Jumat, 28 Februari 2025

Kemarau di Surga : Anak Pertama Komunitas Kuluwung


Tubuh-tubuh memiliki ingatannya sendiri
Mata yang melihat sampai jauh ke kedalaman
Telinga yang mendengar napas pada sunyi
Hidung yang mencium bau sisa perjalanan

: Indulgensi, Eki Naufal. 2023

Launching buku antologi puisi Kemarau di Surga. Buku kumpulan puisi ini adalah whistlist Kuluwung di tahun 2024 yang alhamdulillah tercapai di awal tahun 2025 ini. Aku melihat sekali perjuangan teman-teman Kuluwung yang berusaha mewujudkan ini. Diwan yang kuralang-kuriling mencari sponsor, Hagie sebagai editor, Rofi ngurusi dokumen-dokumen dan urusan visual, Gibran yang mengurusi sosial-teknis, banyak lagi pokonya.

.

Enam belas penyair yang 'terseleksi' kurator Hagie dari sekian banyak bakal kontributor. Buku ini mengangkat isu Ekologi yang mulai marak dan memprihatinkan belakangan ini. Aku sebenarnya aneh juga termasuk di dalamnya. Karena aku sebenarnya lebih ahli menuliskan tulisan-tulisan cinta-luka-kebencian (tidak tahu apakah itu termasuk puisi atau tidak). Meski menyenangi lingkungan, aku jarang sekali menuliskan tentang itu. Mungkin ini cuma kanyaah kurator untukku, atau karena aku yang sering kelihatan pak-pik-pek di Kuluwung. Ah, apapun itu, aku bersyukur bisa ada di dalam buku ini.

Ada tiga pemantik dalam launching buku ini. Dr. Asep Salahudin rektor IAILM Suryalaya juga penulis, Iwang Wahyudin dari Walhi (NGO Bandung yang bergerak di bidang lingkungan dan advokasi), lalu kg. Pepep DW, dosen Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung yang juga seorang penulis dan aktivis lingkungan. 


Acara launching buku juga diramaikan dengan pembacaan puisi dari Azka 'Uket' Ahmad Maula & Gibran 'Gibrong' Rakabuming. Lalu musikalisasi puisi oleh Wawan 'Baswara' Kurniawan dan musisi balada kenamaan Bandung Omtris.


Perwakilan panggung penyair diwakili oleh Ghifari Ju dan Fauzan 'Ubed' Ibnu Hasbi. Rofi berhalangan hadir karena perempuan yang dicintainya Shalza sedang tidak sehat, padahal dua-duanya adalah penyair kontributor juga dalam buku ini.


Minggu. Februari 23, 2025. Untuk acara di Bandung, setengah dua belas siang dari saung, Aku berangkat bersama Cep Toriq berdua.


Kami membuat perjalanan agak lamban. Cep Thoriq memang sedang kurang sehat. Pemberhentian kami yang pertama adalah rumah Ganjar di Cilawu. Daerah Garut yang masih dekat dengan perbatasan Tasik. Meski tempat kami bekerja 'bertetangga', kami jarang sekali bertemu. Ini mungkin pertemuan kami setelah enam bulan lalu.


Tujuan kami adalah Gedung PWNU Jawa Barat di jalan terusan Galunggung - daerah Buah Batu. Jadi kami Melewati kepadatan jalan Cibiru, Cinunuk, dan tentu Soekarno Hatta. Jalan yang terkenal dengan pemberhentian lampu lalu lintas terlama, yang ceunah bisa dipakai masak atau nyeseuh heula. Selain itu jalanan ditambah macet karena ini waktu bubaran pulang kerja. Menurut berita, Bandung sekarang adalah kota termacet di Indonesia per-Januari 2025. Aku yang tidak biasa dengan macet jadi banyak gerutu sepanjang jalur-jalur jalan yang tadi. Salah satu kenyamanan tinggal di kampung adalah kita tidak punya hal seperti ini.


Sore setengah lima, aku sampai di PWNU. Ini sudah setahun lalu terakhir aku berkunjung ke sini. Kami beristirahat dan menginap di sini. Sebagai salah satu anggota sub-divisi Lesbumi PWNU, aku cukup cologog untuk menggunakan tempat ini sebagai safe-house.


Setelah menyimpan barang-barang di PWNU, aku dan Cep Thoriq bergeser ke Cijagra. Kosan Azka di dekat pinggir kampus ISBI Bandung. Balik lagi ke sini setelah bertahun lalu. Kami menyiapkan hal-hal yang bisa dikerjakan untuk acara besok. Aku bertemu Icha dan Sena juga, karena Icha dan Sena ditugasi sebagai pembawa acara, Azka juga mulai direpotkan dengan berbagai hal teknis yang diinstruksikan Gibrong. Pokokknya pertolongan banget. Menuju maghrib, Ada a Amen dari Lesbumi PWNU juga datang ke sini.


Lemari pakaian Azka. Pada pintunya terdapat kolase foto almarhum KH. Abun, dan fotonya bersamaku. Ini agak membuatku sedih dan senang. Anak ini hanya pernah belajar bersamaku di kelas satu tahun saja, dan aku juga tidak merasa memberikan apapun untuknya. Melihat dia masih melanjutkan belajar hal yang dia-aku senangi, aku merasa senang. Mengetahui bahwa kita memiliki tempat di hati dan ingatan orang-orang.. Ini seperti penghargaan. Membuatku ingin menjadi seorang yang harus lebih baik lagi..


Dikatai jenguki anak juga belum pantes. Mereka berdua terlalu tua untuk menjadi anak-anakku. Lagipula belum ada mamaknya juga haha.

Dua-duanya alumni prestisius Sanggar Gama. Juara baca puisi dan monolog. Azka melanjutkan studi teaternya di ISBI Bandung, Annisa menggunakan GAP year-nya dengan mempersiapkan-mempelajarai soft skill-soft skill yang dia butuhkan.
 

Tidak tahu. Foto ini ada di galeri handphoneku. Yang paling depan itu Gibran, panitia launching buku kali ini. Dia berposisi pada bagian umum dan bagian segalanya. Hampir semua penkondisian Bandung - Gibran yang mengurusnya. Selepas Isya, kami kembali ke PWNU untuk istirahat (yang jadinya begadang) karena ada beberapa orang berkunjung termasuk kang Dadan, ketua Lesbumi PWNU Jawa Barat.


Di PWNU, Zaki ngalongok kami. Zaki memang tinggal di Bandung. Jauh-jauh dari Balééndah ke Buah Batu. Dia membawakan kami banyak camilan dan minuman, Lesbumi PCNU Kab. Tasik tiba-tiba ngumpul. Banyak rizkiiiii.


Senin. Februari 24, 2025. Pagi jam sembilan kami sudah berangkat ke Gedung Indonesia Menggugat untuk pengkondisian tempat acara. Sajolna, GIM menyambut para kedatangan dengan relief ini. 


GIM- Bandung tampak depan. Awalnya, Gedung Indonesia Menggugat ini merupakan tempat tinggal warga Belanda yang dibangun tahun 1907. Pada tahun 1917, bangunan tersebut beralih fungsi menjadi Landraad atau Pengadilan Pemerintahan Kolonial Belanda. Beberapa kali beralih fungsi, kini gedung ini digunakan sebagai ruang berkumpul para seniman, wartawan, dan guru. Beberapa kegiatan yang dilakukan di sana antara lain apresiasi puisi, kegiatan seni, seminar, hingga diskusi


Layout GIM untuk acara launching buku antologi puisi Kemarau di Surga. Aku-kami komunitas Kuluwung yang pertama kali mengadakan acara dengan ekspansi ke Bandung agak kewalahan dengan keadaan venue yang 'polosan'. Seketika kami jadi but-bet


Sisi kanan panggung GIM. Biasanya digunakan areal galeri. Cita-cita banget punya suatu tempat dengan sisi seperti ini. Pada bulan Juni tahun 2007, Gedung Indonesia Menggugat ini secara resmi dibuka untuk umum sebagai ruang publik dan menjadi gedung cagar budaya kelas A yang harus dirawat dan dijaga.


Jalan Braga, hujan mulai turun. Jadi, selain kontributor, dalam acara launching buku ini, kami Komunitas Kuluwung juga berperan sebagai panitia. Hal-hal yang berkenaan dengan teknis tentu tidak terhindarkan. Dengan sumber daya yang sangat terbatas dan tak begitu tahu 'medan perang', kami agak tibeberedeg ngurusi segala persiapan acara.


Ujian lain buat kami. Acara agak chaos karena hujan turun besar sekali. Audiens yang datang tersendat hujan, acara jadi agak molor setengah jam.


Ini memang agak rumit. Tidak seperti di lembur, keperluan apapun mudah di dapatkan. Di sini agak repot he he. Segala prétélan yang tersisa untuk acara ini membuat kami ketar-ketir, tapi syukur tetap bisa terlewati dengan salamet.


Checksound. Syukurnya lagi, Om Tris ini bukan tipikal musisi yang repot treatment. Om Tris bisa dan berkenan tetap tampil dengan segala keadaan terbatas untuk urusan pertunjukkan.


Wawan yang sedang latihan untuk membawakan musikalisasi puisi terbarunya.


Diskusi bedah buku antologi puisi Kemarau di Surga. Dr. Asep Salahudin, Pa Pepep DW dan Hana Alaydrus perwakilan dari Walhi. Dipandu oleh cold-blooded man, si pria dingin sejarawan ternama komunitas Kuluwung M. Hagie. Diskusi relatif berjalan lancar.
 

Ghifari Ju. Salah satu kontributor penyair membacakan puisinya saat segmen panggung penyair.


Bungsu si Ibu duduk paling depan. Karena memang yang kosong cuma barisan depan. Dia mengajukan pertanyaan pada narasumber.


Para pemain 'belakang' yang sangat membantu acara. Salwa, Sena dan Annisa.


Wawan tampil menyanyikan musikalisasi puisi karya Rofi yang berjudul "Pohon-pohon Tak Pernah Kesepian". Aku sangat senang dengan progres anak-anak yang kukenali. Seperti Rizal yang pernah kubawa Safari Sastra ke Jawa Timur, kini Wawan yang kebagian tampil di luar Tasik. Mereka sudah mulai bisa 'lepas' dariku di wilayah kekaryaan. Untuk lebih mengeksplorasi atau urusan apapun. Terlebih untuk menemukan 'gaya' dan 'jalan' mereka masing-masing.


Sisa-sisa waktu parade pembacaan puisi. Aku spontan mengiringi adikku membacakan puisi dan menutupnya dengan menyanyikan lagu Shenandoah bersama-sama. Lama sekali kami tidak berada di panggung berdua seperti ini.


Foto bersama Narasumber, penyair, audiens dan panitia peluncuran buku Antologi Puisi Kemarau di Surga.


Kang Matdon, Pa Pepep, Eki dan Ihsan. Kebetulan tidak lama dari ini Pa Pepep juga pernah menjadi narasumber di kegiatan Wanakumbara. Jadi Eki dan Ihsan bisa ketemu denga Pa Pepep dan ngobrol lagi.


Cipasung di Bandung. 50% audiens yang hadir di acara itu adalah alumni Cipasung. SMA, MAN, bahkan IAIC. Mereka berbondong datang dan membantu acara. Sangat-sangat membantu.


Alumni-alumni Sanggar Gama - SMA Islam Cipasung yang berdomisili di Bandung. Diantaranya masih ada yang berproses di kesenian, belajar bidang lain, atau hanya sekedar ingin bertemu. Tapi apapun alasannya, aku senang sekali dihadiri mereka, mengetahui mereka 'baik-baik' saja.


Permintaan Azka. Ingin berfoto denganku dan Om Acep. Yang perempuan namanya Sena, pacarnya Azka-sekelas di perkuliahannya di ISBI Bandung. Sena juga membantu kami sebagai pembawa acara. 


Ihsan dan Eki, teman-temanku dari Wanakumbara yang sengaja hadir jauh-jauh dari Garut ke Bandung untuk acara ini. Padahal Ihsan sedang repot mengurusi pekerjaannya, Eki juga sedang kurang sehat. Aku senang juga dikunjungi mereka.


Simbolis. Aku memberikan satu buku antologi puisi ini pada Ihsan untuk bisa dibaca-dinikmati teman-teman Wanakumbara di Garut. Aku belum punya keberanian untuk membuat buku sendiri seperti almarhumah Dudus atau Wulan Purwanti. Jadi sementara ini nikmatilah antologi puisi bersama ini.


Setelah acara selesai. Wawan tidak bertemu denganku selama dia KKN. Jadi ini pertemuan kami kembali setelah tiga bulan. Sebenarnya dia cukup sering ngechat atau nelpon, tapi kebetulan aku juga agak but-bet jadi jarang bisa ngaladangan. Selain itu, aku juga ingin memberinya pengalaman soal perasaan 'kerinduan yang melewati jarak'. Dia harus belajar untuk bisa menabung 'segala',  dan memaknainya. Lalu menumpahkannya dengan bentuk lain, dan ternyata kali ini dia membuatnya lewat lagu musikalisasinya yang baru. Hal yang bagus.


Biasanya dia tidak berkerudung kalau ketemu denganku di Bandung. Tapi kukira karena 'jemaat' acara kali ini kebanyakan dari Cipasung, dia jadi berbentuk seperti ini. Adikku juga termasuk salah satu kontributor penyair dalam buku antologi. Jadi aku dan dia ada di dalam buku yang sama. Jika soal menulis, kukira dia lebih intens dan lebih mahir dariku. Setelah lulus sidang (tapi belum wisuda) dia belajar bekerja dan melanjutkan di Bandung. Ini bagus, sesuai dengan yang kuharap dan kakak-kakaknya rancang. Dengan kepalanya yang lebih bagus dibanding siapapun di rumah, sebisa mungkin dia mesti hidup 'di luar' supaya bisa lebih berkembang lagi.


Pertemuan dengan adikku yang sajorélat


Mengantar pulang-melihat dia leong dengan grab. Biasanya aku selalu memberinya jajan kalau berkunjung ke Bandung. Tapi sudah dua bulan ini aku tidak bisa mengirimkannya bekel. Selain karena dia sudah bekerja (gajinya lebih besar daripada gajiku sih haha) juga karena keadaanku yang sedang kurang baik dari sisi finansial, ah tapi iraha ogé baikna sih haha. 


Acara selesai menjelang maghrib. Hari masih hujan, dan kami beres-beres, agak kacau tapi kami mendapat banyak sekali bantuan. Setelah ini kami kembali pulang dan beristirahat di PWNU.


Kita sering kali mengobrol tentang tugas-tugas kenabian sambil bercanda ya, haha. Kita memang sangat diuji dengan dinamika kesabaran kali ini, tapi ternyata masih bisa kita lewati. Bersama-samanya sejak lebih dari belasan tahun lalu, kini, mata-telinga-hati dan pikiran kita sudah bisa dipakai dengan 'cara lain'. Meski banyak yang harus diperbaiki, minimal kita sudah mengerjakan hal yang baik, terimakasih Masnawi !


Absen, sampai se-tiga puluh tahun ini. Tapi yah.. Semua anak si Bapa dan si Ibu sudah biasa begini setiap kegiatan apapun. Dekat-jauh, sebentar atau lama. Minimal kabar aman.

-

Terbitnya buku ini cukup membanggakan bagiku secara personal maupun komunal. Sejak lama, barangkali komunitas Kuluwung ini banyak melakukan kegiatan dan kekaryaan. Tapi memang belum pernah membuat karya yang sifatnya 'benda'. Influens kepenulisan Diwan dan teman-teman lain lumayan memicu, meski tidak bagi semua, tapi minimal ini membuat kami selangkah maju. Buku ini adalah hal pertama untuk karya berbentuk itu, lalu melahirkannya di kota lain, lumayan membuat kami lalinu.

Semoga ini awal yang baik dan bisa menjadi insight dan menginspire bagi teman-teman lain secara umum kedepannya. Aku berharap Kuluwung bisa kontinyu menjadi kontributor-fasilitator-inkubator berkarya lagi dengan banyak varian. Supaya media apresiasinya bisa lebih luas dan memberikan lebih banyak makna pengalaman.


Putra Musim Semi

Dedaunan dari pohon yang begitu kucintai. Harus kutebang
Sementara. Akar-akarnya akan menopang kehidupan pejuang
Sampai ia dapat kembali memekarkan bunga-bunga. Api
Kusimpan sambil menghitung hari. Menuju pembersihan diri

2021



0 comments:

Posting Komentar