Diwan Masnawi sedang kembali ke tanah air disela 'peredarannya'. Sebagai salah satu putera mahkota Cipasung dan anak dari seniman-budayawan besar, teman masa kecilku ini jadi partner berkegiatan kreatif bahkan 'picilakaeun' setelah kami sama-sama beranjak dewasa. Akhirnya pertemuan kami kembali ini menghasilkan rencana kegiatan yang terealisasi malam kemarin.
Dari yang kudengarkan, Diwan berkeinginan untuk 'mengguar' dan mengenal kembali salah satu unsur alam yang vital dalam kehidupan yakni 'tanah'. Sebagai seorang muslim, tanah barangkali sedari awal sudah dikaitkan dengan penciptaan secara sejarah. Sebagai manusia, kehidupan kita juga tidak bisa lepas dari unsur tanah.
"Dalam budaya perkotaan dan sosial ekonomi kita hari ini setiap orang mampu makan tanpa harus menanam, memanen, mengolah, juga memasak bahan makanan. Kita hanya tinggal mencari warung, dan langsung menyantapnya saja - dengan syarat kita punya uang. Kita bisa makan dari hasil mengajar matematika di sekolah, atau menjadi model di majalah, tanpa harus menyentuh tanah dan air atau pisau di dapur."
"Kita bisa melompati dua tahap, yakni produksi dan persiapan, lalu dengan begitu saja tiba pada tahap konsumsi. Efisien, tanpa perlu repot-repot."
"Namun, sempatkah kita, menatap makanan kita dan menerawang lebih jauh tentang bagaimana perjalanan makanan itu bisa sampai di piring kita. Perjalanan nutrisi yang menjadi energi bagi kita menjalani keseharian."
"Lebih jauh dari itu, sekitar 95% makanan kita berasal dari tanah. Namun, sempatkah kita menyentuhnya dan menghayati tubuh besar kita yang terhampar di permukaan Bumi ini, yang kelak kan menyatu dengan tubuh kecil kita. Sebagai pertautan antara makrokosmis dan mikrokosmis ini. "
Soilstice. Gabungan dua kata yang dipilih Kuluwung ini berasal dari kata Soil dan Stice. Soil yang berarti tanah dan Stice yang berarti titik balik matahari. Bermaksud 'melihat kembali' pada satu unsur kehidupan penting yang untuk beberapa kini nilainya terlihat dipandang sebelah mata.
Kuluwung sebagai former membuat kegiatan diskusi dan workshop pada Soilstice ini. Diskusi tentang tanah secara scientific dan filosofis dari berbagai perspektif karena dihadiri juga oleh Bapak Jajang Indra, guru basa sunda, budayawan yang juga seorang naturalis sebagai salah satu narasumber. Bagaimana etiket pandangan seorang 'Sunda' memaknai tanah. Bagi masyarakat umum, barangkali kita juga sudah mulai tidak mengenali tentang 'tanah', salah satu unsur semesta yang telah memberi kita 'fasilitas' kehidupan. Sebagai contoh kecilnya seperti anak-anak kita terkesan dijauhkan dari tanah sejak kecil, "Kade kotor !", kalimat yang mengarah bahwa tanah adalah hal yang mesti dihindari (dalam beberapa kasus ini menyebabkan alergi karena perkembangan fisik pada anak tidak begitu 'mengenali' tanah).
Higienis menurut pandangan kita yang sekarang adalah bersih setelah kita mencuci apapun (termasuk mencuci 'uang', 'otak' juga 'ideologis', cih) dengan sabun atau bahan kimia lain. Ruang untuk tanah 'tumbuh' sudah semakin berkurang karena alih fungdi dan pembangunan. Polusi-polusi yang dirasakan 'diatas' & 'dibawah' yang makin marak, kondisi tanah semakin jadi 'tidak sehat'. Efek lebih jauhnya adalah dapat berpengaruh pada unsur kehidupan lain seperti air, udara dan tetumbuhan.
Tanah bersedia kita 'injak'.
Tanah bersedia merendah supaya kehidupan diatasnya dapat tetap 'melangkah'.
Sudahkah kita bersyukur dan berterimakasih untuk itu ?
Kegiatan dilanjutkan dengan workshop pengolahan tanah sebagai media tanam oleh Wildan Ahmad sebagai streamer yang sedang naik daun dan seorang praktisi pertanian milenial. Ini barangkali hal pertama dan paling mudah untuk dilakukan sebagai pemanfaatan tanah yang bisa kita lakukan dalam berkehidupan sehari-hari.
Wildan menjelaskan detail keperluan material yang perlu dipersiapkan ketika menggunakan tanah sebagai media tanam, secara alami dan secara artifisial kimia, yang mana yang lebih baik tentu adalah yang alami ujarnya. Tapi kita mesti menawarkan 'waktu' yang agak lama sebagai nilai tukar yang patut untuk memaknainya.
Sebenarnya alam akan 'recover' dengan sendirinya, tapi pada kehidupan zaman industri ini yang terkesan terburu-buru, yang terpenting adalah kita bisa mendapat keuntungan besar, pasti tentang itu. Ketika ada hal yang 'diringkas' baik tentang bahan, proses, dan waktu, itu akan mengakibatkan hal lain yang tidak 'sapanuju'.
Kita mungkin bisa saja acuh atas efek negatif itu jika semisal skalanya kecil, tapi lain ceritanya jika efek negatif yang dihasilkan skalanya besar sekali karena penyumbangnya permasalahan ini memang banyak. Manusia mesti bersiap dengan apa yang terjadi dengan itu, bahkan bagi kita yang tidak sama sekali ikut campur, seringkali keadaan berakhir dengan pertanyaan yang jawabannya abu-abu.
Ba'da maghrib, sesi terakhir dari rangkaian kegiatan Soilstice ini adalah pertunjukan seni musik tradisional Tarawangsa. Tarawangsa adalah salah satu instrumen tradisional yang cukup tua, bahkan lebih tua dari ensembel Karawitan yang dewasa ini populer dan terangkat lagi. Tarawangsa sudah jarang ditemui di masyarakat, pun di daerah perkampungan. Dalam tradisi suku sunda, barangkali Tarawangsa adalah salah satu kesenian yang berkaitan dengan tanah - budaya pertanian yang merupakan letak dasar atau salah satu fondasi kehidupan.
Sebelum perform Katara Badranaya yang dilead Kg. Andy Uger de Blanc membawa dua personil lain, Kg. Deki di Tarawangsa & Kg. Aduy di bagian jentreng menjelaskan tentang Tarawangsa, sejarah, waditra dan keterkaitannya pada kehidupan kesundaan dan secara umum.
Dipenghujung acara para partisipan dipersilakan menari untuk merespon dan merefleksikan suara Tarawangsa dalam bentuk gerakan tari sederhana.
Semua memejamkan mata, semua bertelanjang kaki. Mendengar suara, merasakan bumi. Aku merasa Katara Badranaya membawa Kuluwung pada trance yang positif sebagai bad energy-bad emotional release, ini seperti meditasi.
Dengan cahaya temaram pada malam. Soilstice yang diusung oleh Komunitas Kuluwung mengantarkan kerinduan kami semua tentang suasana purba dengan cara yang bersahaja. Kembali dan mengembalikan semuanya pada sang Maha.
*Foto-foto : dokumentasi Sopia Nindia Anggraeni - Cep Thoriq