Excerpt from the other sight Time has wonderful way of showing us what really matters

Sabtu, 14 Oktober 2023

Teras Bumantara ; Kosmogoni Rumah Topeng Besi

 


“Hidupkanlah sesuatu, maka sesuatu itu akan menghidupimu”, penyair Acep Zamzam Noor pernah mengucapkan kalimat ini dalam suatu seminar yang kudengar secara langsung. Oktober adalah bulan yang selalu ingin kuhindari sejak kegelapan 2019. Tapi pada tahun ini, Oktober memberikanku banyak kejutan yang lumayan manjur ‘memalingkan’ penanda waktu yang paling buruk dalam garis masa hidupku sampai sekarang ini.


Jum’at, 13/10/2023. Aku diundang untuk menghadiri Pentas Teras Bumantara, oleh Sanggar Terasi – Sekolah Tinggi Teknologi Cipasung Angkatan ke 10. Kegiatan ini berisikan pentas kreasi teman-teman sanggar dan pengukuhan anggota baru Sanggar Terasi. "Bumantara yang berarti semesta dalam bahasa sanskrit, ini sebagai perlambangan pengenalan ruang penciptaan untuk para anggota baru, dan panggilan kepulangan untuk para anggota lama..", ujar Vizkha Anggrilla, kordinator divisi Seni Rupa sanggar terasi menerangkanku tentang judul acara.

Sanggar Terasi angkatan 1 setelah pementasan teater sederhana pada hari Pendidikan Nasional, 2013.

Sanggar Terasi ini kiranya adalah UKM seni di Sekolah Tinggi Teknik yang berhasil membuatku keteter dan stress berat untuk  mendapatkan gelar sebagai seorang insinyur itu (meski keilmuan tentang ini masih belum bisa kumanfaatkan sebagai workfield-sampai sekarang). Hanya karena aku berambut panjang, framing sosial terhadapku waktu itu sudah condong ke arah seni-seni-an, padahal tidak sepenuhnya benar juga. Tahun 2013, kampusku dulu menghadapi waktu-waktu akreditasi. Dari itu, Aku dan ‘korban-korban’ lainnya diminta pihak ketua tiga kampus untuk membuat unit-unit kegiatan mahasiswa, maka lahirlah UKM seni Sanggar Terasi ini pada bulan Juli 2013 sebagai salah satunya.

Beberapa anggota sanggar terasi angkatan 2 & 3, generasi Yudha Alisy & Ayu Jette, 2014.

Penamaan UKM ini memang agak jijay (aku tahu), pasalnya aku tidak bisa memikirkan nama lain yang keputusannya ditunggui dalam waktu kerja satu malam, banyak sekali yang harus dikerjakan seperti logo, filosofi, rancangan kegiatan, program kerja dan lain-lain. Nama Terasi ini barangkali sudah kita kenal sebagai bumbu masakan yang terkenal dengan bau-nya (semoga saja berkah nama ini adalah bau kebahagiaan dan kesuksesan, bukan bau yang lain ya hehe), nama Terasi ini sebenarnya akronim dari kata Teater, Tari, Rupa, Musik & Puisi. Aku berharap bisa mencakup semua bidang seni yang akhirnya membuatku kerepotan juga sebagai ketua 'terpaksa' pertama. Beberapa orang pada tahun itu juga memanggilnya dengan mahasiswa-mahasiswa Topeng Besi. Sesuai dengan logo-nya yang orang bilang lebih mirip klub robotik daripada ukm seni hehe. Tapi sebenarnya kami dulu menyesuaikan itu dengan perlambangan mentalitas mahasiswa jurusan Teknik yang kebanyakan ‘gede kawani’.

Terlambat datang dua jam setengah, hampir jam lima sore aku baru bisa merapat di tempat acara. Segan dan ragu, karena aku merasa sudah tidak ada yang mengenaliku di sini, terlebih aku harus mengisi waktu sebagai pembicara tentang sejarah singkat sanggar ini. Tapi ternyata aku bertemu beberapa ‘wajah lama’, ada Siti Alpiah Vira yang sekarang sudah dipanggil Ibu karena sudah jadi bu Dosen hehe, M. Arief Billah – Seniorku saat aku belajar di Sanggar Kobong tahun 2010 lalu, Qiesar Putri dan Dzesy Agresti generasi terakhir yang ku kenal di sanggar Terasi, lalu Sopyan Andriansyah dan Vizkha Anggrilla – pengurus Sanggar Terasi sekarang. Sembari mengikuti acara kami mengobrol ringan seputar kabar karena lumayan sudah lama tidak bertemu.

 Qiesar Putri, Ketua Sanggar Terasi angkatan 9

Aku dikehendaki untuk mengisi waktu bercerita tentang Sejarah singkat sanggar ini.. Ditemani Vizkha sebagai moderator, dimulai dengan membacakan curriculum vitae-ku yang sebenarnya sama sekali tidak penting. Bagiku, meskipun siapapun telah banyak meraih pencapaian-pencapaian prestisius secara subyektif tapi nyatanya tanpa diiringi kebermanfaatan-kemaslahatan, nonsense-tidak berguna.

Djezy Agresti, Ketua BEM STTCipasung yang juga salah satu anggota Sanggar Terasi

Membawa para anggota-anggota baru pada masa lalu. Barangkali sejarah memang cukup penting, bukan untuk meninggikan diri, selain untuk silaturahmi, tapi juga sebagai pengingat jejak supaya dapat terus dimaknai dan diperbaiki..


Acara dilanjutkan pada pengukuhan anggota baru. Dua hari sebelumnya Sopyan menanyakan padaku adakah Sanggar Terasi memiliki seremonial khusus atau sumpah anggota terkait pengukuhan pengukuhan. Aku menjawabnya, tidak ada, jika teman-teman pengurus sekarang berinisiatif membuat hal semacam itu ya kubilang silakan, itu lebih baik.. Sanggar Terasi pada periodeku hanya berjalan atas dasar cinta dan kesetiaan. Karena sedari dulu, dengan segala keterbatasan, tempat ini memang tidak pernah menawarkan apapun, karenanya aku tidak ‘berhak’ mengikat dan menuntut teman-temanku untuk tinggal hanya karena ‘keterpaksaan’, meski begitu aku bersyukur teman-temanku dulu loyal-solid meski sepak terjang permasalahan selalu ada, dan kami bersyukur bisa mengatasi itu meski dengan pahereng-hereng heula.

Sopyan Andriansyah, Ketua Sanggar Terasi angkatan 10 (sekarang, 2023)

Tapi luar biasa lagi, pengurus terbaru ini merancang pengukuhan dengan seremonial sederhana yang menurutku mendalam makna. Sopyan sebagai ketua sanggar membacakan redaksi sumpah pengukuhan yang diikuti bersama, dimulai dari Dzesy, kami bergiliran berurutan menyalakan api lilin sebagai penanda cahaya regenerasi. Aku dapat melihat binar-binar cahaya pada bunga-bunga muda di rumah topeng besi.

 

Sepuluh tahun berlalu. Aku tidak pernah menyangka sama sekali Sanggar Terasi akan berumur panjang melewati waktu. Kesulitanku ‘melahirkan’ barangkali tidak lebih besar dari kesulitan mereka yang sudah kenan untuk merawat dan mencintai tempat yang dulu pernah membuatku bertahan hidup. Untukku yang sejak lama baru kembali, tiba-tiba mereka jadi sebanyak ini..

Masih ada yang bersedia melanjutkan langkah-langkah dari jejak-jejak yang aku dan teman-temanku tinggalkan. Aku bersyukur dan berbahagia jika ternyata ada hal bermanfaat yang pernah kami lakukan. Cita-cita masih dilanjutkan, kekuatan do'a dan harapan. Meski membutuhkan satu dasa warsa, yang mereka berikan hari ini barangkali sudah jauh lebih besar dari apa yang telah pernah kulakukan.


Rangkaian acara berisi tampilan-tampilan seni yang di luar ekpektasiku. Penampil-penampil divisi musik dari para anggota lama, musikalitas mereka memukau & skillfull, banyak anggota-anggota potensial. Hanya aku belum menemukan kreativitas original yang mereka buat sendiri, yah sambil jalan beproses, begini saja mereka sudah jauh lebih baik daripada zamanku-pada saat usia mereka. 

Penampilan divisi tari. Pada divisi ini salah satunya ada laki-laki yang piawai menari, ini mengingatkanku pada sanggar generasi Yuda Alisy. 

Juga ada divisi seni rupa (akhirnyaaa aku punya penerus huhuu), mereka melukis secara live menorehkan warna-warna dengan seketika. 


Melihat semua penampilan dengan senyum sambil agak berkaca-kaca. Betapa Sanggar Terasi ini sudah banyak berkembang sekarang. Aku jadi teringat teman-teman semasa perjuangan di sanggar ini yang terlah terpencar kemana-mana.. Dan entah masih menyukai hal semacam ini atau tidak. Jika mereka melihat keadaan sanggar ini sekarang tentu mereka akan bangga..

Pada akhir acara, secara impulsif aku 'merusak' ikut campur pada karya kolaborasi lintas divisi para anggota yang sekarang, bukan karena apa-apa, aku hanya ingin merasakan spirit mereka ketika di panggung. Dan ternyata sesuai yang kuharapkan, melegakan !


Asep Furqon Nugraha, Siti Khoiriyah. Patreon divisi seni musik Sanggar Terasi angkatan 2, 2014.

Dulu, cukup sulit membangun atmosfir ini di tempat yang memandang kesenian hanya sebagai produk. Mau bagaimanapun disiplin pendidikanku dan teman-teman secara akademik saat itu adalah teknik, dan industri selalu memandang hampir semua hal dari sudut pandang nilai komersil, bahkan yang terburuk -eksploitasi. Semua berdasarkan perhitungan demi 'keuntungan' besar secara material. Dan Sanggar Terasi ini adalah tempat dimana aku dan teman-teman dulu bisa melepaskan diri nilai-nilai itu secara bebas, merayakan kegelisahan yang tidak pernah tuntas.

Seni adalah keterpanggilan hati.

Aku sangat berterimakasih pada kalian semua, aku masih diizinkan untuk pulang ke sini. Sanggar Terasi, rumah para kesatria topeng besi.


2023

*Foto-foto : Bizan Afzani Fasya, arsip pribadi.





























Minggu, 08 Oktober 2023

Roller Coaster Rasa ; Dua tahun 'pengendapan' Wulan Purwanti

Kata berlebihan memang selalu tidak baik, termasuk dalam bekerja. Kehilangan celah menggambar, menulis atau hanya sekedar melamun, hari-hari akhir ini agak berat. Tidak semua hal baik, tapi minimal masih bisa diatasi. Tapi kukira ini tidak bisa untuk jangka waktu yang lama. Jadi.. Memenuhi undangan peluncuran resmi buku antologi puisi dari temanku ini barangkali waktu yang tepat untukku 'melarikan diri'.

Aku bukan tipikal yang menyenangi berkendara dengan motor. Berangkat saat Petang dari Tasik, sendirian.  Laluan jalan Tasik-Garut yang semula berwarna jingga perlahan menuju gulita. Aku perlu waktu sampai dua jam untuk sampai.

Agak lama setelah empat bulan sejak terakhir aku ke sini untuk membantu hajat akting Linda Kania yang luar biasa, kali ini aku menemui Wanakumbara lagi-lagi di ranah kekaryaan. Angkatan 9 Wanakumbara ini memang agak berbeda untukku, meskipun hanya berempat, setiap dari mereka semuanya potensial dan menonjol. Mereka punya kegelisahan yang dipelihara dan disampaikan dengan bentuk yang berbeda-beda. Masih ada Tio Febriansyah yang juga seorang penulis, juga Santa Habsyie yang senang membuat dan membagikan vlog perjalanannya yang kebetulan tidak bisa hadir pada hari ini.

Minggu 9 Oktober, 2023. Meski aku hampir menghabiskan setengah bulan September di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur yang udaranya lebih panas dari Tasik, Musim panas yang sudah terasa berkepanjangan ini mulai mengganggu aktivitas ketika di rumah, tapi di Garut, udara dingin masih bisa dirasakan meski dibawah sinar terik.

Wulan Purwanti. Salah satu anggota Komunitas Pecinta Alam Wanakumbara angkatan termuda ini ternyata memiliki bakat terpendam sebagai seorang penulis. Sosoknya mengingatkan kami semua pada almarhumah Desy Sylvia, salah satu anggota terbaik kami yang juga sama-sama suka menulis. Kami tidak menyebutnya sebagai reinkarnasi, karena keduanya punya ke-khasan karakter masing-masing. Tapi yang jelas aku merasa bahagia dan banhga bahwa ada seseorang yang mewarisi spirit Desy di keluarga Wanakumbara.

Roller Coaster Rasa, buku kedua Wulan Purwanti ini berisi 100an lebih puisi yang diendapkan selama dua tahun. Aku ikut sedikit ikut campur soal karyanya yang kali ini dengan mencoba membuatkan lukisan untuk cover buku ini karena diminta Wulan. Sesuai dengan interpretasiku dari blurb, lukisan ekspresionis dengan media cat air diatas kertas watercolor ini memberikan kesan pertama pada wajah karya-karyanya. Aku tidak menyebutnya ini dengan pencapaianku ditahun ini, terlebih ini bukan apa-apa. Gambar tidak jelas seperti ini bisa dibuat oleh siapa saja. Tapi aku selalu senang jika yang kulakukan bisa bermanfaat untuk kekaryaan seseorang. Ia selalu abadi, tidak masalah bagiku meskipun itu hanya berada dalam sebagian ingatan.

Bertempat di kafe D'Yons, jln. Pramuka-Garut. Diinisiasi oleh Media Penulis Garut (MPG), acara berlangsung dengan kondusif. Lebih dari tiga puluh orang hadir sebagai audiens. Wulan tampil dengan anggun, berbusana hitam bawahan corak dedaun. Wulan bercerita tentang bukunya yang berisi pengalaman perjalanan-perasaannya. Pemilihan diksi pada tulisannya yang bebas dan beberapa diiringi rima, puisi dalam buku ini berisi banyak puisi roman-populer yang belakangan ini digandrungi kawula muda.

"Perasaan selalu membutuhkan pengakuan", ujar wulan saat diskusi buku. Audiens-audiens cukup proaktif pada sesi diskusi menanyakan tentang proses kreatif Wulan menyoal puisi. Aku sangat senang ketika Wulan menjawab semua pertanyaan dari audiens.. Dia sangat terlihat keren dan luwes, aku berpikir bocah ini sudah berkembang dan memiliki keberanian besar, bahkan melebihi kami semua yang ada di sini.

Jalur turun naik kehidupan yang sudah diperkirakan itu masih sering kita terus diulang-ulangi lagi, meskipun kita sendiri tahu kita akan mendapatkan perasaan-perasan yang kadang tidak diinginkan. Wulan Purwanti, tantangan besar kepenyairan salah satunya adalah kepiawaian merawat rasa yang kerap menjadi utopia kebanyakan manusia.

Usai launching buku, aku bersama rombongan Wanakumbara bergeser ke Jl. Patriot, ke tempat tinggal Sandi 'Aro' Suhendar. Kami makan siang bersama, lalu secara impulsif kami bergiliran membacakan puisi yang terkumpul pada buku Wulan yang terbaru. Tiba-tiba sastra dirayakan dengan kegembiraan juga rasa haru.

Persembunyian kadang sengaja ditahan sebagai pertanahan harga diri, tetapi kejujuran hati selalu menawarkan kedamaian.. Tidak mudah untuk memilih diantara keduanya, tapi tentang kejujuran, kita masih bisa memilah dengan cara apa disampaikan.

Seperti Wulan, ia menggunakan puisi sebagai ungkapan yang baginya lebih fasih, dari dalam hati.