karakter dan nilai filosofis yang berbeda-beda. Kelana yang menggambarkan amarah, mempunyai gerak yang penuh tenaga, lincah. Menggambarkan seorang yang bertabiat buruk, serakah, penuh amarah dan tidak bisa mengendalikan hawa nafsu. Tapi sekali lagi, betapa seni bisa mengemas hal-hal ‘tidak baik’ itu menjadi bentuk yang indah. . Dan aku memang sangat beruntung, salah satu penari pada tarian ini adalah putri-ratu Kacirebonan.

Epilog


Pukul 14.30, hari terakhir pekan sastra. Padahal masih ada segmen bincang sastra tapi kami sudah kelelahan secara fisik dan mental karena terlalu banyak bergerak, berkomunikasi, dan berpikir haha. Dari sana akhirnya kami ‘kabur’ ke kafe terdekat untuk sekedar istirahat dan mengobrol yang lebih ‘ringan’ (ngadem juga, karena cuaca panass). Kami lebih melepaskan obrolan pada menyangkut kami semua (lalu ghibah sedikit sih). Karena Rofi dan Andi ikut, jadi kami memberi pengantar pada pertemanan kami yang 'berbahaya' haha. 


Aku mesti pulang pukul 17.30. Jadi kami masih punya waktu sekitar 3 jam saat kami ngopi. Aku tidak mau waktu sia-sia, selain itu aku tidak bisa ikut ke gereja Pasundan saat historical tour, jadi aku meminta Sunnu untuk mengantarku ke gereja terdekat sebelum pulang. Sunnu membawaku ke gereja katolik Bunda Maria - Cirebon.


Hari minggu, gereja sedang misa dan tentu kami tidak mungkin masuk ke sana. Akhirnya kami memilih ke taman budaya hati tersuci yang biasa digunakan sebagai tempat berdoa dan berdevosi, karena sedang misa, jadi tidak ada siapapun di sini. Aku mengajak mereka semua berkeliling di lintasan doa jalan salib.


Di depan patung Yesus, foto bertiga kita di tahun ini. Foto selanjutnya di mana yaa... Hehe. Nah, dari sini aku diantar beramai-ramai ke Linggarjati untuk menunggu jemputan pulang, dan mereka menungguiku sampai aku leong. Hueeee merasa tidak enak dengan keadaan begini.. Apa ya, aku selalu merepotkan setiap bertemu begini.. Nuhun ya Jo, Nu ! Sampai ketemu lagi di kebaikan selanjutnya !

Gara-gara Jojo. Berada diantara mereka, mengerikan yaa pergaulannya Jojo mwehehe.

Penyuka seni seringkali dikatai utopis. Mereka yang menyukai seni dapat merancang dunianya sendiri, memaknai hal-hal yang sama sekali dilewatkan orang-orang. Memungutnya sebagai ide, lalu mengembangkannya menjadi 'serangan' dalam bentuk lain. Dan itu semua bisa dinikmati dengan berbagai macam persepsi.

Sebagai yang tidak memiliki apapun, kukira ini tidak buruk juga. Aku masih bisa menemukan warna dalam kegelapan, atau bunga liar diantara belukar rerumputan. Tanpa harus memiliki bidang atau terhalau tanah dengan penghalang.


Tiga hari melelahkan, menyenangkan, melegakan.



Video hightlight karya Najwa~



2 komentar: