Excerpt from the other sight Time has wonderful way of showing us what really matters

Selasa, 06 Agustus 2024

A Huge place, but not to live


Arya-avalokitesvaro bodhisattvo gambhiram prajnaparamitacaryam caramano
Vyavalokayati sma: panca-skandhas tams ca svabhavasunyan pasyati sma

Iha sariputra rupam sunyata sunyataiva rupam, rupan na prithak sunyata
Sunyataya na prithag rupam, yad rupam sa sunyata ya sunyata tad rupam;
Evam eva vedana-samjna-samskara-vijnanam.

-Prajna Paramita Hrdaya Sutram

Begitulah dua bait pertama mantra Prajnaparamita yang kudengarkan selama diperjalanan kali ini. Itupun gara-gara adikku mengirim artikel tentang ini. Berarti "Kesempurnaan Kebijaksanaan" dalam bahasa Sanskerta dan merupakan salah satu dari enam kesempurnaan jalan Buddha Mahayana menuju pencerahan. Pencerahan melalui pengakuan akan kekosongan semua konsep, namun tetap terlibat dalam dunia ilusi untuk membebaskan orang lain dari penderitaan mereka. Mantra ini, bekerja dengan baik padaku.


Sabtu. Juli 3, 2024. Aku pergi ke Jakarta untuk menghadiri undangan pernikahan Rofiq & Mariska. Berangkat terpisah, aku bertemu teman-teman kampung lain di Jakarta.


Rofiq yang akrab dipanggil Kaka ini salah satu dari selusin teman kecilku di kampung yang memang tinggal di Jakarta, jadi kami paling bertemu saat hari-hari raya atau masa liburan sekolah. Kami sudah seperti sepupu kandung, apalagi sejak 2019 aku tinggal di rumah neneknya.


Adik kembarnya Rifqi yang biasa dipanggil Dede menikah sebulan sebelumnya. Tapi saat itu aku tidak bisa hadir, jadi aku memaksakan hadir untuk yang ini. Aku jadi bertemu dengan istrinya, Rahmi. Aku turut bahagia untuk kedua pengantin baru ini. 


Sejak awal berangkat, jika bukan karena pernikahan Kaka, aku memang tidak begitu tertarik dengan Jakarta. Lalu selain itu, nanti jika lancar melanjutkan studi, mungkin aku akan sering melewati kota ini. Yah.. Meskipun Jakarta sudah pernah menjadi bagian hidupku beberapa waktu lalu, aku belum dapat menerimanya jika sebagai tempat untuk kutinggali. Suhu udara yang panas, pemukiman padat, hidup yang tergesa-gesa. Selain itu tubuhku memang sangat lemah dengan udara panas. Tapi Memikirkan si kembar pada kehidupan setelah menikah, aku memutuskan tinggal lebih lama, karena waktu dengan mereka seperti ini akan sulit didapatkan ke depannya.


Selama tiga hari di sana aku sampai sempat melarikan diri ke taman Langsat di Jakarta Selatan. Aku mencari pepohonan tinggi hanya untuk ‘kenyamanan bernafas’. Tapi tetap saja panas.


Nisa Nuralfi Azizah, ini guide kami saat di sini. Dia adalah vokalis pertamaku saat menggarap lagu-lagu untuk Yudhistira tiga tahun lalu. Kami mengobrol tentang betapa berbedanya kehidupan di sini.


Hari terakhir, aku dibawa ke daerah Ancol. Secara pribadi aku tidak menyukai daerah pesisir pantai. Ini membuatku mudah mengingat waktu baik yang berubah jadi tidak baik pada masa lalu. Angin pergantian di pesisir menerpa meskipun tanpa awan mega. Akhirnya minimal aku mendapat pandangan yang lebih tenang. Itupun gara-gara aku pergi ketika saat sore menuju petang.


Lalu kehidupan di sini tidak pernah mati. Aku bahkan sengaja jajan lewat waktu janari, dan orang-orang masih berkeliaran. Melepaskan beban, atau bahkan baru mulai mencari rizki.


Gedung-gedung yang menjulang megah memang mengesankan. Tapi hanya untuk dilihat dan dilewati saja. Karena jika jeli, aku bisa melihat wajah-wajah resah di kaki-kaki dan di setiap ruas jalannya. Aku tidak mau punya kehidupan dengan pemandangan seperti itu. Kadang aku membayangkan apa yang dikerjakan orang-orang di gedung-gedung sebesar itu, jenis kegelisahan apa yang ada dalam diri mereka.


Aku sangat memuji dan terkesan dengan orang-orang yang bisa hidup di sini, apalagi seorang yang terpaksa melakukan urbanisasi. Motivasi sebesar apa yang mereka miliki untuk sampai memilih untuk memutuskan hidup di kota besar seperti ini. Aku juga jadi teringat almarhum Pa Yudhistira tentang ceritanya masa mudanya yang semula bertahan menggelandang dan bertahan hidup di kota ini.. Lalu Namanya mencuat besar. Sebagai seorang seniman, betapa Pa Yudhis sangat kuat mengatasi keresahan hari-harinya di sini, dulu.

-


Nama Jakarta sudah tidak asing untuk semua orang. Sebuah nama kota besar pembanding ukuran, tempat berjudi nasib, kota dengan harapan bagi banyak orang. Meski dekat dengan sejarah keluargaku, aku sebenarnya tidak terlalu berharap banyak pada kota ini. Kakek dan nenekku dari pihak ibuku punya waktu yang sangat lama di sana.

Aku tidak mengenal kakekku, karena dia meninggal jauh sebelum aku lahir. Dari cerita ibuku, dia adalah seorang dengan perawakan yang tinggi besar, rambutnya selalu rapi. Dulu kakekku seorang yang bekerja di hotel Duta Indonesia. Lebih dulunya, hotel itu bernama hotel Des Indes, salah satu hotel yang paling mewah se-Asia yang pernah ada dalam sejarah Indonesia. Sekarang sudah tidak ada, sekarang area ini dikenal sebagai pusat pertokoan dengan nama Duta Merlin. Ini sebabnya dulu keluarga kami tidak pernah kekurangan pasokan ‘minuman’, karena kakekku selalu membawa banyak benda semacam itu ketika pulang kampung. Dari banyak jenis minuman, kakekku paling menyukai anggur. Ibuku bilang aku punya sedikit kesamaan dengannya, punya urat-urat besar di beberapa bagian tubuh, jari kelingking kaki yang terpisah dengan jari lainnya, tidak banyak bicara dan suka menyendiri. Selain itu, kami sama-sama menyukai anggur. Kakekku meninggal setelah lama sakit. Selama sakit dia dirawat oleh dokter tionghoa bernama Goh Xie Ing. Keluarga kami yang tidak pernah punya sekat agama-ideologis dengan siapapun, manusia semuanya sama. ‘Keliberalannya’ ini menurun pada kami semua cucu-cucunya. Kami bergaul tanpa pandang bulu. Selama orang-orang itu baik, kami tidak pernah melihat hal apapun atributnya.

Nenekku dulu hidup sebagai pedagang di kawasan yang sama dengan kakekku sampai harus sama-sama pulang kampung setelah kakek meninggal. Pasang surut kehidupan, nenekku pernah punya kehidupan membosankan di kampung. Karena notabene saat itu kakak-adiknya kebanyakan punya gaya hidup agraris : bertani. Dan nenekku teu bisa gacong-gacong acan karena lama hidup di kota. Waktu berlalu, dia mulai berwirausaha sedikit-demi sedikit, lalu akhirnya dapat bertahan dengan kehidupan di kampung. Tapi ada yang berubah saat dia pulang kata ibuku. Nenekku jadi rajin beribadah, mengejar pengajian ke banyak tempat sepulangnya dari Kota. Aku mengenal nenekku sudah dalam keadaan seperti itu, aku mengenalnya yang selalu bangun pagi sekali, setiap hari kentara membaca Al-Qur’an di kursi ruang tengah rumahnya. Nenekku meninggal saat aku menginjak usia SMA, jadi aku masih bisa merasakan dan mengenali hidup bersamanya.


Aku selalu berfikir.. Betapa perjalanan bisa mengubah seseorang, Dan mungkin ini sebabnya barangkali kenapa aku juga menyukai melakukan perjalanan-perjalanan, banyak yang didapatkan nanti setelah pulang..

-


Banyak orang di kampungku bahkan keluargaku yang pergi merantau. Menjual hal-hal di kampung yang kiranya bisa membantu hidup di tanah lain. Pulang di usia tua ke kampung, lalu meninggal dengan tidak memiliki apa-apa, atau bahkan beberapa pulang dalam keadaan tidak bernyawa.

Barangkali pemaksaan memang ada, dari keinginan atau pertarungan kehidupan itu sendiri.


Kampung halaman. Perubahan demi perubahannya. Jumlah pepohonan, aliran air, tetangga, orang-orang pindahan yang datang-menetap-lalu pergi, kebiasaan, sampai mengenai politik. Sekarang di kampung rumah-rumah dibuat dengan tembok tebal dan tinggi, di depannya memasang pagar besi. Mungin mereka tidak mau mendengar suara apapun. Tidak tahu atau tidak mau tahu kalau tetangganya kelaparan atau kebanjiran. Mengurus ternak tapi tanpa mengawasinya membiarkan seenaknya berkeliaran. Menmbuang sampah jauh dari rumah tapi baunya berbalik arah. Mereka yang seperti itu punya banyak hal, kecuali waktu. Yah.. Entah sejak kapan kehidupan jadi rumit seperti sekarang. Mungkin di tempat lain juga sudah seperti itu.

Sejak pandangan lumrah di masyarakat tentang hidup adalah pencapaian dan kekayaan, apalagi di kampung, tidak banyak orang yang memilih Ikhlas hidup dengan sederhana. Dilihat sebagai seorang yang berjalan di tempat, telingamu akan mendapat banyak cerca. Ini tidak salah sepenuhnya, lagipula siapa juga yang tidak ingin hidup dengan mewah. Tapi memaksakan diri untuk berjudi juga tidak baik. Melangkah tanpa arah, bertarung dengan kaki terpasung. Alih-alih kamu melukai diri sendiri, lalu merepotkan orang sekelilingmu nanti.

: Meski ada juga yang melakukan itu untuk hal yang dicintai.

-

Kehidupan barangkali memang dirancang dengan desain diferensiasi. Kukira ini untuk saling menyadarkan. Tapi banyak dari orang-orang hidup itu tidak faham fungsi dari dirinya sendiri.


Ada kalimat menarik yang pernah kubaca tentang hidup dan tinggal, “Hanya ada dua jenis orang yang tinggal disini. Mereka yang terlalu bodoh untuk pergi, dan mereka yang terlalu enggan untuk meninggalkan.. Dari mataku, terkadang orang-orang bisa punya banyak alasan untuk pergi, tapi hanya punya satu alasan untuk kembali..

.

Pada hidup sejati, atau mungkin dalam keadaan mati.

-

 وَمَن يُهَاجِرْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ يَجِدْ فِى ٱلْأَرْضِ مُرَٰغَمًۭا كَثِيرًۭا وَسَعَةًۭ ۚ وَمَن يَخْرُجْ مِنۢ بَيْتِهِۦ مُهَاجِرًا إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ يُدْرِكْهُ ٱلْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًۭا رَّحِيمًۭا

Whoever emigrates in the cause of Allah will find many safe havens and bountiful resources throughout the earth. Those who leave their homes and die while emigrating to Allah and His Messenger—their reward has already been secured with Allah. And Allah is All-Forgiving, Most Merciful.
-An-Nisa : 100

"For many are called, but few are chosen."
-Matthew 22:14