Sabtu, 01 Maret 2025

Darussalam : Munggahan yang Menawan

 

Segala riuh suara berujung pada kegelisahan
Bagiku. Yang telah sejak lama memilih sendiri
Mengunci pintu. Menolak banyak alasan
Hanya karena takut lupa. Menuju jalan kembali

2023


Selasa. Februari 25, 2025. Perjalanan setelah acara launching buku aku lanjutkan ke Ciwidey sesuai rencana ajakan Diwan. Dari PWNU di daerah Buah Batu, kami berangkat ke Ciwidey sekitar pukul sepuluh siang melalui jalur Kopo dan Soreang. Aku ke sini hanya berselang tiga hari dengan kakakku yang di Batam. Aku tidak bisa menemuinya saat itu karena sedang minggu ujian pertunjukkan. Jadilah adikku yang menemuinya.


Mesjid Saung-Majlis Shalawat Darussalam. Sesampainya di Ciwidey, lanskap pada pandanganku berubah drastis. Kabut menyambut, lereng gunung dengan warna-warna hijau pohon dan perkebunan. Benar-benar mengistirahatkan mata dan telinga setelah kepadatan dan bising kota.


Setelah kami beres menyimpan barang-barang, stroberi segar disuguhkan dipetik langsung dari kebunnya saat tepat pagi hari. Vitamin C alami setelah kami kekurangan gizi.

Kami tidak banyak bergerak hari itu, benar-benar istirahat dan membersihkan diri. Sampai Kang Imen yang punya tempat berujar, "Saré waé ! Turun atuh !". Tempat ini memang menggoda untuk berleha-leha setelah kami kewalahan sisa acara dan perjalanan lintas kota.


Kami turun sore karena disuruh makan oleh Adul, santri kang Imen yang bertugas 'memuliakan' tamu. Kami makan dengan segut karena selain lapar kami juga rindu masakan rumah.


Di dapur Saung-Majlis Shalawat ini ada kiloan. Aku mengecek berat badanku, lumayan naik dua kg, biasanya cuma 51 kg. Setelah puasa ini sepertinya akan turun lagi.


Rumah paling kanan itu adalah tempat yang disediakan Kang Imen untuk kami beristirahat. Foto ini diambil dari depan dapur Saung-Majlis Shalawat Darussalam. Kami menunggu maghrib untuk shalat berjamaah di sini.


Mesjid Saung-Majlis Shalawat Darussalam ini sedang dibangun. Kang Imen sendiri yang merancang desainnya. Sungguh menarik, apalagi saat kita hendak beberesih. Langit-langit tempat wudlu kami adalah kolam yang tembus pandang dari saung atas ke pangwuduan di handapna, ini seperti berada di Sea World kecil.

Dengan diwawa'as seperti ini, kukira prosentase kekhusyuan ibadah juga bertambah. Karena kita selalu dibarengi dengan perasaan terkesan-syukur. Asa babari mantengna téh.


Setelah shalat maghrib kami naik lagi ke atas. Aku nyela menulis jurnal tentang kegiatan launching buku kemarin.


Tidak lama dari itu Isya berkumandang. Setelahnya kami ikut shalawat selasa bersama para santri.


Berbekal ngaji cuma di palemburan, sebenarnya aku tidak sebegitu apa soal tarekat-tarekatan. Mungkin karena 'wajah' tarekat-tarekat di tempat asalku kebanyakan keliatan gagayabagan dan sok tiba-tiba jadi si pang-islamna téa ningan, tamah sok rada  garalak. Keliatan gaya Arab banget, tidak cocok denganku. Nah, di Darussalam ini agak lain. Orang-orang tidak begitu perhatian soal bentuk luar. Selama tujuannya masih sama-sama baik, tak perlulaaaa kita saling menghardik.

Meski masih merasa kelelahan malam ini, aku memaksakan ingin merasakan pengalaman menjalani salah satu rutinitas kegiatan Saung-Majlis Shalawat Darussalam ini. Di Saung-Majlis Shalawat Darussalam ini setiap ba'da isya selalu membacakan shalawat. Dan shalawatnya setiap hari berbeda-beda. Yang kubaca itu adalah shalawat malam rabu, diadakan secara hybrid, jemaat shalawat tarekat ini berbeda-beda tempat. Luar kota sampai luar negeri. 


Setelah selesai shalawatan, kami mengobrol dengan Kang Imen. Kami yang terbiasa memanggilnya akang di Cipasung, di sini kang Imen sudah dipanggil Bapa. Aku tidak berharap ngobrol macam-macam sebenarnya, yah.. Paling soal kabar dan progress masing-masing diantara kami. Tapi kang Imen membawa kami pada obrolan tentang pesantren Cipasung. Keadaannya, pemakluman, dan hal-hal yang bisa kami lakukan sebagai bocah kemarin sore untuk tempat itu.

Kang Imen juga mengobrol tentang orientasi pendidikan kita sekarang yang jadi lebih semrawut. Ngabolékérkeun hal-hal yang berhubungan dengan tarekat, filsafat, 'pembukaan diri' dengan bahasa dan contoh yang sederhana dan mudah diterima olehku yang notabene sangat awam tentang ilmu agama pada tingkat selanjutnya.

Tahu-tahu, malam sudah lewat setengah satu. Kami mengakhiri obrolan dan bergegas beristirahat naik ke atas.



Saung-Majlis Shalawat Darussalam Darussalam ini menurutku terlihat seperti pesantren bergaya salafi (tapi santrina garaya dan melek teknologi) dengan tarekat Sammaniyah Alhasimiyyah dengan Kang Imen langsung sebagai Mursyid-nya. Tarekat Sammaniyah adalah salah satu cabang tarekat Syadziliyah yang didirikan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As-Samani Al-Hasani Al-Madani (1718-1775 M). Aliran tarekat ini lebih banyak menjauhkan diri dari pemerintahan dan penguasa serta lebih banyak memihak kepada penduduk setempat (cocok banget buatku), di mana tarekat ini berkembang luas. Salah satu negara Afrika yang banyak memiliki pengikut Tarekat Sammaniyah adalah Sudan. Tarekat ini masuk ke Sudan atas jasa Syaikh Ahmad At-Tayyib bin Basir yang sebelumnya belajar di Makkah sekitar tahun 1800-an.


Pemandangan malam di Darussalam. Kedekatan tempat ini dengan aksen alam dengan cahaya temaram. Sejenak kami melupakan apapun yang menjadi beban silam, membuat semua kata yang hendak diucap hanya jadi gumam.


Wajah kelelahan Cep Thoriq yang kurepotkan memboncengiku dari mulai berangkat ke Bandung sampai ke sini. Cep Thoriq juga yang sering mengajakakku untuk berkunjung ke sini, akhirnya kita punya perjalanan bersama-sama ke tempat yang menenangkan ini.


Rabu. Februari 25, 2025. Tentu aku tidak mau melewatkan bangun pagi di tempat yang indah ini. Selain karena ini adalah Majlis Shalawat-tempat belajar agama (tapi asa salsé pisan, mungkin kang Imen membiarkanku yang memang baragajuliyah ini hehe), udara dingin sejuk, embun-embun masih bergelayut pada daun, aku memang sudah merencanakan jalan-jalan keliling tempat ini saat pagi sedari malam.


Memetik Stroberi langsung di kebunnya. Jadi ingat almarhum Uwa yang menanam Stroberi di lotengnya.


Berlokasi di Ciwidey, Saung-Majlis Shalawat Darussalam ini terbilang menarik untukku. Meski esensinya tetap sebagai tempat belajar ilmu agama, rasanya tempat ini menawarkan sesuatu yang berbeda. Begitu terbuka buat siapapun, muslim sampai non muslim. Majlis yang kukira salafi tidak, modern juga tidak. Ketika kebanyakan pesantren di tempatku dibuat dengan bangunan beton tebal dan bergaya timur tengah, di sini sangat keliatan berbeda dari segi penataan ruang, arsitektural, sosial, fashion, aturan-aturan dan banyak hal lainnya. Wajah Islam yang nyunda, tempat yang cocok sekali untuk memberikan jeda.


Sarapan terakhir sebelum kami pulang kembali ke Tasik. Aya horéaman, betah kénéh. Dua hari memang tidak cukup untuk berada di sini.


Dibungkusi bekal buah tangan Stroberi oleh Teh Dina Maria, santriah yang aduhai. Aku jadi mengerti kenapa semua hal di tempat ini tumbuh begitu subur, atuh dipiara na gé ku kanyaah ti modélan nu kieu, aheuuuy hehe. Aku melihat geliat Diwan yang kabangsatan haté oleh teh Dina ini hahaa.


Pamit ke Kang Imen. Ini waktu yang sangat pas. Biasanya di sini sering banyak tamu, dan kang Imen asa moal kaburu ngaladangan nu kararieu. Sekali lagi, ini rizki -waktu yang tepat. "Kadieu deui, tapi kudu lila.", ujar kang Imen kepada kami. Atuuh tentu mau sekali. Kang Imen memang sudah menyuruhku untuk berkunjung sejak tiga tahun lalu saat pertemuan kami yang terakhir ketika pa kyai Abun wafat. Alhamdulillah hari ini akhirnya cumpon juga. Nuhun pisan sagali rupina kang Imen~


Kami bergerak pulang dari Ciwidey pukul sepuluh siang. Mengambil jalur Soréang, Banjaran, Balééndah, Majalaya. Jalanan yang padat pemukiman dan daerah industri. Aku yang cuma tahu Dago dan Ciumbuleuit sebagai Bandung, tidak pernah menjajaki daerah-daerah ini sebelumnya. Lalu kami mengambil jalur Cijapati yang tembus ke Kadungora-Garut. 


Kami beristirahat sejenak (yang jadi lama) di rumah Ganjar di Cilawu. Ganjar membuatkan kami makan siang yang membuat kami kembali berenergi setelah perjalanan panjang dan berdebu tadi. Aku juga bertemu dengan Jimmy di sini. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan pulang sampai ke Tasik, alhamdulillah sampai dengan selamat.

Munggahan yang menawan. Terimakasih Diwan, Cep Thoriq yang sudah membawaku pada perjalanan ini !



Bunga musim penghujan lebih awal bermekaran
Menyambut temu. Yang segera datang sebagai jawab kerinduan

Perjalanan memberi kita ruang tentang rasa syukur
Bersama-sama. Bersenandung do'a-do'a hening di kedalaman hati
Saling mengingat. Setiap langkah waktu yang perlahan luntur
Mengembalikan kilau warnanya dengan keberkahan silaturahmi
 
2023








0 comments:

Posting Komentar