“Hidupkanlah sesuatu, maka sesuatu itu akan menghidupimu”, penyair Acep Zamzam Noor pernah mengucapkan kalimat ini dalam suatu seminar yang kudengar secara langsung. Oktober adalah bulan yang selalu ingin kuhindari sejak kegelapan 2019. Tapi pada tahun ini, Oktober memberikanku banyak kejutan yang lumayan manjur ‘memalingkan’ penanda waktu yang paling buruk dalam garis masa hidupku sampai sekarang ini.
Jum’at, 13/10/2023. Aku diundang untuk menghadiri Pentas Teras
Bumantara, oleh Sanggar Terasi – Sekolah Tinggi Teknologi Cipasung Angkatan ke 10. Kegiatan ini berisikan pentas kreasi
teman-teman sanggar dan pengukuhan anggota baru Sanggar Terasi. "Bumantara yang berarti semesta dalam bahasa sanskrit, ini sebagai perlambangan pengenalan ruang penciptaan untuk para anggota baru, dan panggilan kepulangan untuk para anggota lama..", ujar Vizkha Anggrilla, kordinator divisi Seni Rupa sanggar terasi menerangkanku tentang judul acara.
Sanggar Terasi ini kiranya adalah UKM seni di Sekolah Tinggi Teknik yang berhasil membuatku keteter dan stress berat untuk mendapatkan gelar sebagai seorang insinyur itu (meski keilmuan tentang ini masih belum bisa kumanfaatkan sebagai workfield-sampai sekarang). Hanya karena aku berambut panjang, framing sosial terhadapku waktu itu sudah condong ke arah seni-seni-an, padahal tidak sepenuhnya benar juga. Tahun 2013, kampusku dulu menghadapi waktu-waktu akreditasi. Dari itu, Aku dan ‘korban-korban’ lainnya diminta pihak ketua tiga kampus untuk membuat unit-unit kegiatan mahasiswa, maka lahirlah UKM seni Sanggar Terasi ini pada bulan Juli 2013 sebagai salah satunya.

Penamaan UKM ini memang agak jijay (aku tahu), pasalnya aku tidak bisa memikirkan nama lain yang keputusannya ditunggui dalam waktu kerja satu malam, banyak sekali yang harus dikerjakan seperti logo, filosofi, rancangan kegiatan, program kerja dan lain-lain. Nama Terasi ini barangkali sudah kita kenal sebagai bumbu masakan yang terkenal dengan bau-nya (semoga saja berkah nama ini adalah bau kebahagiaan dan kesuksesan, bukan bau yang lain ya hehe), nama Terasi ini sebenarnya akronim dari kata Teater, Tari, Rupa, Musik & Puisi. Aku berharap bisa mencakup semua bidang seni yang akhirnya membuatku kerepotan juga sebagai ketua 'terpaksa' pertama. Beberapa orang pada tahun itu juga memanggilnya dengan mahasiswa-mahasiswa Topeng Besi. Sesuai dengan logo-nya yang orang bilang lebih mirip klub robotik daripada ukm seni hehe. Tapi sebenarnya kami dulu menyesuaikan itu dengan perlambangan mentalitas mahasiswa jurusan Teknik yang kebanyakan ‘gede kawani’.
Terlambat datang dua jam setengah, hampir jam lima sore aku baru bisa merapat di
tempat acara. Segan dan ragu, karena aku merasa sudah tidak ada yang mengenaliku
di sini, terlebih aku harus mengisi waktu sebagai pembicara tentang sejarah singkat
sanggar ini. Tapi ternyata aku bertemu beberapa ‘wajah lama’, ada Siti Alpiah
Vira yang sekarang sudah dipanggil Ibu karena sudah jadi bu Dosen hehe, M.
Arief Billah – Seniorku saat aku belajar di Sanggar Kobong tahun 2010 lalu, Qiesar
Putri dan Dzesy Agresti generasi terakhir yang ku kenal di sanggar Terasi, lalu
Sopyan Andriansyah dan Vizkha Anggrilla – pengurus Sanggar Terasi sekarang. Sembari
mengikuti acara kami mengobrol ringan seputar kabar karena lumayan sudah lama
tidak bertemu.
Aku dikehendaki untuk mengisi waktu bercerita tentang Sejarah singkat sanggar ini.. Ditemani Vizkha sebagai moderator, dimulai dengan membacakan curriculum vitae-ku yang sebenarnya sama sekali tidak penting. Bagiku, meskipun siapapun telah banyak meraih pencapaian-pencapaian prestisius secara subyektif tapi nyatanya tanpa diiringi kebermanfaatan-kemaslahatan, nonsense-tidak berguna.
Djezy Agresti, Ketua BEM STTCipasung yang juga salah satu anggota Sanggar Terasi
Membawa para anggota-anggota baru pada masa lalu. Barangkali sejarah memang cukup penting, bukan untuk meninggikan diri, selain untuk silaturahmi, tapi juga sebagai pengingat jejak supaya dapat terus dimaknai dan diperbaiki..
Sopyan Andriansyah, Ketua Sanggar Terasi angkatan 10 (sekarang, 2023)
Tapi luar biasa lagi, pengurus terbaru ini merancang pengukuhan dengan seremonial sederhana yang menurutku mendalam makna. Sopyan sebagai ketua sanggar membacakan redaksi sumpah pengukuhan yang diikuti bersama, dimulai dari Dzesy, kami bergiliran berurutan menyalakan api lilin sebagai penanda cahaya regenerasi. Aku dapat melihat binar-binar cahaya pada bunga-bunga muda di rumah topeng besi.Sepuluh tahun berlalu. Aku tidak pernah menyangka sama sekali Sanggar Terasi akan berumur panjang melewati waktu. Kesulitanku ‘melahirkan’ barangkali tidak lebih besar dari kesulitan mereka yang sudah kenan untuk merawat dan mencintai tempat yang dulu pernah membuatku bertahan hidup. Untukku yang sejak lama baru kembali, tiba-tiba mereka jadi sebanyak ini..
Masih ada yang bersedia melanjutkan langkah-langkah dari jejak-jejak yang aku dan teman-temanku tinggalkan. Aku bersyukur dan berbahagia jika ternyata ada hal bermanfaat yang pernah kami lakukan. Cita-cita masih dilanjutkan, kekuatan do'a dan harapan. Meski membutuhkan satu dasa warsa, yang mereka berikan hari ini barangkali sudah jauh lebih besar dari apa yang telah pernah kulakukan.
Penampilan divisi tari. Pada divisi ini salah satunya ada laki-laki yang piawai menari, ini mengingatkanku pada sanggar generasi Yuda Alisy.
Juga ada divisi seni rupa (akhirnyaaa aku punya penerus huhuu), mereka melukis secara live menorehkan warna-warna dengan seketika.
Pada akhir acara, secara impulsif aku 'merusak' ikut campur pada karya kolaborasi lintas divisi para anggota yang sekarang, bukan karena apa-apa, aku hanya ingin merasakan spirit mereka ketika di panggung. Dan ternyata sesuai yang kuharapkan, melegakan !
Asep Furqon Nugraha, Siti Khoiriyah. Patreon divisi seni musik Sanggar Terasi angkatan 2, 2014.
Dulu, cukup sulit membangun atmosfir ini di tempat yang memandang kesenian hanya sebagai produk. Mau bagaimanapun disiplin pendidikanku dan teman-teman secara akademik saat itu adalah teknik, dan industri selalu memandang hampir semua hal dari sudut pandang nilai komersil, bahkan yang terburuk -eksploitasi. Semua berdasarkan perhitungan demi 'keuntungan' besar secara material. Dan Sanggar Terasi ini adalah tempat dimana aku dan teman-teman dulu bisa melepaskan diri nilai-nilai itu secara bebas, merayakan kegelisahan yang tidak pernah tuntas.
Seni adalah keterpanggilan hati.
Aku sangat berterimakasih
pada kalian semua, aku masih diizinkan untuk pulang ke sini. Sanggar Terasi,
rumah para kesatria topeng besi.
2023
*Foto-foto : Bizan Afzani Fasya, arsip pribadi.